Rilis Pertumbuhan Ekonomi Bikin Deg-degan, IHSG Melempem

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 November 2019 16:35
Rilis Pertumbuhan Ekonomi Bikin Deg-degan, IHSG Melempem
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan pertama di pekan ini, Senin (4/11/2019), di zona hijau.

Pada pembukaan perdagangan, IHSG menguat 0,19% ke level 6.219,13. IHSG kemudian bertahan di zona hijau untuk waktu yang lumayan lama.

Sayang, menjelang penutupan perdagangan sesi satu, IHSG berbalik arah ke zona merah. Per akhir sesi satu, data perdagangan mencatat, indeks saham acuan di Indonesia tersebut melemah 0,2% ke level 6.194,71. Per akhir sesi dua, koreksi IHSG menjadi semakin dalam yakni sebesar 0,43% ke level 6.180,34.

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang justru kompak melaju di zona hijau: indeks Shanghai naik 0,58%, indeks Hang Seng menguat 1,65%, indeks Straits Times terapresiasi 0,21%, dan indeks Kospi bertambah 1,43%. Untuk diketahui, perdagangan di bursa saham Jepang diliburkan pada hari ini seiring dengan peringatan Culture Day.


Bursa saham Benua Kuning menguat seiring dengan membuncahnya optimisme bahwa AS dan China akan segera meneken kesepakatan dagang tahap satu.

Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross optimistis bahwa kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China akan bisa diteken pada bulan ini juga. Sementara itu, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa jika kedua negara benar berhasil menyepakati kesepakatan dagang tahap satu, penandatanganan akan digelar di AS.

"Pertama-tama, saya ingin meneken kesepakatan dagang," kata Trump di Gedung Putih kala berbicara di hadapan reporter, Minggu (3/11/2019), seperti dilansir dari Bloomberg.

"Lokasi penandatangan kesepakatan dagang, untuk saya, sangatlah mudah (untuk ditentukan)."

Untuk diketahui, sebelumnya AS dan China berencana untuk meneken kesepakatan dagang tahap satu di Chile, kala Trump bertemu dengan Presiden China XI Jinping di sela-sela gelaran KTT APEC. Namun, rencana tersebut kemudian dipertanyakan menyusul keputusan Chile untuk membatalkan gelaran tersebut, seiring dengan aksi demonstrasi yang tak kunjung padam di sana.

Wajar jika pelaku pasar begitu mengapresiasi potensi ditekennya kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China.

Pasalnya, hingga saat ini kedua negara telah mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor dari masing-masing negara senilai ratusan miliar. Bahkan, AS telah bersikap lebih keras dengan memblokir perusahaan-perusahaan asal China dari melakukan bisnis dengan AS.

Pada Mei 2019, Trump mendeklarasikan kondisi darurat nasional di sektor teknologi melalui sebuah perintah eksekutif. Dengan aturan itu, Menteri Perdagangan Wilbur Ross menjadi memiliki wewenang untuk memblokir transaksi dalam bidang teknologi informasi atau komunikasi yang menimbulkan risiko bagi keamanan nasional AS.

Bersamaan kebijakan ini, Huawei Technologies dan 68 entitas yang terafiliasi dengan Huawei Technologies dimasukkan ke dalam daftar perusahaan yang dilarang membeli perangkat dan komponen dari perusahaan AS tanpa persetujuan pemerintah.

Dalam keterangan resmi yang diperoleh CNBC Indonesia dari halaman Federal Register, pemerintah AS beralasan bahwa terdapat dasar yang cukup untuk mengambil kesimpulan bahwa Huawei telah terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan keamanan nasional atau arah kebijakan luar negeri dari AS.


Bukan hanya keamanan nasional, Hak Asasi Manusia (HAM) juga dijadikan alasan oleh pihak AS untuk memblokir perusahaan asal China dalam upayanya untuk memenangkan perang dagang. Per tanggal 9 Oktober 2019, AS resmi memasukkan 28 entitas asal China ke dalam daftar hitam, di mana sebanyak delapan di antaranya merupakan perusahaan teknologi raksasa asal China.

Dimasukkan delapan perusahaan teknologi raksasa asal China tersebut membuat mereka tak bisa melakukan bisnis dengan perusahaan asal AS tanpa adanya lisensi khusus. AS beralasan bahwa kedelapan perusahaan tersebut terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap kaum Muslim di Xinjiang, China.

Jika AS dan China benar bisa meneken kesepakatan dagang tahap satu, ada peluang bea masuk tambahan yang kini sudah diterapkan dan pemblokiran terhadap perusahaan-perusahaan asal China bisa dicabut. Jika ini yang terjadi, roda perekonomian dunia bisa dipacu untuk berputar lebih kencang.

Di sisi lain, masuknya Hong Kong ke periode resesi tak menghentikan aksi beli oleh pelaku pasar saham Asia. Apresiasi indeks Hang Seng yang mencapai 1,65% pada hari ini bahkan menandai apresiasi selama tiga hari beruntun.

Pada pekan lalu tepatnya hari Kamis (31/10/2019), Departemen Sensus dan Statistik Hong Kong merilis pembacaan awal untuk data pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019. Pada tiga bulan ketiga tahun ini, perekonomian Hong Kong diketahui membukukan kontraksi sebesar 3,2% secara kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ).

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Lantaran pada kuartal II-2019 perekonomian Hong Kong sudah terkontraksi sebesar 0,4% secara kuartalan, pertumbuhan ekonomi yang kembali negatif secara kuartalan pada kuartal III-2019 resmi membawa Hong Kong mengalami resesi untuk kali pertama sejak tahun 2009, kala krisis keuangan global menerpa.

Angka Pertumbuhan Ekonomi Bikin Gemetar, IHSG Ditutup MelemahFoto: AP Photo/Dita Alangkara

Aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi di sana selama nyaris lima bulan sukses menekan laju perekonomian dengan sangat signifikan, seiring dengan terkontraksinya sektor pariwisata dan ritel. Untuk diketahui, aksi demonstrasi besar-besaran yang dalam beberapa waktu terakhir terjadi di Hong Kong pada awalnya dipicu oleh penolakan terhadap RUU ekstradisi.

Selain karena adanya optimisme bahwa AS dan China akan segera meneken kesepakatan dagang tahap satu, masuknya Hong Kong ke periode resesi tak menekan kinerja bursa saham Asia lantaran ada optimisme bahwa situasi di Hong Kong akan membaik di masa depan.

Hal ini bisa terjadi seiring dengan suntikan kebijakan moneter yang diberikan oleh bank sentral Hong Kong dan suntikan kebijakan fiskal oleh pemerintahnya.

Pada hari Kamis, bank sentral Hong Kong memutuskan untuk memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 2%. Dari sisi fiskal, sejauh ini pemerintah Hong Kong telah menyuntikkan dana segar senilai lebih dari HKD 20 miliar ke perekonomian. Suntikan dana segar ini diarahkan untuk menggairahkan sektor transportasi, pariwisata, serta ritel.

Di masa depan, Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengatakan bahwa pemerintah akan kembali memberikan suntikan fiskal.

IHSG ditutup di zona merah seiring dengan kehadiran sentimen negatif dari dalam negeri.

Sentimen negatif yang dimaksud adalah rilis angka pertumbuhan ekonomi. Selasa besok (5/11/2019), angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019 dijadwalkan dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). 

Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh di bawah konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,19%. Pada kuartal II-2019, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan, sama persis dengan konsensus. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,06% YoY.

Angka pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama tahun ini sedikit berada di atas capaian pada periode yang sama tahun sebelumnya (kuartal I-2018) yang sebesar 5,06%. Sementara untuk periode kuartal-II 2019, pertumbuhan ekonomi jauh lebih rendah jika dibandingkan capaian kuartal II-2018 yang mencapai 5,27%.

Pada kuartal III-2019, konsensus yang dihimpun oleh Trading Economics memperkirakan bahwa perekonomian Indonesia hanya akan tumbuh sebesar 5,01% secara tahunan, melambat dari capaian di kuartal I dan II. Sementara itu, konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan berada di level 5,02% secara tahunan.

Jika hanya mencapai 5,01% atau 5,02%, maka pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2019 akan jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.

Bahkan, Tim Riset CNBC Indonesia melihat bahwa ada ruang yang besar bagi pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019 untuk melandai ke bawah level 5%.

Berbicara mengenai angka pertumbuhan ekonomi, pastilah kita berbicara mengenai konsumsi rumah tangga. Maklum, lebih dari 50% perekonomian Indonesia dibentuk oleh konsumsi rumah tangga. Pada tahun 2018, konsumsi rumah tangga menyumbang sebesar 55,7% dari total perekonomian Indonesia.

Sejauh ini, ada indikasi bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada dalam posisi yang lemah. Pada pekan lalu, BPS mengumumkan bahwa pada Oktober 2019 terjadi inflasi sebesar 0,02% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,13%.

Angka Pertumbuhan Ekonomi Bikin Gemetar, IHSG Ditutup MelemahFoto: Badan Pusat Statistik merilis inflasi Oktober 2019. (CNBC Indonesia/Lidya Julita S)

 

"Hasil pantauan BPS di 82 kota terjadi inflasi 0,02%. Untuk inflasi tahun kalender Januari-Oktober 2019 mencapai 2,22% dan year-on-year 3,13%," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi persnya, Jumat (1/11/2019).

Inflasi pada bulan lalu berada di posisi yang lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan adanya inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan sebesar 3,23%.

Lantas, lagi-lagi inflasi berada di bawah ekspektasi. Untuk periode September 2019, BPS mencatat terjadi deflasi sebesar 0,27% secara bulanan, lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksikan deflasi sebesar 0,15% saja.

Untuk diketahui, jika ditotal untuk periode kuartal III-2019, Indonesia membukukan inflasi sebesar 0,16% saja. Inflasi pada kuartal III-2019 berada jauh di bawah rata-rata inflasi kuartal III dalam empat tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mencapai 0,62%.

 

Lebih lanjut, indikasi lemahnya daya beli masyarakat Indonesia juga datang dari kinerja penjualan barang-barang ritel yang lesu. Sudah sedari bulan Mei, pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3% YoY.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular