Masih Dibayangi Defisit Neraca Dagang, tapi IHSG Hijau Lagi

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 October 2019 09:44
Masih Dibayangi Defisit Neraca Dagang, tapi IHSG Hijau Lagi
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan hari ini, Rabu (16/10/2019), di zona hijau. Pada pembukaan perdagangan, IHSG menguat 0,2% ke level 6.170,56.

Pada pukul 09:25 WIB, indeks saham acuan di Indonesia tersebut telah memperlebar penguatannya menjadi 0,26% ke level 6.174,43. Jika penguatan IHSG bertahan hingga akhir perdagangan, maka akan menjadi apresiasi yang keempat secara beruntun.

Kinerja IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga sedang melaju di zona hijau. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei melejit 1,49%, indeks Shanghai menguat 0,48%, indeks Hang Seng naik 0,48%, indeks Straits Times terapresiasi 0,57%, dan indeks Kospi bertambah 0,55%.

Rilis laporan keuangan yang oke dari perusahaan-perusahaan yang melantai di bursa saham AS menjadi faktor utama yang memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Untuk diketahui, bulan Oktober menjadi waktu dari perusahaan-perusahaan yang melantai di bursa saham AS untuk merilis kinerja keuangannya, baik untuk periode kuartal III (jika menggunakan tahun kalender) maupun untuk periode kuartal IV (jika menggunakan tahun fiskal).

Dari 500 perusahaan yang termasuk ke dalam indeks S&P 500, sebanyak 34 telah merilis kinerja keuangannya hingga Selasa pagi (15/10/2019) waktu setempat. Dari 34 perusahaan tersebut, sebanyak 29 berhasil mengalahkan ekspektasi analis, berdasarkan data dari The Earnings Scout yang kami lansir dari CNBC International.

Salah satu perusahaan yang membukukan kinerja kinclong adalah J.P. Morgan Chase yang merupakan bank terbesar di AS dari sisi aset. Pada kuartal III-2019, perusahaan membukukan pendapatan senilai US$ 30,1 miliar, mengalahkan ekspektasi yang senilai US$ 28,5 miliar. Sementara itu, laba bersih per saham tercatat berada di level US$ 2,68, juga di atas ekpektasi yang senilai US$ 2,45.

Dengan rilis kinerja keuangan yang oke, praktis kekhawatiran bahwa AS akan masuk ke jurang resesi menjadi memudar. Apalagi, di sisi lain The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS masih diyakini akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada akhir bulan ini.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 15 Oktober 2019, probabilitas The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan ini berada di level 79,6%. Satu bulan yang lalu, probabilitasnya masih berada di level 33,5%.

Untuk diketahui, di sepanjang tahun 2019 The Fed telah memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak dua kali, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli dan September. Jika ditotal, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 50 bps oleh Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan koleganya di bank sentral.

Jika tingkat suku bunga acuan dipangkas lebih lanjut, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Kala roda perekonomian AS berputar dengan lebih kencang, tentulah roda perekonomian dunia juga akan ikut berputar dengan lebih kencang, mengingat posisi AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Defisit Neraca Dagang Masih Membayangi

Di sisi lain, penguatan IHSG masih dibayangi oleh rilis data perdagangan international periode September 2019. Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa ekspor jatuh sebesar 5,74% secara tahunan (year-on-year) pada bulan lalu, sementara impor turun 2,41% YoY.

Penurunan ekspor lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor akan jatuh hingga 6,1% secara tahunan. Sementara itu, kontraksi pada pos impor lebih baik karena konsensus memperkirakan kontraksinya akan mencapai 4,5%. Namun begitu, neraca dagang pada bulan lalu membukukan defisit senilai US$ 160 juta, berbanding terbalik dengan konsensus yang memperkirakan adanya kehadiran surplus senilai US$ 104,2 juta. 

Dengan adanya defisit neraca dagang yang mengejutkan tersebut, dikhawatirkan bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) masih akan bengkak pada kuartal-III 2019.

Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 Bank Indonesia (BI) mencatat CAD berada di level 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 2,01% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 3,04% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 3,01% dari PDB.

Merespons adanya potensi bahwa CAD masih akan bengkak pada kuartal-III 2019, rupiah melemah hingga 0,18% melawan dolar AS di pasar spot ke level Rp 14.185/dolar AS.

Ketika CAD tak juga bisa diredam, rupiah memang akan mendapatkan tekanan. Untuk diketahui, transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/ank) Next Article Jelang Rilis Data Ekspor-Impor, IHSG Menguat Tipis

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular