
Analisis
Wamen Dilantik, Rupiah Malu-malu ke Bawah Rp 14.000/US$
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
25 October 2019 14:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) bergerak fluktuatif antara penguatan dan pelemahan pada perdagangan Jumat (25/10/19).
Mengawali perdagangan dengan menguat 0,1% di level Rp 14.040/US$. Tetapi setelahnya rupiah terus menipiskan penguatan hingga masuk ke zona merah, hingga berbalik melemah 0,1% ke Rp 14.068/US$.
Pada tengah hari, mata uang Garuda kembali menguat, berada di level Rp 14.045/US$ pada pukul 12:00 WIB.
Pergerakan rupiah pada hari ini masih dipengaruhi euforia Kabinet Indonesia Maju yang sudah resmi dilantik pada Rabu (23/10/19) lalu. Sementara pada hari ini, ada 12 orang yang didapuk sebagai Wakil Menteri.
Selain itu, keputusan Bank Indonesia (BI) yang kembali memangkas suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate turut memberikan sentimen positif bagi rupiah.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 Oktober memutuskan untuk menurunkan bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Kamis (24/10/2019).
"Kebijakan tersebut konsisten dengan perkiraan inflasi yang terkendali dan imbal hasil instrumen keuangan domestik yang tetap menarik, serta langkah pre-emptive lanjutan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perekonomian global yang melambat," tambah Perry.
Dengan demikian BI sudah memangkas suku bunga dalam empat bulan beruntun, masing-masing sebesar 25 basis poin (bps). Pemangkasan tersebut diharapkan mampu membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia terakselerasi.
Di sisi lain, hubungan AS dengan China terlihat kembali merenggang, yang memberikan sentimen negatif ke pasar finansial global termasuk ke rupiah.
Mengutip Bloomberg yang mendapatkan informasi dari pihak-pihak yang mengetahui masalah tersebut, China berniat untuk meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 20 miliar dalam waktu satu tahun jika kesepakatan dagang tahap satu dengan AS bisa diteken.
Hal ini jelas berpotensi menimbulkan masalah baru. Pasalnya, AS menyebut bahwa kesepakatan dagang tahap satu dengan China akan memasukkan komitmen dari Beijing untuk menambah pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar per tahun (bukan US$ 20 miliar seperti yang saat ini diberitakan).
Sementara itu Kamis malam Departemen Perdagangan AS melaporkan pada pesanan barang tahan lama AS turun 1,1% di bulan September secara month-on-month (MoM). Sementara, pesanan barang tahan lama inti (tak memasukkan sektor transportasi) turun 0,3% MoM. Penurunan tersebut lebih buruk dari prediksi Forex Factory masing-masing pada 0,5% dan 0,2%.
Buruknya data tersebut memberikan gambaran ekonomi AS yang sedang melambat, dan peluang bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memangkas suku bunga di akhir bulan ini semakin menguat. Dolar menjadi tertekan, dan rupiah memiliki peluang menguat lagi.
Berbagai sentimen tersebut membuat rupiah masih malu-malu untuk terus menguat dan menembus kembali level psikologis Rp 14.000/US$.
BERLANJUT KE HALAMAN 2: Analisis teknikal rupiah
Mengawali perdagangan dengan menguat 0,1% di level Rp 14.040/US$. Tetapi setelahnya rupiah terus menipiskan penguatan hingga masuk ke zona merah, hingga berbalik melemah 0,1% ke Rp 14.068/US$.
Pada tengah hari, mata uang Garuda kembali menguat, berada di level Rp 14.045/US$ pada pukul 12:00 WIB.
Selain itu, keputusan Bank Indonesia (BI) yang kembali memangkas suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate turut memberikan sentimen positif bagi rupiah.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 Oktober memutuskan untuk menurunkan bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Kamis (24/10/2019).
"Kebijakan tersebut konsisten dengan perkiraan inflasi yang terkendali dan imbal hasil instrumen keuangan domestik yang tetap menarik, serta langkah pre-emptive lanjutan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perekonomian global yang melambat," tambah Perry.
Dengan demikian BI sudah memangkas suku bunga dalam empat bulan beruntun, masing-masing sebesar 25 basis poin (bps). Pemangkasan tersebut diharapkan mampu membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia terakselerasi.
Di sisi lain, hubungan AS dengan China terlihat kembali merenggang, yang memberikan sentimen negatif ke pasar finansial global termasuk ke rupiah.
Mengutip Bloomberg yang mendapatkan informasi dari pihak-pihak yang mengetahui masalah tersebut, China berniat untuk meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 20 miliar dalam waktu satu tahun jika kesepakatan dagang tahap satu dengan AS bisa diteken.
Hal ini jelas berpotensi menimbulkan masalah baru. Pasalnya, AS menyebut bahwa kesepakatan dagang tahap satu dengan China akan memasukkan komitmen dari Beijing untuk menambah pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar per tahun (bukan US$ 20 miliar seperti yang saat ini diberitakan).
Sementara itu Kamis malam Departemen Perdagangan AS melaporkan pada pesanan barang tahan lama AS turun 1,1% di bulan September secara month-on-month (MoM). Sementara, pesanan barang tahan lama inti (tak memasukkan sektor transportasi) turun 0,3% MoM. Penurunan tersebut lebih buruk dari prediksi Forex Factory masing-masing pada 0,5% dan 0,2%.
Buruknya data tersebut memberikan gambaran ekonomi AS yang sedang melambat, dan peluang bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memangkas suku bunga di akhir bulan ini semakin menguat. Dolar menjadi tertekan, dan rupiah memiliki peluang menguat lagi.
Berbagai sentimen tersebut membuat rupiah masih malu-malu untuk terus menguat dan menembus kembali level psikologis Rp 14.000/US$.
BERLANJUT KE HALAMAN 2: Analisis teknikal rupiah
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular