Ekonomi Jepang dan China Lesu, Rupiah di Ujung Tanduk

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 October 2019 10:41
Ekonomi Jepang dan China Lesu, Rupiah di Ujung Tanduk
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah juga menguat di perdagangan pasar spot, tetapi apresiasi rupiah terus berkurang.

Pada Jumat (18/10/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor menunjukkan angka Rp 14.140. Rupiah menguat 0,23% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Sementara di pasar spot, rupiah juga masih menghuni zona hijau. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.140 di mana rupiah menguat tipis 0,02%.

Kala pembukaan pasar, rupiah menguat 0,09%. Selepas itu, penguatan rupiah semakin tipis meski belum sampai masuk jalur merah. Namun bukan tidak mungkin rupiah bisa terpeleset.



Mata uang utama Asia lainnya juga cenderung menguat di hadapan dolar AS. Sejauh ini hanya won Korea Selatan, ringgit Malaysia, dan dolar Singapura yang melemah.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:08 WIB:

 

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Investor sepertinya lega karena sengkarut Brexit menemukan titik terang. Setelah negosiasi Inggris-Uni Eropa yang berlangsung hampir tiga tahun, kesepakatan sudah hampir diraih.

Pada 2016, referendum membuahkan hasil Inggris berpisah dengan Uni Eropa, fenomena yang disebut Brexit. Namun setelah tiga tahun sejak referendum, kesepakatan perpisahan tersebut tidak kunjung kelar.

Bahkan proses yang panjang dan melelahkan itu sudah memakan 'tumbal'. Theresa May memutuskan mundur dari kursi perdana menteri, dan digantikan oleh sang mantan menteri luar negeri, Boris Johnson.

Awalnya, publik pesimis Inggris bisa mendapatkan kesepakatan Brexit yang menguntungkan karena Johnson adalah seorang euroskeptik. Johnson pernah berjanji akan membawa Inggris keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober 2019, dengan atau tanpa kesepakatan.

Namun ternyata Johnson berhasil membuktikan bahwa dirinya layak ditunjuk menjadi menteri luar negeri dan kemudian perdana menteri. Kemarin malam waktu Indonesia, Inggris dan Uni Eropa dikabarkan berhasil menyepakati perjanjian Brexit.


"Ketika ada kemauan, di situ ada kesepakatan. Kita sudah memilikinya! Ini adalah perjanjian yang adil bagi Uni Eropa dan Inggris, serta menjadi bukti komitmen kami untuk mencari solusi," tegas Jean-Claude Juncker, Presiden Komisi Uni Eropa, seperti diwartakan Reuters.

"Kita sudah memiliki kesepakatan baru yang bagus. Kesepakatan ini membuat Inggris kembali memegang kendali," tutur Johnson, juga dikutip dari Reuters.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)



Namun bukan berarti semua baik-baik saja. Sebab di Asia sendiri, ada risiko yang bisa membuat pelaku pasar ketar-ketir.

Data ekonomi di dua negara besar Asia, Jepang dan China, kurang menggembirakan. Di Jepang, laju inflasi pada September 2019 tercatat 0,2% year-on-year (YoY). Ini menjadi laju terlemah sejak Februari.

Sementara inflasi inti di Negeri Matahari Terbit adalah 0,3% YoY. Ini adalah laju paling lemah sejak Februari 2017.



Inflasi Jepang seperti butuh waktu lama untuk mencapai target bank sentral yaitu 2%. Minimnya inflasi di negara maju seperti Jepang menandakan konsumsi tengah lesu, yang membuat dunia usaha juga enggan menaikkan harga terlalu tinggi. Ini berarti stagnasi ekonomi di Jepang akan sulit diusir dalam waktu dekat.

"Gubernur Kuroda (Haruhiko Kuroda, Gubernur Bank Sentral Jepang) benar. Pemulihan ekonomi global sepertinya akan tertunda. Ekonomi global mungkin saja akan pulih tahun depan, tetapi masih ada risiko seperti faktor geopolitik," kata Menteri Keuangan Jepang Taro Aso, seperti dikutip dari Reuters.

Kemudian di China, pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 diumumkan sebesar 6% YoY. Ini adalah laju terlemah sejak 1992, kali pertama China memperkenalkan data pertumbuhan ekonomi secara YoY.



Ke depan, buka tidak mungkin pertumbuhan ekonomi China terus melambat. Pasalnya, perang dagang dengan AS belum kunjung usai.


"Masih banyak ketidakpastian, terutama terkait kesepakatan dagang AS-China. Saya rasa apabila AS jadi mengenakan bea masuk baru untuk impor produk China pada 15 Desember, maka akan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi 2020," kata Ho Woei Chen, Ekonom UOB, seperti diberitakan Reuters.

Saat ini mungkin data-data ekonomi minor di Jepang dan China masih tertutup oleh euforia kesepakatan Brexit. Namun jika ternyata proposal Brexit mentah lagi di parlemen, maka data-data ini akan menjadi sentimen negatif yang memberatkan laju mata uang Asia, termasuk rupiah.


TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular