Internasional
Moody's: Risiko Terjadi Resesi Global Sangat Tinggi
16 October 2019 14:48

Jakarta, CNBC Indonesia - Tingkat kemungkinan terjadinya resesi pada ekonomi global dalam 12-18 bulan ke depan 'sangat tinggi'. Mirisnya, pembuat kebijakan mungkin tidak akan mampu untuk mencegah masalah ini.
"Saya pikir risiko sangat tinggi sehingga jika sesuatu berjalan diluar skenario maka kita akan menghadapi resesi," kata Kepala Ekonom Moody's Analytics mengutip CNBC International, Rabu (16/10/2019).
"Saya juga akan mengatakan ini: Bahkan jika kita tidak mengalami resesi dalam 12-18 bulan ke depan, saya pikir pasti kita akan menghadapi banyak perlambatan ekonomi,".
"Saya pikir tinggi, saat tinggi," katanya lagi, kepada Squawk Box Asia saat ditanya mengenai kemungkinan terjadinya resesi ekonomi.
Zandi menyebut, untuk menghindari perlambatan ekonomi, dibutuhkan banyak faktor yang juga harus sesuai skenario. Hal itu termasuk memastikan bahwa Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk tidak meningkatkan perang dagang dengan China.
Penyelesaian rencana keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) juga harus segera. Selain itu, bank-bank sentral juga harus semakin banyak menyuntikkan stimulus moneter.
Bertolak belakang dengan Zandi, ekonom lainnya justru lebih tenang mengenai kemungkinan resesi. Namun, mereka sepakat bahwa pertumbuhan ekonomi akan melambat ke depannya.
Salah satu ekonom itu adalah Eswar Prasad, profesor di Cornell University. Prasad mengatakan belanja konsumen telah membantu mendorong pertumbuhan di beberapa negara, meski momentum tetap rendah di sektor lainnya. Sayangnya, itu tidak berkelanjutan, katanya.
"Belanja konsumen dan rumah tangga tidak dapat dihitung sebagai penyebab pertumbuhan seterusnya. Jadi, benar, kuncinya adalah untuk menerapkan kebijakan yang dapat mendorong kebangkitan bisnis dan kepercayaan konsumen, dan akhirnya mendorong investasi," katanya kepada "Street Signs Asia" di CNBC.
Sebelumnya pada Selasa, Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengumumkan proyeksi yang lebih rendah untuk pertumbuhan.
Laporan Outlooknya menyatakan bahwa IMF memproyeksi pertumbuhan global tahun ini hanya 3% dan 3,4% pada 2020. Angka itu direvisi dari proyeksi Juli yang sebesar 3,2% untuk 2019 dan 3,5% untuk 2020.
IMF menyebut alasannya merevisi angka pertumbuhan adalah karena meningkatnya perselisihan dagang dan tensi geopolitik. Oleh karenanya, IMF meminta negara-negara dunia untuk menyuntikkan lebih banyak kebijakan.
"Kebijakan moneter tidak dapat diandalkan sendirian, dan harus dibantu dengan dorongan fiskal di mana tempat kebijakan fiskal tersedia dan di mana kebijakan belum terlalu expansionary," tulis IMF.
(sef/sef)
"Saya pikir risiko sangat tinggi sehingga jika sesuatu berjalan diluar skenario maka kita akan menghadapi resesi," kata Kepala Ekonom Moody's Analytics mengutip CNBC International, Rabu (16/10/2019).
"Saya juga akan mengatakan ini: Bahkan jika kita tidak mengalami resesi dalam 12-18 bulan ke depan, saya pikir pasti kita akan menghadapi banyak perlambatan ekonomi,".
"Saya pikir tinggi, saat tinggi," katanya lagi, kepada Squawk Box Asia saat ditanya mengenai kemungkinan terjadinya resesi ekonomi.
Zandi menyebut, untuk menghindari perlambatan ekonomi, dibutuhkan banyak faktor yang juga harus sesuai skenario. Hal itu termasuk memastikan bahwa Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk tidak meningkatkan perang dagang dengan China.
Penyelesaian rencana keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) juga harus segera. Selain itu, bank-bank sentral juga harus semakin banyak menyuntikkan stimulus moneter.
Bertolak belakang dengan Zandi, ekonom lainnya justru lebih tenang mengenai kemungkinan resesi. Namun, mereka sepakat bahwa pertumbuhan ekonomi akan melambat ke depannya.
Salah satu ekonom itu adalah Eswar Prasad, profesor di Cornell University. Prasad mengatakan belanja konsumen telah membantu mendorong pertumbuhan di beberapa negara, meski momentum tetap rendah di sektor lainnya. Sayangnya, itu tidak berkelanjutan, katanya.
"Belanja konsumen dan rumah tangga tidak dapat dihitung sebagai penyebab pertumbuhan seterusnya. Jadi, benar, kuncinya adalah untuk menerapkan kebijakan yang dapat mendorong kebangkitan bisnis dan kepercayaan konsumen, dan akhirnya mendorong investasi," katanya kepada "Street Signs Asia" di CNBC.
Sebelumnya pada Selasa, Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengumumkan proyeksi yang lebih rendah untuk pertumbuhan.
Laporan Outlooknya menyatakan bahwa IMF memproyeksi pertumbuhan global tahun ini hanya 3% dan 3,4% pada 2020. Angka itu direvisi dari proyeksi Juli yang sebesar 3,2% untuk 2019 dan 3,5% untuk 2020.
IMF menyebut alasannya merevisi angka pertumbuhan adalah karena meningkatnya perselisihan dagang dan tensi geopolitik. Oleh karenanya, IMF meminta negara-negara dunia untuk menyuntikkan lebih banyak kebijakan.
"Kebijakan moneter tidak dapat diandalkan sendirian, dan harus dibantu dengan dorongan fiskal di mana tempat kebijakan fiskal tersedia dan di mana kebijakan belum terlalu expansionary," tulis IMF.
Artikel Selanjutnya
PDB RI Tumbuh 7,07% & Resesi Hilang, Begini Respons Moody's
(sef/sef)