
Nasib! Negosiasi AS-China Bikin Tegang, IHSG Ditutup Merah

Namun, pada tengah hari IHSG berhasil membalikkan keadaan dengan naik ke zona hijau. Per akhir sesi satu, indeks saham acuan di Indonesia tersebut menguat tipis 0,05% ke level 6.032,42. Sayang, per akhir sesi dua IHSG sudah kembali lagi ke zona merah, yakni dengan koreksi sebesar 0,09% ke level 6.023,64.
Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang justru ditransaksikan di zona hijau, walaupun memang penguatannya relaitf terbatas: indeks Nikkei naik 0,45%, indeks Shanghai menguat 0,78%, dan indeks Hang Seng terapresiasi 0,1%. Sementara itu, indeks Straits Times tercatat melemah 0,05% dan indeks Kospi jatuh 0,88%.
Pemberitaan dari South China Morning Post (SCMP) menyebutkan bahwa AS dan China tak menghasilkan perkembangan apapun kala perbincangan tingkat deputi digelar pada awal pekan ini.
SCMP kemudian menyebut bahwa delelegasi pimpinan Wakil Perdana Menteri China Liu He hanya akan menggelar negosiasi dagang tingkat tinggi dengan delegasi AS selama satu hari dan akan kembali ke Beijing pada hari Kamis. Untuk diketahui, sebelumnya delegasi China dijadwalkan kembali ke Beijing pada hari Jumat (11/10/2019).
Masalah transfer teknologi secara paksa yang ditolak untuk dirundingkan oleh pihak China menjadi dasar dari mandeknya perbincangan antar kedua negara, seperti dilaporkan oleh SCMP.
Sejatinya, pemberitaan dari SCMP dibantah oleh Gedung Putih. Melansir CNBC International, Gedung Putih menyebut bahwa pemberitaan dari SCMP tidaklah akurat. Menurut Gedung Putih, hingga saat ini pihaknya tak mendapat informasi bahwa terdapat perubahan dalam jadwal kunjungan delegasi China.
Lebih lanjut, seorang pejabat senior pemerintahan AS menginformasikan kepada CNBC International bahwa delegasi China masih dijadwalkan untuk kembali ke Beijing pada Jumat malam, dan rencana jamuan makan malam pada Kamis malam masih terjadwal.
Namun kemudian, seorang sumber yang terlibat dalam negosiasi dagang AS-China mengatakan kepada CNBC International bahwa jadwal negosiasi dagang tingkat tinggi kini sudah menjadi tidak jelas, dengan negosiasi pada hari Jumat menjadi sebuah pertanyaan.
Menurut sumber tersebut, salah satu skenario yang bisa terjadi adalah Wakil Menteri Keuangan China Liao Min tetap tinggal di Washington guna melanjutkan negosiasi, sementara Liu He bertolak ke China terlebih dulu. Opsi lainnya adalah negosiasi tingkat tinggi diakhiri pada hari Kamis.
Memang, hawa negatif terkait dengan negosiasi dagang tingkat tinggi antara AS dan China sudah tercium sejak awal pekan, seiring dengan keputusan AS untuk memasukkan delapan perusahaan teknologi raksasa asal China dalam daftar hitam, membuat kedelapan perusahaan tersebut tak bisa melakukan bisnis dengan perusahaan asal AS tanpa adanya lisensi khusus. AS beralasan bahwa kedelapan perusahaan tersebut terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia terhadap kaum Muslim di Xinjiang, China.
Keputusan ini menandai kali pertama AS menggunakan alasan HAM guna menekan korporasi asal China. Sebelumnya, AS menggunakan alasan keamanan nasional untuk memblokir Huawei, perusahaan asal China yang merupakan pemain besar dalam industri telekomunikasi dunia.
China dibuat berang dengan langkah AS tersebut dan dengan tegas menyatakan bahwa pihaknya tak akan tinggal diam.
"China akan terus mengambil langkah-langkah yang tegas dan kuat untuk mempertahankan kedaulatan negara, keamanan, dan pembangunan," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, seperti dilansir dari CNBC International.
Dikhawatirkan, perang dagang AS-China justru akan tereskalasi pasca kedua negara selesai menggelar negosiasi tingkat tinggi. Jika ini yang terjadi, perekonomian keduanya terancam mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Beralih ke China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Penjualan Ritel Tumbuh Minimalis, Saham Konsumer Dilego Lagi
Saham-saham konsumer yang masih babak belur membuat IHSG harus pasrah menutup hari di zona merah. Per akhir sesi dua, indeks sektor barang konsumsi melemah sebesar 0,63%. Pada perdagangan kemarin (9/10/2019), indeks sektor barang konsumsi ambruk sebesar 1,07%.
Saham-saham konsumer yang dilego pelaku pasar pada perdagangan hari ini di antaranya: PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk/ICBP (-4,58%), PT Mayora Indah Tbk/MYOR (-2,16%), PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF (-1,92%), dan PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-0,74%).
Rilis Survei Penjualan Eceran (SPE) periode Agustus 2019 oleh Bank Indonesia (BI) masih menjadi faktor yang memantik aksi jual atas saham-saham konsumer. Sepanjang bulan Agustus, penjualan barang-barang ritel tercatat tumbuh tipis sebesar 1,1% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Pertumbuhan tersebut melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan Juli yang sebesar 2,4% YoY, serta melambat jika dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (Agustus 2018) yang sebesar 6,1% YoY.
Untuk periode September 2019, angka sementara menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel tumbuh sebesar 2,1% secara tahunan, di bawah pertumbuhan pada September 2018 yang sebesar 4,8% YoY.
Sebagai catatan, sudah sedari bulan Mei pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3% YoY.
Untuk diketahui, anggapan bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada dalam posisi yang lemah sebelumnya juga datang dari rilis angka inflasi.
Pada pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka inflasi periode September 2019. Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat bahwa Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,27% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,39%. Deflasi tersebut lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksikan deflasi sebesar 0,15% saja secara bulanan.
Sebelumnya pada periode Agustus, BPS mencatat terjadi inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,49%. Capaian tersebut berada di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi secara bulanan berada di level 0,16% dan inflasi secara tahunan berada di level 3,54%.
Untuk diketahui, konsumsi rumah tangga merupakan komponen terpenting dalam pembentukan ekonomi Indonesia. Pada tahun 2018, konsumsi rumah tangga menyumbang sebesar 55,7% dari total perekonomian Indonesia.
Kala daya beli masyarakat Indonesia sedang tertekan seperti saat ini, patut dikhawatirkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan loyo.
Saat ini, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Besok AS-China Deal! IHSG Nyaman di Zona Hijau
