
IHSG Anteng di Zona Hijau, Tapi Investor Menahan Diri
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
14 October 2019 12:22

Akan tetapi, terlihat bahwa tak lama setelah pembukaan perdagangan gerak IHSG cenderung stagnan, di mana besar kemungkinan investor sedang mencerna rilis data terbaru ekonomi China dan bahwa resiko tensi dagang AS-China sejatinya belum sepenuhnya pudar.
Data impor dan ekspor Negeri Tiongkok bulan September lebih buruk dari proyeksi pasar, di mana ekspor tercatat turun 3,2% secara tahunan (YoY) dan impor terkontraksi 8,5% secara tahunan, dilansir dari Trading Economics.
Padahal berdasarkan survei yang dihimpun Reuters, ekonom sejatinya memprediksi ekspor China hanya akan turun 3% YoY dan impor turun 5,2% YoY.
Analis memperkirakan bahwa salah satu penyebab utama penurunan ekspor dan impor Negeri Panda bulan lalu adalah pemberlakuan bea masuk sebesar 15% oleh AS atas produk Made in China senilai US$ 125 miliar per 1 September 2019.
Dengan demikian, jika kesepakatan dagang AS dan China selanjutnya tidak mampu menghapus bea masuk yang sebelumnya sudah diberlakukan oleh kedua negara, maka bisa dikatakan bahwa ekonomi dunia belum dapat pulih.
Bank investasi kenamaan dunia, Morgan Stanley, juga meyampaikan dalam sebuah catatan bahwa kesepakatan dagang parsial antara Washington dan Beijing adalah pengaturan yang “tidak pasti” dan tidak terlihat jalan keluar untuk megurangi tarif yang sudah berlaku sekitar 15 bulan terakhir, dilansir dari CNBC International.
Oleh karena itu, Morgan Stanley menekankan bahwa tanpa mekanisme penyelesaian sengeta untuk periode jangka panjang, babak baru kenaikan tarif tidak dapat dikesampingkan.
“Belum ada jalan yang layak untuk penurunan tarif yang ada, dan kenaikan tarif tetap menjadi resiko yang berarti,” tulis bank tersebut dalam sebuat catatan.
“Jadi, kami belum mengharapakan rebound yang berarti dalam perilaku perusahaan yang akan mendorong ekspektasi pertumbuhan global yang lebih tinggi,” tambah catatan tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa/hps)
Data impor dan ekspor Negeri Tiongkok bulan September lebih buruk dari proyeksi pasar, di mana ekspor tercatat turun 3,2% secara tahunan (YoY) dan impor terkontraksi 8,5% secara tahunan, dilansir dari Trading Economics.
Analis memperkirakan bahwa salah satu penyebab utama penurunan ekspor dan impor Negeri Panda bulan lalu adalah pemberlakuan bea masuk sebesar 15% oleh AS atas produk Made in China senilai US$ 125 miliar per 1 September 2019.
Dengan demikian, jika kesepakatan dagang AS dan China selanjutnya tidak mampu menghapus bea masuk yang sebelumnya sudah diberlakukan oleh kedua negara, maka bisa dikatakan bahwa ekonomi dunia belum dapat pulih.
Bank investasi kenamaan dunia, Morgan Stanley, juga meyampaikan dalam sebuah catatan bahwa kesepakatan dagang parsial antara Washington dan Beijing adalah pengaturan yang “tidak pasti” dan tidak terlihat jalan keluar untuk megurangi tarif yang sudah berlaku sekitar 15 bulan terakhir, dilansir dari CNBC International.
Oleh karena itu, Morgan Stanley menekankan bahwa tanpa mekanisme penyelesaian sengeta untuk periode jangka panjang, babak baru kenaikan tarif tidak dapat dikesampingkan.
“Belum ada jalan yang layak untuk penurunan tarif yang ada, dan kenaikan tarif tetap menjadi resiko yang berarti,” tulis bank tersebut dalam sebuat catatan.
“Jadi, kami belum mengharapakan rebound yang berarti dalam perilaku perusahaan yang akan mendorong ekspektasi pertumbuhan global yang lebih tinggi,” tambah catatan tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa/hps)
Pages
Most Popular