Newsletter

Khasiat The Fed Kurang Manjur, Saatnya Pantau Data Inflasi

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
01 November 2019 06:39
Khasiat The Fed Kurang Manjur, Saatnya Pantau Data Inflasi
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup bervariatif cenderung melemah pada perdagangan kemarin (31/10/2019). Baik Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sama-sama terkoreksi. Sedangkan harga obligasi pemerintah ditutup menguat.

Bursa saham acuan Ibu Pertiwi sepanjang perdagangan kemarin anteng di zona merah hingga akhirnya ditutup terperosok 1,07% ke level 6.229,32 indeks poin.


Saham-saham yang berkontribusi signifikan menekan kinerja IHSG termasuk PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-3,75%), PT Sinar Mas Multiartha Tbk/SMMA (-19,79%), PT Bayan Resources Tbk/BYAN (-15,9%), PT Perusahaan Gas Negara Tbk/PGAS (-13,52%), dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-0,94%).

Lalu Mata Uang Garuda tercatat melemah tipis 0,07%, di mana pada penutupan pasar spot US$ 1 dibanderol Rp 14.032. Padahal rupiah nyaris seharian menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan kala pembukaan pasar, dolar AS berhasil dipaksa lengser ke bawah Rp 14.000 karena rupiah menguat 0,23%.

Sedangkan, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun turun 3,3 basis poin (bps) menjadi 7%. Penurunan yield menandakan harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan.

Sebenarnya, pergerakan pasar keuangan Tanah Air dipengaruhi beberapa sentimen.

Kinerja IHSG dibebani oleh aksi ambil untung alias profit taking yang telah menghantui bursa saham sejak pekan lalu. Pasalnya, pada bulan ini IHSG sempat tercatat menguat hingga 10 hari beruntun yakni pada periode 11-24 Oktober. Dalam periode tersebut, IHSG menguat 5,25%.

Belum lagi, setelah membukukan koreksi pada Jumat (25/10/2019) pekan lalu, selama 3 hari beruntun awal pekan ini, IHSG kembali finis di zona hijau dengan total penguatan 0,69%.

Oleh karena itu wajar saja jika jika hasrat pelaku pasar untuk merealisasikan keuntungan di pasar saham begitu terasa dalam beberapa hari terakhir.


Sementara itu, pelemahan rupiah besar kemungkinan karena faktor musiman. Kebutuhan valas korporasi memang sedang tinggi saat akhir bulan karena ada kewajiban pembayaran utang, impor, dan sebagainya. Rupiah pun mengalami tekanan jual dan akhirnya melemah.

Di lain pihak, harga obligasi pemerintah Indonesia masih dapat mencatatkan penguatan seiring dengan sentimen positif dari bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yang memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75%.

Pemangkasan federal funds rate merupakan berita baik bagi instrumen keuangan berbasis rupiah, seperti obligasi, karena suku bunga acuan yang rendah berarti dolar AS kehilangan katalis positif untuk menarik aksi beli pelaku pasar. Pasalnya, imbal hasil yang diperoleh semakin menipis.

[Gambas:Video CNBC]

Beralih ke bursa saham utama AS, tiga indeks utama Wall Street kompak ditutup melemah pada perdagangan kemarin karena fokus pelaku pasar tampaknya beralih ke friksi dagang AS dan China seiring dengan memudarnya optimisme damai dagang antara kedua negara

Data pasar menunjukkan indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup anjlok 0,52% ke 27.046,23 indeks poin. Diikuti oleh indeks S&P 500 yang terkoreksi 0,3% ke 3.037,56 indeks poin dan indeks Nasdaq yang melemah 0,14% menjadi 8.292,36 indeks poin.

Optimisme pelaku pasar terkait damai dagang dua kekuatan ekonomi terbesar dunia memudar setelah pihak China diketahui pesimis bahwa kesepakatan damai dagang hanya akan bersikap sementara.

Pada pagi Kamis (31/10/2019) pagi hari, Bloomberg memberitakan bahwa salah seorang pejabat pemerintahan asal Negeri Tiongkok mulai meragukan tercapainya kesepakatan perdagangan jangka panjang dengan Negeri Paman Sam, meskipun kedua belah pihak sedang dalam tahap finalisasi 'fase pertama', dilansir CNBC International.

Pihak China juga dikabarkan khawatir akan 'sifat impulsif' Presiden AS Donald Trump dan resiko bahwa dia Trump bisa saja mundur dari segala jenis kesepakatan.

Kabar tersebut tentu sangat mengejutkan pelaku pasar karena belakang ini berita yang beredar menginformasikan bahwa delegasi Washington dan Beijing sedang mengusahakan untuk segera meyelesaikan teks perjanjian kesepakatan fase pertama. Perwakilan dagang kedua negara bahwa akan kembali berkomunikasi lewat telpon besok (1/11/2019).

"Delegasi perdagangan China dan AS tetap dalam komunikasi yang erat dan saat ini terdapat kemajuan yang mulus dalam negosiasi," ujar pernyataan yang ditulis oleh Kementerian Perdagangan China.

"Kedua belah pihak akan terus mendorong negosiasi dan pekerjaan lain sesuai rencana semula," tambah pernyataan tersebut.

Belum lagi Trump juga menyampaikan dalam akun Twitter pribadinya bahwa kedua negara sedang berdiskusi untuk menentukan lokasi penandatangan kesepakatan fase pertama.

"China dan AS sedang berupaya memilih lokasi baru untuk penandatanganan perjanjian perdagangan fase pertama, yang merangkum 60% dari total kesepakatan, setelah APEC di Chile batal dilakukan karena alasan yang tidak berhubungan (dengan negosiasi dagang), Lokasi baru akan segera diumumkan. Presiden Xi dan Presiden Trump akan melakukan penandatanganan." Cuit Trump.

Jika ternyata apa yang diragukan oleh pejabat China benar terjadi, tentu ini bukan berita baik bagi perekonomian global. Pasalnya, jika damai dagang dua kekuatan ekonomi tersebut hanya bertahan sementara, maka perekonomian global sudah dipastikan tidak dapat pulih sepenuhnya. Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan Wall Street yang negatif. Semoga pesimisme yang melanda di Wall Street tidak menular ke Asia, termasuk Indonesia.

Sentimen kedua adalah terkait friksi dagang AS dan China yang dikhawatirkan hanya bersifat sementara dan tidak berujung pada kesepakatan final yang mengakhiri perseteruan dagang antara kedua negara.

Sejatinya, banyak analis skeptis bahwa kesepakatan fase pertama benar-benar akan berbuah manis. Bank investasi kenamaan dunia, Morgan Stanley, sebelumnya menyampaikan bahwa kesepakatan dagang tersebut adalah pengaturan yang "tidak pasti" dan tidak terlihat jalan keluar untuk mengurangi tarif yang sudah berlaku sekitar 15 bulan terakhir.

Oleh karena itu, Morgan Stanley menekankan bahwa tanpa mekanisme penyelesaian sengketa untuk periode jangka panjang, babak baru kenaikan tarif tidak dapat dikesampingkan.

Untuk diketahui, sejauh ini kesepakatan fase pertama memang hanya berisi penundaan pengenaan kenaikan tarif bea masuk atas produk China senilai US$ 250 miliar dari 25% menjadi 30%, yang seyogianya efektif per 15 Oktober silam.

Jika pada akhirnya tarif yang sudah berlaku tidak akan dihapus, tentu butuh waktu bagi laju roda perekonomian kedua negara untuk berputar kencang dan hal ini akan turut menghambat pemulihan laju perekonomian global.

Kemudian perhatian pelaku pasar juga akan tertuju pada sentimen ketiga yang datang dari dalam negeri, yakni rilis data inflasi bulan Oktober yang akan diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada siang hari ini.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan terjadi inflasi 0,11% secara month-on-month (MoM). Sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) diperkirakan sebesar 3,225% dan inflasi inti tahunan di 3,305%.

Bulan sebelumnya, BPS mencatat ada deflasi 0,27% MoM. Sedangkan inflasi tahunan berada di 3,39% dan inflasi inti tahunan 3.32%. Jadi walau secara bulanan terjadi inflasi, tetapi secara tahunan dan inti ada perlambatan.

Laju inflasi yang 'aman' ini membuka ruang bagi MH Thamrin untuk kembali melonggarkan kebijakan moneter. Sejak awal tahun, suku bunga acuan memang sudah turun empat kali, tetapi tetap ada peluang untuk dipangkas setidaknya sekali lagi.

"Data inflasi mendukung agenda BI untuk menerapkan kebijakan moneter akomodatif. Ditambah dengan posisi The Fed (The Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat) yang juga dovish, neraca perdagangan yang membaik, Neraca Pembayaran yang sehat, dan kurs rupiah yang stabil, kami melihat ada ruang penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate 25 bps (basis poin) lagi menjadi 4,75%," papar Andry Asmoro, Kepala Ekonom Bank Mandiri.

Lalu yang terakhir, sentimen keempat yang bisa positif bagi rupiah, adalah perkembangan harga minyak. Pada pukul 04:47 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet anjlok masing-masing 0,63% dan 1,67%.

Harga minyak dunia melemah seiring dengan aktifitas pabrik di Negeri Tiongkok yang menyusut di bulan Oktober dan menandakan pelemahan 6 bulan berturut-turut. Belum lagi aktifitas sektor jasa juga tercatat paling lambat sejak Februari 2016, dilansir CNBC International.

Koreksi harga minyak adalah berkah bagi rupiah. Sebab penurunan harga minyak bisa membuat biaya impor komoditas ini lebih murah. Sesuatu yang tentu menguntungkan bagi negara net importir minyak seperti Indonesia. Simak Agenda dan Data Berikut Ini


Berikut adalah rilis data ekonomi yang akan terjadi hari ini:

• Tingkat pengangguran bulan September, Jepang (06:30 WIB)
• Neraca perdagangan bulan Oktober, Korea Selatan (07:00 WIB)
• Angka final PMI sektor manufaktur bulan Oktober, Jepang (07:30 WIB)
• PMI sektor manufaktur bulan Oktober versi Markit, Indonesia (07:30 WIB)
• PMI sektor manufaktur bulan Oktober versi Markit, Korea Selatan (07:30 WIB)
• PMI sektor manufaktur versi Caixin, China (08:45 WIB)
• Laju inflasi bulan Oktober, Indonesia (11:00 WIB)
• Pertumbuhan kredit bulan September, Indonesia (11:00 WIB)
• Jumlah kedatangan wisatawan bulan September, Indonesia (11:00 WIB)
• PMI sektor manufaktur bulan Oktober versi Markit, Inggris (16:30 WIB)
• Perubahan rata-rata gaji per jam, AS (19:30 WIB)
• Penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian, AS (19:30 WIB)
• Tingkat pengangguran, AS (09:30 WIB)
• Angka final PMI sektor manufaktur versi Institute of Supply Management (ISM), AS (21:00 WIB)

Berikut adalah agenda aksi korporasi perusahaan publik yang akan terjadi hari ini:

• Rilis kinerja keuangan 9M2019 PT XL Axiata Tbk (EXCL)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q2-2019 YoY)

5,05%

Inflasi (September 2019 YoY)

3,39%

BI 7-Day Reverse Repo Rate (Oktober 2019)

5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Q2-2019)

-3,04% PDB

Neraca pembayaran (Q2-2019)

-US$ 1,98 miliar

Cadangan devisa (September2019)

US$ 124,3 miliar


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular