
AS-China Bisa "Ribut" Lagi, Rupiah Melemah 2 Hari Beruntun
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 October 2019 17:25

Euforia kesepakatan dagang Amerika Serikat (AS) dengan China tidak berlangsung lama. Setelah kedua negara mencapai kata sepakat pada Jumat (11/10/19) yang membuat sentimen pelaku pasar membaik, kini hubungan kedua negara terlihat merenggang.
Presiden AS, Donald Trump, bersama Wakil Perdana Menteri China, Liu He, pada Jumat pekan lalu di Washington mengumumkan jika perundingan kedua negara berhasil mencapai kata sepakat, dan akan dilakukan dalam beberapa fase. Menurut Trump "kesepakatan fase satu yang sangat substansial" sudah berhasil dicapai, sebagaimana dilansir CNBC International.
Trump menambahkan "fase dua akan dimulai segera" setelah fase pertama ditandatangani.
Porsi pertama dalam kesepakatan dagang kali ini akan dibuat dalam tiga pekan ke depan, termasuk di dalamnya properti intelektual, jasa keuangan, serta rencana pembelian produk pertanian AS oleh China senilai US$ 40 miliar sampai US$ 50 miliar, kata Trump sebagaimana dilansir CNBC International.
Akibat kesepakatan tersebut, perekonomian global umumnya dan AS-China khususnya diharapkan bisa membaik, pertumbuhan tidak lagi melambat, dan ancaman resesi hilang. Para pelaku pasar akhirnya masuk kembali ke aset-aset berisiko dan emas pun perlahan ditinggalkan.
Tetapi, China sepertinya mencla-mencle, atau AS yang terlalu melebih-lebihkan hasil perundingan dagang 10-11 Oktober tersebut. Yang pasti kedua negara kini berpotensi "ribut" lagi.
Senin kemarin CNBC International yang mengutip sumber terkait melaporkan China ingin adanya perundingan tambahan sebelum menandatangani kesepakatan fase pertama. Negeri Tiongkok dilaporkan ingin AS membatalkan kenaikan bea impor yang rencananya akan berlaku di bulan Desember.
Selain itu, media di China juga belum memberitakan kesepakatan pada Jumat pekan lalu dengan "nada" yang berbeda.
Presiden Trump menyebut kesepakatan tersebut merupakan sebuah kesuksesan, sementara media pemerintah China menyebut hal tersebut "kemajuan yang substansial" serta tidak mempertegas adanya rencana pembelian produk pertanian AS, mengutip CNBC International.
Sementara itu dari Menteri Keuangan AS mengatakan jika kesepakatan tidak ditandatangani, maka bea impor produk China terbaru akan dikenakan pada pertengahan Desember nanti. Tetapi Mnuchin cukup optimis China akan menandatangani perjanjian dagang yang akan dibuat dalam tiga pekan.
Belum pastinya bagaimana hasil kesepakatan dagang AS-China membuat sentimen pelaku pasar kembali memburuk, rupiah menjadi tertekan sementara mata uang yang menyandang status safe haven seperti yen Jepang menguat.
Tekanan rupiah semakin menguat akibat negara perdagangan RI mencatat defisit.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor-impor dan neraca perdagangan pada September 2019.
Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan nilai ekspor tercatat mencapai US$ 14,1 miliar. Sementara nilai impor mencapai US$ 14,26 miliar, sehingga terjadi defisit di September 2019 sebesar US$ 160 juta.
Defisit neraca perdagangan tersebut juga mematahkan konsensus surplus US$ 104,2 juta yang dihimpun CNBC Indonesia, dengan ekspor diprediksi ekspor September 2019 terkontraksi alias negatif 6,1% year-on-year (YoY), dan impor diperkirakan mengalami kontraksi 4,5% YoY.
Data neraca dagang tersebut tentunya memberikan tekanan bagi rupiah. Defisit necara perdagangan tentunya bisa berdampak pada defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD), yang selama ini menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)
Presiden AS, Donald Trump, bersama Wakil Perdana Menteri China, Liu He, pada Jumat pekan lalu di Washington mengumumkan jika perundingan kedua negara berhasil mencapai kata sepakat, dan akan dilakukan dalam beberapa fase. Menurut Trump "kesepakatan fase satu yang sangat substansial" sudah berhasil dicapai, sebagaimana dilansir CNBC International.
Trump menambahkan "fase dua akan dimulai segera" setelah fase pertama ditandatangani.
Porsi pertama dalam kesepakatan dagang kali ini akan dibuat dalam tiga pekan ke depan, termasuk di dalamnya properti intelektual, jasa keuangan, serta rencana pembelian produk pertanian AS oleh China senilai US$ 40 miliar sampai US$ 50 miliar, kata Trump sebagaimana dilansir CNBC International.
Akibat kesepakatan tersebut, perekonomian global umumnya dan AS-China khususnya diharapkan bisa membaik, pertumbuhan tidak lagi melambat, dan ancaman resesi hilang. Para pelaku pasar akhirnya masuk kembali ke aset-aset berisiko dan emas pun perlahan ditinggalkan.
Tetapi, China sepertinya mencla-mencle, atau AS yang terlalu melebih-lebihkan hasil perundingan dagang 10-11 Oktober tersebut. Yang pasti kedua negara kini berpotensi "ribut" lagi.
Senin kemarin CNBC International yang mengutip sumber terkait melaporkan China ingin adanya perundingan tambahan sebelum menandatangani kesepakatan fase pertama. Negeri Tiongkok dilaporkan ingin AS membatalkan kenaikan bea impor yang rencananya akan berlaku di bulan Desember.
Selain itu, media di China juga belum memberitakan kesepakatan pada Jumat pekan lalu dengan "nada" yang berbeda.
Presiden Trump menyebut kesepakatan tersebut merupakan sebuah kesuksesan, sementara media pemerintah China menyebut hal tersebut "kemajuan yang substansial" serta tidak mempertegas adanya rencana pembelian produk pertanian AS, mengutip CNBC International.
Sementara itu dari Menteri Keuangan AS mengatakan jika kesepakatan tidak ditandatangani, maka bea impor produk China terbaru akan dikenakan pada pertengahan Desember nanti. Tetapi Mnuchin cukup optimis China akan menandatangani perjanjian dagang yang akan dibuat dalam tiga pekan.
Belum pastinya bagaimana hasil kesepakatan dagang AS-China membuat sentimen pelaku pasar kembali memburuk, rupiah menjadi tertekan sementara mata uang yang menyandang status safe haven seperti yen Jepang menguat.
Tekanan rupiah semakin menguat akibat negara perdagangan RI mencatat defisit.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor-impor dan neraca perdagangan pada September 2019.
Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan nilai ekspor tercatat mencapai US$ 14,1 miliar. Sementara nilai impor mencapai US$ 14,26 miliar, sehingga terjadi defisit di September 2019 sebesar US$ 160 juta.
Defisit neraca perdagangan tersebut juga mematahkan konsensus surplus US$ 104,2 juta yang dihimpun CNBC Indonesia, dengan ekspor diprediksi ekspor September 2019 terkontraksi alias negatif 6,1% year-on-year (YoY), dan impor diperkirakan mengalami kontraksi 4,5% YoY.
Data neraca dagang tersebut tentunya memberikan tekanan bagi rupiah. Defisit necara perdagangan tentunya bisa berdampak pada defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD), yang selama ini menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular