
Ekonomi Jepang dan China Lesu, Rupiah di Ujung Tanduk
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 October 2019 10:41

Namun bukan berarti semua baik-baik saja. Sebab di Asia sendiri, ada risiko yang bisa membuat pelaku pasar ketar-ketir.
Data ekonomi di dua negara besar Asia, Jepang dan China, kurang menggembirakan. Di Jepang, laju inflasi pada September 2019 tercatat 0,2% year-on-year (YoY). Ini menjadi laju terlemah sejak Februari.
Sementara inflasi inti di Negeri Matahari Terbit adalah 0,3% YoY. Ini adalah laju paling lemah sejak Februari 2017.
Inflasi Jepang seperti butuh waktu lama untuk mencapai target bank sentral yaitu 2%. Minimnya inflasi di negara maju seperti Jepang menandakan konsumsi tengah lesu, yang membuat dunia usaha juga enggan menaikkan harga terlalu tinggi. Ini berarti stagnasi ekonomi di Jepang akan sulit diusir dalam waktu dekat.
"Gubernur Kuroda (Haruhiko Kuroda, Gubernur Bank Sentral Jepang) benar. Pemulihan ekonomi global sepertinya akan tertunda. Ekonomi global mungkin saja akan pulih tahun depan, tetapi masih ada risiko seperti faktor geopolitik," kata Menteri Keuangan Jepang Taro Aso, seperti dikutip dari Reuters.
Kemudian di China, pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 diumumkan sebesar 6% YoY. Ini adalah laju terlemah sejak 1992, kali pertama China memperkenalkan data pertumbuhan ekonomi secara YoY.
Ke depan, buka tidak mungkin pertumbuhan ekonomi China terus melambat. Pasalnya, perang dagang dengan AS belum kunjung usai.
"Masih banyak ketidakpastian, terutama terkait kesepakatan dagang AS-China. Saya rasa apabila AS jadi mengenakan bea masuk baru untuk impor produk China pada 15 Desember, maka akan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi 2020," kata Ho Woei Chen, Ekonom UOB, seperti diberitakan Reuters.
Saat ini mungkin data-data ekonomi minor di Jepang dan China masih tertutup oleh euforia kesepakatan Brexit. Namun jika ternyata proposal Brexit mentah lagi di parlemen, maka data-data ini akan menjadi sentimen negatif yang memberatkan laju mata uang Asia, termasuk rupiah.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Data ekonomi di dua negara besar Asia, Jepang dan China, kurang menggembirakan. Di Jepang, laju inflasi pada September 2019 tercatat 0,2% year-on-year (YoY). Ini menjadi laju terlemah sejak Februari.
Sementara inflasi inti di Negeri Matahari Terbit adalah 0,3% YoY. Ini adalah laju paling lemah sejak Februari 2017.
Inflasi Jepang seperti butuh waktu lama untuk mencapai target bank sentral yaitu 2%. Minimnya inflasi di negara maju seperti Jepang menandakan konsumsi tengah lesu, yang membuat dunia usaha juga enggan menaikkan harga terlalu tinggi. Ini berarti stagnasi ekonomi di Jepang akan sulit diusir dalam waktu dekat.
"Gubernur Kuroda (Haruhiko Kuroda, Gubernur Bank Sentral Jepang) benar. Pemulihan ekonomi global sepertinya akan tertunda. Ekonomi global mungkin saja akan pulih tahun depan, tetapi masih ada risiko seperti faktor geopolitik," kata Menteri Keuangan Jepang Taro Aso, seperti dikutip dari Reuters.
Kemudian di China, pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 diumumkan sebesar 6% YoY. Ini adalah laju terlemah sejak 1992, kali pertama China memperkenalkan data pertumbuhan ekonomi secara YoY.
Ke depan, buka tidak mungkin pertumbuhan ekonomi China terus melambat. Pasalnya, perang dagang dengan AS belum kunjung usai.
"Masih banyak ketidakpastian, terutama terkait kesepakatan dagang AS-China. Saya rasa apabila AS jadi mengenakan bea masuk baru untuk impor produk China pada 15 Desember, maka akan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi 2020," kata Ho Woei Chen, Ekonom UOB, seperti diberitakan Reuters.
Saat ini mungkin data-data ekonomi minor di Jepang dan China masih tertutup oleh euforia kesepakatan Brexit. Namun jika ternyata proposal Brexit mentah lagi di parlemen, maka data-data ini akan menjadi sentimen negatif yang memberatkan laju mata uang Asia, termasuk rupiah.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular