
Kejamnya Profit Taking Jadikan Rupiah Terlemah Kedua di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
06 November 2019 16:31

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Bahkan rupiah jadi salah satu mata uang terlemah di Asia.
Pada Rabu (6/11/2019), US$ 1 dihargai Rp 14.010 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,32% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Rupiah sudah menapaki jalur merah sejak pembukaan pasar. Mata uang Tanah Air melemah 0,07% saat berada di posisi start.
Selepas itu, depresiasi rupiah semakin dalam. Dolar AS pun berhasil kembali menembus level psikologis Rp 14.000.
Kemarin, rupiah mampu menguat ditopang oleh rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 yang sebesar 5,02% year-on-year (YoY). Sejalan dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia, tetapi sedikit lebih baik dibandingkan konsensus dari Reuters dan Bloomberg yang masing-masing 5,01% dan 5%. Realisasi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dari proyeksi dua kantor berita besar tersebut membuat investor berani masuk ke pasar keuangan Indonesia.
Namun hari ini sentimen tersebut sudah tidak seksi lagi untuk mengundang arus modal masuk. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 440,68 miliar di seluruh pasar yang menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup turun 0,74%. Tanpa pasokan 'darah', rupiah pun terjebak di zona merah.
Berikut pergerakan kurs rupiah terhadap dolar AS sepanjang hari ini:
Selain itu, rupiah juga sepertinya terkena hantaman ambil untung. Sebelumnya, rupiah sudah menguat selama tiga hari perdagangan beruntun. Dalam sebulan terakhir, apresiasi rupiah bahkan mencapai 1,02%.
Jadi, investor mungkin merasa bahwa rupiah sudah cukup 'mahal'. Tergoda oleh potensi cuan yang lumayan, rupiah pun terpapar aksi jual sehingga nilainya melemah.
Tidak hanya rupiah, mayoritas mata uang utama Asia pun melemah di hadapan dolar AS. Hanya yuan China, dolar Hong Kong, yen Jepang, dan dolar Taiwan yang masih mampu menguat.
Namun depresiasi 0,32% membuat rupiah menjadi mata uang terlemah kedua di Asia. Rupiah hanya lebih baik dari peso Filipina.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 16:09 WIB:
Seperti halnya rupiah, aura profit taking juga membayangi mata uang Asia. Selama sebulan ke belakang, won Korea Selatan menguat 3,31% di hadapan dolar AS. Selama periode yang sama, ringgit Malaysia menguat 1,34%, peso 2,47%, dan baht Thailand 0,56%.
Oleh karena itu, wajar saja mata uang utama Asia kompak berkubang di zona merah. Kejamnya profit taking membuat pasar valas Asia merah membara.
Selain itu, hari ini juga agak minim sentimen yang bisa menggerakkan pasar sehingga investor memilih mencairkan keuntungan. Belum ada perkembangan baru soal hubungan AS-China, pelaku pasar masih menunggu kapan perjanjian damai dagang fase I akan ditandatangani. Tempat urusan belakangan, yang penting teken dulu.
Mengutip Financial Times, salah satu poin dalam kesepakatan tersebut adalah AS menghapus rencana pengenaan bea masuk untuk importasi produk China senilai US$ 156 miliar yang sedianya berlaku 15 Desember. Namun, seperti diwartakan Reuters, China meminta AS untuk menghapus lebih banyak lagi bea masuk. China mendorong agar AS menghapus bea masuk 15% bagi impor produk mereka senilai US$ 125 miliar yang belaku September lalu.
Kini pelaku pasar menantikan kepastian kapan perjanjian damai dagang fase I akan diteken, yang katanya bisa bulan ini. Sebelum ada hitam di atas putih, maka berbagai spekulasi masih akan berseliweran dan menambah ketidakpastian. Ini yang membuat investor memasang mode wait and see sehingga arus modal belum banyak mengalir ke negara berkembang Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Rabu (6/11/2019), US$ 1 dihargai Rp 14.010 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,32% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Rupiah sudah menapaki jalur merah sejak pembukaan pasar. Mata uang Tanah Air melemah 0,07% saat berada di posisi start.
Kemarin, rupiah mampu menguat ditopang oleh rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 yang sebesar 5,02% year-on-year (YoY). Sejalan dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia, tetapi sedikit lebih baik dibandingkan konsensus dari Reuters dan Bloomberg yang masing-masing 5,01% dan 5%. Realisasi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dari proyeksi dua kantor berita besar tersebut membuat investor berani masuk ke pasar keuangan Indonesia.
Namun hari ini sentimen tersebut sudah tidak seksi lagi untuk mengundang arus modal masuk. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 440,68 miliar di seluruh pasar yang menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup turun 0,74%. Tanpa pasokan 'darah', rupiah pun terjebak di zona merah.
Berikut pergerakan kurs rupiah terhadap dolar AS sepanjang hari ini:
Selain itu, rupiah juga sepertinya terkena hantaman ambil untung. Sebelumnya, rupiah sudah menguat selama tiga hari perdagangan beruntun. Dalam sebulan terakhir, apresiasi rupiah bahkan mencapai 1,02%.
Jadi, investor mungkin merasa bahwa rupiah sudah cukup 'mahal'. Tergoda oleh potensi cuan yang lumayan, rupiah pun terpapar aksi jual sehingga nilainya melemah.
Tidak hanya rupiah, mayoritas mata uang utama Asia pun melemah di hadapan dolar AS. Hanya yuan China, dolar Hong Kong, yen Jepang, dan dolar Taiwan yang masih mampu menguat.
Namun depresiasi 0,32% membuat rupiah menjadi mata uang terlemah kedua di Asia. Rupiah hanya lebih baik dari peso Filipina.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 16:09 WIB:
Seperti halnya rupiah, aura profit taking juga membayangi mata uang Asia. Selama sebulan ke belakang, won Korea Selatan menguat 3,31% di hadapan dolar AS. Selama periode yang sama, ringgit Malaysia menguat 1,34%, peso 2,47%, dan baht Thailand 0,56%.
Oleh karena itu, wajar saja mata uang utama Asia kompak berkubang di zona merah. Kejamnya profit taking membuat pasar valas Asia merah membara.
Selain itu, hari ini juga agak minim sentimen yang bisa menggerakkan pasar sehingga investor memilih mencairkan keuntungan. Belum ada perkembangan baru soal hubungan AS-China, pelaku pasar masih menunggu kapan perjanjian damai dagang fase I akan ditandatangani. Tempat urusan belakangan, yang penting teken dulu.
Mengutip Financial Times, salah satu poin dalam kesepakatan tersebut adalah AS menghapus rencana pengenaan bea masuk untuk importasi produk China senilai US$ 156 miliar yang sedianya berlaku 15 Desember. Namun, seperti diwartakan Reuters, China meminta AS untuk menghapus lebih banyak lagi bea masuk. China mendorong agar AS menghapus bea masuk 15% bagi impor produk mereka senilai US$ 125 miliar yang belaku September lalu.
Kini pelaku pasar menantikan kepastian kapan perjanjian damai dagang fase I akan diteken, yang katanya bisa bulan ini. Sebelum ada hitam di atas putih, maka berbagai spekulasi masih akan berseliweran dan menambah ketidakpastian. Ini yang membuat investor memasang mode wait and see sehingga arus modal belum banyak mengalir ke negara berkembang Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular