Sebenarnya ada sentimen eksternal yang positif bagi rupiah dkk di Asia. Pertama, hubungan AS-China sepertinya semakin hari semakin mesra saja.
Presiden AS Donald Trump mengungkapkan kesepakatan damai dagang fase I bisa selesai lebih cepat dari perkiraan. Awalnya, kesepakatan tersebut direncanakan rampung pada pertengahan November, bersamaan dengan KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Chile.
"Kami melihat ada kemungkinan (kesepakatan damai dagang fase I) lebih cepat dari jadwal. Akan ada sebuah kesepakatan yang sangat besar, tetapi kami menyebutnya fase I," ungkap Trump kepada wartawa sebelum kunjungan kerja ke Chicago, seperti diberitakan Reuters.
Menurut Trump, kesepakatan fase I tersebut akan sangat menguntungkan para petani AS. Tidak hanya itu, kebutuhan perbankan juga diperhatikan. "Saya bisa katakan kesepakatan ini akan sedikit lebih cepat dari jadwal, atau malah jauh lebih cepat," ujarnya.
Damai dagang AS-China memang sangat didamba. Bukan apa-apa, sudah terbukti perekonomian dunia melambat (bahkan terancam resesi) gara-gara perang dagang AS-China yang merusak rantai pasok global.
Ketika AS-China tidak lagi saling hambat, maka arus perdagangan dan investasi akan bersemi kembali. Pertumbuhan ekonomi dunia pun bakal lebih baik.
Sentimen kedua adalah seputat perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Uni Eropa sepakat untuk memundurkan waktu pelaksanaan Brexit dari 31 Oktober menjadi 31 Januari 2020.
Perdana Menteri Inggris Boris Johson, yang dikenal ngotot memperjuangkan Brexit terjadi pada 31 Oktober, kemudian mencoba langkah percepatan Pemilu. Sedianya Pemilu di Negeri John Bull baru dilaksanakan pada 2022.
Namun upaya Johnson mempercepat Pemilu kandas di parlemen. Pemilu yang dipercepat hanya mendapatkan 299 suara, padahal semestinya minimal 424 suara (dua per tiga).
Dalam suratnya kepada Presiden Dewan Uni Eropa Donald Tusk, Johnson menyampaikan dirinya mau tidak mau harus menerima
extra time pelaksanaan Brexit. Namun Johson menegaskan 31 Januari 2020 adalah tenggat waktu terakhir, tidak bisa diperpanjang lagi.
"Keanggotaan Inggris di Uni Eropa yang tidak dikehendaki ini mencederai demokrasi. Saya ingin menegaskan bahwa perpanjangan waktu setelah 31 Januari tidak dimungkinkan. Kita semua masih punya banyak waktu untuk menyusun kesepakatan," tulis Johnson.
Meski Johnson menerima dengan setengah hati, tetapi pasar justru sebaliknya. Pengunduran pelaksanaan Brexit membuat risiko perceraian Inggris tanpa kesekapatan apa-apa (
No Deal Brexit) menjadi lebih kecil. Brussels dan London punya waktu untuk membuat kesepakatan, sehingga
No Deal Brexit bisa dihindari.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2) Akan tetapi, ada faktor lain yang membuat investor cenderung
wait and see yaitu penantian terhadap rapat Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed). Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan menggelar rapat dan mengumumkan suku bunga acuan pada 30 Oktober waktu setempat.
Mengutip CME Fedwatch, peluang penurunan Federal Funds Rate memang sangat tinggi. Kans penurunan 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75% mencapai 94,1%.
Akan tetapi, itu masih di atas kertas. Pada kenyataannya, bisa saja The Fed memutuskan untuk tidak menurunkan suku bunga.
The Fed melihat risiko terbesar bagi perekonomian AS datang dari perang dagang dengan China. Charles Evans, Presiden The Fed Chicago, menilai perang dagang AS-China menimbulkan ketidakpastian besar di kalangan dunia usaha.
"Korporasi tentunya grogi melihat kondisi rantai pasok global saat ini. Mereka tentu kebingungan, di mana harus menempatkan dana miliaran dolar. Tidak ada kejelasan," tegasnya dalam wawancara dengan CNBC International.
Namun saat ini ada harapan AS-China bisa mencapai damai dagang. Ketika harapan ke arah sana semakin tebal, apalagi dengan pernyataan Trump yang menggebu-gebu, maka satu risiko besar bakal hilang. Belum lagi risiko
No Deal Brexit yang mengecil.
Oleh karena itu, kebutuhan untuk memberikan stimulus moneter berupa penurunan suku bunga menjadi kurang relevan. Dengan terciptanya damai dagang, maka perlambatan ekonomi AS akan sirna.
Situasi yang masih membingungkan ini membuat investor memilih
wait and see. Belum berani bermain agresif sebelum The Fed memberikan pengumuman.
Akibatnya, dolar AS mendapat sedikit momentum. Pada pukul 08:28 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi
greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,03%. Ini yang membuat rupiah ikut-ikutan galau, menguat tidak melemah juga tidak.
TIM RISET CNBC INDONESIA