Warning! Sektor Konstruksi Penyumbang Terbesar NPL Perbankan

Syahrizal Sidik , CNBC Indonesia
05 November 2019 09:37
Gencarnya pemerintah membangun infrastruktur menyebabkan sektor perbankan ikut terkena dampaknya.
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Gencarnya pemerintah membangun infrastruktur menyebabkan sektor perbankan ikut terkena dampaknya. Sektor konstruksi dinilai menjadi salah satu penyumbang utama rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) terbesar di perbankan, setelah sektor properti. 

Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan menuturkan sektor properti dan real estate, menyumbang NPL sebesar 3,7%, disusul sektor konstruksi 3,6% dan pertambangan 3,1%.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per September 2019, menunjukkan NPL perbankan nasional berada di level 2,66%. 


"
NPL masih di kisaran 2,6-2,7%. Dengan tingginya bantalan permodalan perbankan Indonesia, dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil, turunnya suku bunga rupiah dan global, NPL masih bisa terjaga di bawah 3%," kata Fauzi Ichsan di Jakarta, Senin (4/11/2019).

Berdasarkan Indikator Likuiditas yang dipublikasikan LPS, loan to depocit ratio (LDR) perbankan di tahun depan diproyeksikan semakin mengetat di level 100,6%, namun, hal itu dinilai masih bisa berubah menyesuaikan dengan pertumbuhan kredit. Rasio LDR dalah besarnya seluruh volume kredit yang disalurkan oleh bank dan jumlah penerimaan dana dari berbagai sumber (DPK).


La Ode Saiful Akbar, Wakil Ketua Umum Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional menyampaikan, NPL di sektor konstruksi cukup tinggi karena kontraktor swasta kesulitan mengakses pembiayaan dari perbankan.

Sebabnya, kata dia, proyek konstruksi masih didominasi perusahaan pelat merah. Pembiayaan proyek infrastruktur bersifat dalam jangka panjang dan pembayaran yang tertunda menyebabkan NPL perbankan jadi membengkak.

Selain itu, kata dia, 
keberpihakan perbankan terhadap pengusaha dalam hal ini kontrak juga masih minim, sehingga kontraktor kesulitan mengakses pembiayaan perbankan.

"Problemnya selama ini pekerjaan konstruksi dikuasai oleh BUMN, tidak sampai kepada pengusaha-pengusaha swasta," ungkapnya.

Memang, pemerintah, melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah melarang BUMN menggarap proyek dengan nilai di bawah Rp 100 miliar. Kebijakan ini untuk memudahkan para kontraktor kecil dan menengah mendapatkan pekerjaan.

"Tapi itu induk BUMN, anak perusahaan BUMN mengerjakan Rp 100 miliar ke bawah. Akhirnya kita pengusaha nasional tidak dapat apa-apa," tandasnya.


Pak Jokowi, swasta butuh ruang gerak

[Gambas:Video CNBC]

 


(tas) Next Article Analis: NPL Sektor Konstruksi Belum Mengkhawatirkan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular