Jelang Delisting, Manajemen Diduga Sengaja Gembosi TMPI
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
06 November 2019 11:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Investor saham ritel PT Sigmagold Inti Perkasa Tbk (TMPI) menduga ada tindakan penggembosan kinerja perusahaan, salah satunya berupa penggelapan dana senilai Rp 679,72 miliar oleh perusahaan sehingga menyebabkan kinerja keuangan emiten memburuk.
Selain itu, salah satu investor ritel bernama Boris, nama samaran, bersama dua orang pemegang saham ritel juga menduga manajemen dan pemegang saham mayoritas perseroan sengaja mengeluarkan sahamnya dari bursa dan berniat menguasai aset tambang perusahaan.
"Dugaan kami terdapat penggelapan dana dengan dalil investasi pada surat utang jangka menengah [medium term notes/MTN] yang bunganya 1% dan selalu digulirkan ketika jatuh tempo. Nilainya sekitar Rp 700 miliar. Karena itu, kami masih meminta agar delisting ditunda," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Selasa kemarin (5/11/19).
Hingga saat ini belum ada laporan keuangan per September 2019. Di BEI, terakhir laporan keuangan yang dipublikasikan yakni per Desember 2018. Dalam lapkeu tersebut, terungkap saham perusahaan dipegang PT Pratama Duta Sentosa 0,14%, sementara investor publik mencapai 99,86% atau 5.494.583.747 saham.
Penghapusan (delisting) saham perusahaan yang dulu dikenal dengan nama Agis dari papan bursa dijadwalkan terjadi pada 11 November, atau berarti 5 hari lagi berdasarkan pengumuman Bursa Efek Indonesia pada 11 Oktober.
Keputusan tersebut diambil setelah 2 tahun lamanya saham perseroan disuspensi, yang awalnya dimulai karena perseroan tidak dapat membayar denda keterlambatan laporan keuangan 2016.
Permintaan Boris dan rekan-rekannya kepada BEI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) itu didasari anggapan bahwa dugaan penggelapan yang masuk ranah pidana tersebut tidak dapat dituntaskan jika perusahaan keluar dari pasar modal. Tidak ada dorongan dari otoritas pasar modal dan otoritas bursa dapat membuat daya tawar pemegang saham ritel tergerus.
Mereka menduga MTN yang sudah berkali-kali digulirkan belum jelas benar penerbitnya dan kegunaannya sehingga mengindikasikan ada yang tidak beres. Salah satu hal dari efek utang tersebut yang paling memunculkan dugaan adalah bunganya yang hanya 1% per tahun.
Pembelian MTN dengan bunga 1%
Laporan keuangan perseroan 2018 yang baru dipublikasikan di situs otoritas bursa serta data serupa pada 2016 menunjukkan efek utang tersebut dibeli oleh anak usaha TMPI yaitu PT Agis Electronic dan PT Agis Mitra Mandiri (AMM) dengan bunga 1%.
MTN itu terdiri dari yang diterbitkan oleh Vasco Trading Ltd dan Emerald Star Investment Ltd. Efek utang yang diterbitkan Vasco dan dibeli Agis Electronic-AMM diterbitkan dalam tujuh seri dengan nilai masing-masing Rp 50 miliar dan jatuh tempo pada 3 Oktober kemarin.
Selain itu, MTN Vasco juga ada yang terbit sejak 2012 senilai Rp 30,75 miliar dan digulirkan terus pada 2013 dan 2015 hingga 2017 dan seharusnya sudah jatuh tempo pada 24 Juli kemarin.
Sedangkan efek yang diterbitkan Emerald Star Investment Ltd sebanyak enam seri senilai masing-masing Rp 50 miliar diterbit sejak 2016. Satu lagi, MTN Emerald juga ada yang terbit pada 2015 dan diperpanjang pada 2017 senilai Rp 20,33 miliar dengan bunga 1% sehingga seharusnya jatuh tempo pada 16 Juli.
Selain penerbitan MTN, kas dan setara kas perseroan juga hilang Rp 2,81 miliar yang dilaporkan dalam laporan keuangan 2018. Piutang perseroan juga terhapuskan dari laporan senilai total Rp 147,54 miliar, terdiri dari piutang pihak ketiga dan piutang lain-lain pihak ketiga.
Dalam laporan keuangan yang teraudit tersebut, manajemen menyatakan akun tersebut sudah dikurangi penyisihan kerugian penurunan nilai. Ditambah dengan penurunan kas dan setara kasnya, artinya aset lancar perseroan tinggal Rp 58,71 miliar pada 2018 dari posisi tahun sebelumnya Rp 219,23 miliar.
Sumber: Laporan keuangan 2018
Di sisi aset tidak lancar, angka piutang jangka panjang perseroan juga turun dari Rp 78,94 miliar pada 2017 hingga tidak ada sama sekali pada laporan keuangan terakhir emiten. Dengan penurunan aset lancar dan aset tidak lancarnya, total aset perseroan menyusut Rp 272 miliar menjadi tinggal Rp 869,78 miliar dari Rp 1,14 triliun.
Meskipun asetnya turun, utang perseroan justru bertambah, terutama dari sisi utang pajak dan utang pihak ketiga. Utang pajak perseroan naik Rp 22,49 miliar menjadi Rp 84,61 miliar dari sebelumnya Rp 22,12 miliar, sedangkan utang pihak ketiga naik Rp 44,04 miliar menjadi Rp 53,46 miliar dari sebelumnya Rp 9,42 miliar.
Laporan keuangan yang baru dipublikasikan di situs bursa tersebut diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Amachi Arifin Mardani & Muliadi dengan opini wajar dengan pengecualian, terutama menyoroti pada saldo investasi MTN Rp 679,72 miliar yang tidak diperhitungkan penyusutannya dalam laporan laba-rugi.
Selain MTN, KAP tersebut juga mengaitkan uang muka investasi pada M2B senilai Rp 39,11 miliar untuk diperhitungkan penyusutannya.
Meskipun sudah diaudit, laporan keuangan belum disetujui rapat umum pemegang saham (RUPS) karena rapat pemegang saham terakhir batal. Pada 1 November, manajemen perusahaan mengumumkan tentang RUPS yang tidak dapat digelar karena yang hadir hanya 8,35% dari modal disetor perseroan sehingga tidak memenuhi batas minimal kehadiran/kuorum.
Agendanya adalah pengesahan laporan manajemen, pengesahan laporan keuangan 2018, penunjukan akuntan publik untuk tahun buku 2019, serta perubahan direksi-komisaris.
Boris juga mengeluhkan tidak adanya lagi pemegang saham pengendali yang dapat diminta pertanggungjawaban terkait dengan kinerja dan masa depannya, ditambah lagi manajemen yang masih ada berniat mengundurkan diri.
Selain itu, dengan sisa aset yang ada terutama Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di Sumatra Barat, Boris berharap perusahaan masih dapat beroperasi dan memaksimalkan aset serta pendapatan dari toko elektroniknya. Karena itu, dia juga berharap ada pemegang saham atau pemodal baru yang dapat mengambil alih perusahaan.
Sebelumnya, sumber CNBC Indonesia mengungkapkan Direktur Utama perusahaan Adriano Wolfgang Pietruschka diketahui mengundurkan diri. Pengunduran diri ini dilakukan dengan alasan kurangnya komunikasi Adriano dengan manajemen dan pemegang saham pengendali perusahaan, sehingga diakuinya bahwa perusahaan sudah lepas kendali dan kehilangan arah.
"Sehingga dengan berat hati saya memutuskan untuk mengembalikan mandat serta kepercayaan yang telah diberikan kepada saya kembali kepada pemegang saham pengendali perseroan," tulis Adriano dalam surat yang diperoleh CNBC Indonesia, dikutip Rabu ini (6/11/2019).
Hingga saat ini CNBC Indonesia belum dapat menghubungi yang bersangkutan, berikut juga dengan manajemen TMPI lainnya.
"Dengan dicabutnya status perseroan sebagai perusahaan tercatat [delisting], perseroan tidak lagi memiliki kewajiban sebagai perusahaan tercatat dan BEI akan menghapus nama perseroan dari daftar perusahaan tercatat yang mencatatkan sahamnya di BEI," tulis manajemen BEI.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/tas) Next Article Balada Saham TMPI: Taman 'Makam' Para Investor
Selain itu, salah satu investor ritel bernama Boris, nama samaran, bersama dua orang pemegang saham ritel juga menduga manajemen dan pemegang saham mayoritas perseroan sengaja mengeluarkan sahamnya dari bursa dan berniat menguasai aset tambang perusahaan.
"Dugaan kami terdapat penggelapan dana dengan dalil investasi pada surat utang jangka menengah [medium term notes/MTN] yang bunganya 1% dan selalu digulirkan ketika jatuh tempo. Nilainya sekitar Rp 700 miliar. Karena itu, kami masih meminta agar delisting ditunda," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Selasa kemarin (5/11/19).
Hingga saat ini belum ada laporan keuangan per September 2019. Di BEI, terakhir laporan keuangan yang dipublikasikan yakni per Desember 2018. Dalam lapkeu tersebut, terungkap saham perusahaan dipegang PT Pratama Duta Sentosa 0,14%, sementara investor publik mencapai 99,86% atau 5.494.583.747 saham.
Penghapusan (delisting) saham perusahaan yang dulu dikenal dengan nama Agis dari papan bursa dijadwalkan terjadi pada 11 November, atau berarti 5 hari lagi berdasarkan pengumuman Bursa Efek Indonesia pada 11 Oktober.
Permintaan Boris dan rekan-rekannya kepada BEI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) itu didasari anggapan bahwa dugaan penggelapan yang masuk ranah pidana tersebut tidak dapat dituntaskan jika perusahaan keluar dari pasar modal. Tidak ada dorongan dari otoritas pasar modal dan otoritas bursa dapat membuat daya tawar pemegang saham ritel tergerus.
Mereka menduga MTN yang sudah berkali-kali digulirkan belum jelas benar penerbitnya dan kegunaannya sehingga mengindikasikan ada yang tidak beres. Salah satu hal dari efek utang tersebut yang paling memunculkan dugaan adalah bunganya yang hanya 1% per tahun.
Pembelian MTN dengan bunga 1%
Laporan keuangan perseroan 2018 yang baru dipublikasikan di situs otoritas bursa serta data serupa pada 2016 menunjukkan efek utang tersebut dibeli oleh anak usaha TMPI yaitu PT Agis Electronic dan PT Agis Mitra Mandiri (AMM) dengan bunga 1%.
MTN itu terdiri dari yang diterbitkan oleh Vasco Trading Ltd dan Emerald Star Investment Ltd. Efek utang yang diterbitkan Vasco dan dibeli Agis Electronic-AMM diterbitkan dalam tujuh seri dengan nilai masing-masing Rp 50 miliar dan jatuh tempo pada 3 Oktober kemarin.
Selain itu, MTN Vasco juga ada yang terbit sejak 2012 senilai Rp 30,75 miliar dan digulirkan terus pada 2013 dan 2015 hingga 2017 dan seharusnya sudah jatuh tempo pada 24 Juli kemarin.
Sedangkan efek yang diterbitkan Emerald Star Investment Ltd sebanyak enam seri senilai masing-masing Rp 50 miliar diterbit sejak 2016. Satu lagi, MTN Emerald juga ada yang terbit pada 2015 dan diperpanjang pada 2017 senilai Rp 20,33 miliar dengan bunga 1% sehingga seharusnya jatuh tempo pada 16 Juli.
Selain penerbitan MTN, kas dan setara kas perseroan juga hilang Rp 2,81 miliar yang dilaporkan dalam laporan keuangan 2018. Piutang perseroan juga terhapuskan dari laporan senilai total Rp 147,54 miliar, terdiri dari piutang pihak ketiga dan piutang lain-lain pihak ketiga.
Dalam laporan keuangan yang teraudit tersebut, manajemen menyatakan akun tersebut sudah dikurangi penyisihan kerugian penurunan nilai. Ditambah dengan penurunan kas dan setara kasnya, artinya aset lancar perseroan tinggal Rp 58,71 miliar pada 2018 dari posisi tahun sebelumnya Rp 219,23 miliar.
Pos Akun | Dec-18 | Dec-17 |
Aset lancar | 58712 | 219,237 |
Aset tidak lancar | 811067 | 922,707 |
Jumlah aset | 869780 | 1,141,944 |
Di sisi aset tidak lancar, angka piutang jangka panjang perseroan juga turun dari Rp 78,94 miliar pada 2017 hingga tidak ada sama sekali pada laporan keuangan terakhir emiten. Dengan penurunan aset lancar dan aset tidak lancarnya, total aset perseroan menyusut Rp 272 miliar menjadi tinggal Rp 869,78 miliar dari Rp 1,14 triliun.
Meskipun asetnya turun, utang perseroan justru bertambah, terutama dari sisi utang pajak dan utang pihak ketiga. Utang pajak perseroan naik Rp 22,49 miliar menjadi Rp 84,61 miliar dari sebelumnya Rp 22,12 miliar, sedangkan utang pihak ketiga naik Rp 44,04 miliar menjadi Rp 53,46 miliar dari sebelumnya Rp 9,42 miliar.
Laporan keuangan yang baru dipublikasikan di situs bursa tersebut diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Amachi Arifin Mardani & Muliadi dengan opini wajar dengan pengecualian, terutama menyoroti pada saldo investasi MTN Rp 679,72 miliar yang tidak diperhitungkan penyusutannya dalam laporan laba-rugi.
Selain MTN, KAP tersebut juga mengaitkan uang muka investasi pada M2B senilai Rp 39,11 miliar untuk diperhitungkan penyusutannya.
Meskipun sudah diaudit, laporan keuangan belum disetujui rapat umum pemegang saham (RUPS) karena rapat pemegang saham terakhir batal. Pada 1 November, manajemen perusahaan mengumumkan tentang RUPS yang tidak dapat digelar karena yang hadir hanya 8,35% dari modal disetor perseroan sehingga tidak memenuhi batas minimal kehadiran/kuorum.
Boris juga mengeluhkan tidak adanya lagi pemegang saham pengendali yang dapat diminta pertanggungjawaban terkait dengan kinerja dan masa depannya, ditambah lagi manajemen yang masih ada berniat mengundurkan diri.
Selain itu, dengan sisa aset yang ada terutama Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di Sumatra Barat, Boris berharap perusahaan masih dapat beroperasi dan memaksimalkan aset serta pendapatan dari toko elektroniknya. Karena itu, dia juga berharap ada pemegang saham atau pemodal baru yang dapat mengambil alih perusahaan.
Sebelumnya, sumber CNBC Indonesia mengungkapkan Direktur Utama perusahaan Adriano Wolfgang Pietruschka diketahui mengundurkan diri. Pengunduran diri ini dilakukan dengan alasan kurangnya komunikasi Adriano dengan manajemen dan pemegang saham pengendali perusahaan, sehingga diakuinya bahwa perusahaan sudah lepas kendali dan kehilangan arah.
"Sehingga dengan berat hati saya memutuskan untuk mengembalikan mandat serta kepercayaan yang telah diberikan kepada saya kembali kepada pemegang saham pengendali perseroan," tulis Adriano dalam surat yang diperoleh CNBC Indonesia, dikutip Rabu ini (6/11/2019).
Hingga saat ini CNBC Indonesia belum dapat menghubungi yang bersangkutan, berikut juga dengan manajemen TMPI lainnya.
"Dengan dicabutnya status perseroan sebagai perusahaan tercatat [delisting], perseroan tidak lagi memiliki kewajiban sebagai perusahaan tercatat dan BEI akan menghapus nama perseroan dari daftar perusahaan tercatat yang mencatatkan sahamnya di BEI," tulis manajemen BEI.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/tas) Next Article Balada Saham TMPI: Taman 'Makam' Para Investor
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular