Newsletter

Khasiat The Fed Kurang Manjur, Saatnya Pantau Data Inflasi

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
01 November 2019 06:39
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan Wall Street yang negatif. Semoga pesimisme yang melanda di Wall Street tidak menular ke Asia, termasuk Indonesia.

Sentimen kedua adalah terkait friksi dagang AS dan China yang dikhawatirkan hanya bersifat sementara dan tidak berujung pada kesepakatan final yang mengakhiri perseteruan dagang antara kedua negara.

Sejatinya, banyak analis skeptis bahwa kesepakatan fase pertama benar-benar akan berbuah manis. Bank investasi kenamaan dunia, Morgan Stanley, sebelumnya menyampaikan bahwa kesepakatan dagang tersebut adalah pengaturan yang "tidak pasti" dan tidak terlihat jalan keluar untuk mengurangi tarif yang sudah berlaku sekitar 15 bulan terakhir.

Oleh karena itu, Morgan Stanley menekankan bahwa tanpa mekanisme penyelesaian sengketa untuk periode jangka panjang, babak baru kenaikan tarif tidak dapat dikesampingkan.

Untuk diketahui, sejauh ini kesepakatan fase pertama memang hanya berisi penundaan pengenaan kenaikan tarif bea masuk atas produk China senilai US$ 250 miliar dari 25% menjadi 30%, yang seyogianya efektif per 15 Oktober silam.

Jika pada akhirnya tarif yang sudah berlaku tidak akan dihapus, tentu butuh waktu bagi laju roda perekonomian kedua negara untuk berputar kencang dan hal ini akan turut menghambat pemulihan laju perekonomian global.

Kemudian perhatian pelaku pasar juga akan tertuju pada sentimen ketiga yang datang dari dalam negeri, yakni rilis data inflasi bulan Oktober yang akan diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada siang hari ini.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan terjadi inflasi 0,11% secara month-on-month (MoM). Sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) diperkirakan sebesar 3,225% dan inflasi inti tahunan di 3,305%.

Bulan sebelumnya, BPS mencatat ada deflasi 0,27% MoM. Sedangkan inflasi tahunan berada di 3,39% dan inflasi inti tahunan 3.32%. Jadi walau secara bulanan terjadi inflasi, tetapi secara tahunan dan inti ada perlambatan.

Laju inflasi yang 'aman' ini membuka ruang bagi MH Thamrin untuk kembali melonggarkan kebijakan moneter. Sejak awal tahun, suku bunga acuan memang sudah turun empat kali, tetapi tetap ada peluang untuk dipangkas setidaknya sekali lagi.

"Data inflasi mendukung agenda BI untuk menerapkan kebijakan moneter akomodatif. Ditambah dengan posisi The Fed (The Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat) yang juga dovish, neraca perdagangan yang membaik, Neraca Pembayaran yang sehat, dan kurs rupiah yang stabil, kami melihat ada ruang penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate 25 bps (basis poin) lagi menjadi 4,75%," papar Andry Asmoro, Kepala Ekonom Bank Mandiri.

Lalu yang terakhir, sentimen keempat yang bisa positif bagi rupiah, adalah perkembangan harga minyak. Pada pukul 04:47 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet anjlok masing-masing 0,63% dan 1,67%.

Harga minyak dunia melemah seiring dengan aktifitas pabrik di Negeri Tiongkok yang menyusut di bulan Oktober dan menandakan pelemahan 6 bulan berturut-turut. Belum lagi aktifitas sektor jasa juga tercatat paling lambat sejak Februari 2016, dilansir CNBC International.

Koreksi harga minyak adalah berkah bagi rupiah. Sebab penurunan harga minyak bisa membuat biaya impor komoditas ini lebih murah. Sesuatu yang tentu menguntungkan bagi negara net importir minyak seperti Indonesia. (dwa)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular