AS-China Bisa "Ribut" Lagi, Rupiah Melemah 2 Hari Beruntun

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 October 2019 17:25
AS-China Bisa
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah melemah dua hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (15/10/19). Mata Uang Garuda mengakhiri perdagangan di level Rp 14.160/US$, melemah 0,18% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Membuka perdagangan hari ini, rupiah menguat 0,04% di level Rp 14.130/US$. Level tersebut sekaligus menjadi yang terkuat, selepas itu rupiah langsung masuk ke zona merah, dan tidak pernah lagi kembali ke zona hijau.



Pelemahan rupiah terus berlanjut, bahkan selepas tengah hari semakin terakselerasi hingga melemah 0,21% ke level Rp 14.165/troy ons, sebelum mengakhiri perdagangan di level Rp 14.160/US$.

Mayoritas mata uang utama Asia hari ini melemah melawan dolar AS. Hingga pukul 16:05 WIB, hanya bath Thailand yang mencatat penguatan 0,16%, sementara yen Jepang dan dolar Hong Kong menguat tipis 0,06% dan 0,01%.

Rupee India menjadi mata uang terburuk setelah melemah 0,3%, sementara rupiah dan yuan China berada di posisi kedua setelah sama-sama melemah 0,18%.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hari ini.



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Euforia kesepakatan dagang Amerika Serikat (AS) dengan China tidak berlangsung lama. Setelah kedua negara mencapai kata sepakat pada Jumat (11/10/19) yang membuat sentimen pelaku pasar membaik, kini hubungan kedua negara terlihat merenggang. 

Presiden AS, Donald Trump, bersama Wakil Perdana Menteri China, Liu He, pada Jumat pekan lalu di Washington mengumumkan jika perundingan kedua negara berhasil mencapai kata sepakat, dan akan dilakukan dalam beberapa fase. Menurut Trump "kesepakatan fase satu yang sangat substansial" sudah berhasil dicapai, sebagaimana dilansir CNBC International

Trump menambahkan "fase dua akan dimulai segera" setelah fase pertama ditandatangani.


Porsi pertama dalam kesepakatan dagang kali ini akan dibuat dalam tiga pekan ke depan, termasuk di dalamnya properti intelektual, jasa keuangan, serta rencana pembelian produk pertanian AS oleh China senilai US$ 40 miliar sampai US$ 50 miliar, kata Trump sebagaimana dilansir CNBC International.

Akibat kesepakatan tersebut, perekonomian global umumnya dan AS-China khususnya diharapkan bisa membaik, pertumbuhan tidak lagi melambat, dan ancaman resesi hilang. Para pelaku pasar akhirnya masuk kembali ke aset-aset berisiko dan emas pun perlahan ditinggalkan. 

Tetapi, China sepertinya mencla-mencle, atau AS yang terlalu melebih-lebihkan hasil perundingan dagang 10-11 Oktober tersebut. Yang pasti kedua negara kini berpotensi "ribut" lagi.

Senin kemarin CNBC International yang mengutip sumber terkait melaporkan China ingin adanya perundingan tambahan sebelum menandatangani kesepakatan fase pertama. Negeri Tiongkok dilaporkan ingin AS membatalkan kenaikan bea impor yang rencananya akan berlaku di bulan Desember.


Selain itu, media di China juga belum memberitakan kesepakatan pada Jumat pekan lalu dengan "nada" yang berbeda.

Presiden Trump menyebut kesepakatan tersebut merupakan sebuah kesuksesan, sementara media pemerintah China menyebut hal tersebut "kemajuan yang substansial" serta tidak mempertegas adanya rencana pembelian produk pertanian AS, mengutip CNBC International.

Sementara itu dari Menteri Keuangan AS mengatakan jika kesepakatan tidak ditandatangani, maka bea impor produk China terbaru akan dikenakan pada pertengahan Desember nanti. Tetapi Mnuchin cukup optimis China akan menandatangani perjanjian dagang yang akan dibuat dalam tiga pekan. 

Belum pastinya bagaimana hasil kesepakatan dagang AS-China membuat sentimen pelaku pasar kembali memburuk, rupiah menjadi tertekan sementara mata uang yang menyandang status safe haven seperti yen Jepang menguat. 

Tekanan rupiah semakin menguat akibat negara perdagangan RI mencatat defisit. 

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor-impor dan neraca perdagangan pada September 2019.

Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan nilai ekspor tercatat mencapai US$ 14,1 miliar. Sementara nilai impor mencapai US$ 14,26 miliar, sehingga terjadi defisit di September 2019 sebesar US$ 160 juta.



Defisit neraca perdagangan tersebut juga mematahkan konsensus surplus US$ 104,2 juta yang dihimpun CNBC Indonesia, dengan ekspor diprediksi ekspor September 2019 terkontraksi alias negatif 6,1% year-on-year (YoY), dan impor diperkirakan mengalami kontraksi 4,5% YoY. 

Data neraca dagang tersebut tentunya memberikan tekanan bagi rupiah. Defisit necara perdagangan tentunya bisa berdampak pada defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD), yang selama ini menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia. 

TIM RISET CNBC INDONESIA
Next Page
AS-China Bisa
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular