Nyaris Menguat, Rupiah Harus Rela 3 Hari Dilibas Dolar AS

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
16 October 2019 17:38
Nyaris Menguat, Rupiah Harus Rela 3 Hari Dilibas Dolar AS
Foto: Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah melemah lagi melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (16/10/19). Ini berarti, rupiah sudah melemah 3 hari beruntun, sepanjang pekan ini tidak sekalipun mampu menguat.

Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung melemah 0,07% ke level Rp 14.170/US$. Selepas itu, mata uang Garuda terus tertekan dan tidak sekalipun mencicipi zona hijau. Level terlemah rupiah pada hari ini di level Rp 14.189/US$, dan menjadi yang terlemah sejak 3 Oktober lalu, berdasarkan data Refinitiv.



Setelah mencapai level terlemah tersebut, rupiah perlahan bangkit, bahkan sempat stagnan atau menyamai level penutupan Selasa kemarin Rp 14.160/US$.

Namun sayangnya tenaga rupiah hanya sampai di sana, di akhir perdagangan kembali melemah meski tipis 0,03% di level Rp 14.164/US$.

Mayoritas mata uang utama Asia melemah melawan dolar AS pada hari ini. Hingga pukul 16:07 WIB, hanya yen Jepang yang menguat lumayan banyak 0,16%, sementara peso Filipina dan bath Thailand menguat tapi tipis masing 0,08% dan 0,03%.


Won Korea Selatan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk setelah melemah 0,37%. Yuan China dan dolar Singapura melengkapi tiga besar mata uang terburuk, melemah masing-masing 0,24% dan 0,17%.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hari ini.



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dolar AS sedang perkasa pada perdagangan hari ini, tetapi masih kalah dari yen Jepang yang memberikan gambaran sentimen pelaku pasar kurang bagus pada hari ini.

Yen Jepang merupakan mata uang yang dianggap aset aman (safe haven). Ketika sentimen kurang bagus, aset-aset berisiko cenderung dihindari investor, dan lebih memilih aset safe haven

Dolar AS juga merupakan mata uang yang dianggap safe haven, meski masih kalah dibandingkan yen. 

Nyaris Menguat, Rupiah Harus Rela Di-Hattrick Dolar ASFoto: Wakil Perdana Menteri China Liu He berjabat tangan dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin di luar kantor Perwakilan Dagang AS di Washington, AS, (9/5/2019). (REUTERS / James Lawler Duggan)

Dinamika global saat ini membuat para investor sedikit "bingung", dan menahan diri untuk berinvestasi atau mengambil sikap wait and see

Sebagaimana diketahui sebelumnya, pada Jumat pekan lalu AS dan China sudah mencapai kesepakatan dagang. Presiden AS Donald Trump didampingi Wakil Perdana Menteri China Liu He yang mengumumkan langsung hal tersebut.

Kesepakatan dagang tersebut akan dilakukan dalam beberapa fase. Presiden AS Donald Trump mengatakan fase pertama akan ditandatangani dalam waktu tiga pekan. Tetapi beberapa hari setelahnya tepatnya Senin (14/10/19) muncul kabar buruk.



Kesepakatan dagang AS-China yang dijalin pada Jumat tersebut kini mulai diragukan. CNBC International yang mengutip sumber terkait melaporkan China minta perundingan tambahan sebelum kesepakatan fase pertama diteken.

Negeri Tiongkok dilaporkan ingin AS membatalkan kenaikan bea impor yang rencananya akan berlaku di bulan Desember.

Sementara itu dari Menteri Keuangan AS mengatakan jika kesepakatan tidak ditandatangani, maka bea impor produk China terbaru akan dikenakan pada pertengahan Desember nanti. Namun Mnuchin cukup optimistis China akan menandatangani perjanjian dagang yang akan dibuat dalam 3 pekan.


Ketidakpastian kesepakatan dagang AS-China menjadi isu pertama yang membuat pelaku pasar "bingung". 

Ketidakpastian kedua datang dari perundingan Brexit. Memang ada kabar bagus, kesepakatan Brexit antara Inggris dengan Uni Eropa (UE) cukup terbuka di pekan ini. Hal tersebut diungkapkan oleh pimpinan negosiasi UE Michel Barnier.

"Tim kami sedang bekerja keras, pekerjaan dimulai lagi hari ini, perundingan ini sangat intens di akhir pekan lalu, juga kemarin, karena kesepakatan semakin sulit, semakin dan semakin sulit, tetapi terus terang, masih mungkin tercapai di pekan ini" kata Barnier sebagaimana dilansir CNBC International.



Perundingan Brexit mencapai babak final hari ini, kesepakatan diperlukan sebelum puncak pertemuan Uni Eropa 17 dan 18 Oktober. Deal yang tercapai hari ini harus mendapat persetujuan Uni Eropa, kemudian mendapat persetujuan Parlemen Inggris paling telat 19 Oktober. 

Jika hingga 19 Oktober belum ada kesepakatan, maka Perdana Menteri Inggris, Boris Johson secara legal harus mengajukan penundaan Brexit yang seharusnya terjadi pada 31 Oktober. 

Namun, PM Johnson mengatakan ia ingin kesepakatan terjadi saat pertemuan Uni Eropa Kamis dan Jumat pekan ini agar Brexit bisa dieksekusi 31 Oktober. Jika kesepakatan tidak terjadi, Johnson akan membawa Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan (hard Brexit), meski Parlemen Inggris sudah membuat undang-undang yang menghalangi itu.

Bagaimana PM Johnson akan melakukan hard Brexit masih belum diketahui, tetapi kemungkinan tersebut membuat sentimen pelaku pasar kembali memburuk, sehingga melakukan aksi wait and seeHard Brexit merupakan ketakutan utama para pelaku pasar, ekonomi Inggris diperkirakan akan memasuki resesi.


TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular