Perang Dagang & Brexit Bikin Gemetar, IHSG Sah ke Zona Merah

Houtmand P Saragih & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
09 October 2019 09:28
Perang Dagang & Brexit Bikin Gemetar, IHSG Sah ke Zona Merah
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan hari ini, Rabu (9/10/2019), di zona merah. Pada pembukaan perdagangan, IHSG jatuh 0,15% ke level 6.030,46. Pada pukul 09:15 WIB, koreksi indeks saham acuan di Indonesia tersebut adalah sebesar 0,07% ke level 6.035,2.

Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga sedang ditransaksikan di zona merah. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei terkoreksi 0,77%, indeks Shanghai jatuh 0,24%, indeks Hang Seng melemah 0,34%, dan indeks Straits Times berkurang 0,42%. Untuk diketahui, perdagangan di bursa saham Korea Selatan pada hari ini diliburkan seiring dengan peringatan Hangeul Day.

Kekhawatiran bahwa perang dagang AS-China akan tereskalasi menjadi faktor utama yang memantik aksi jual di bursa saham Benua Kuning. Kini, hubungan antar kedua negara justru memanas menjelang negosiasi dagang tingkat tinggi yang dijadwalkan untuk mulai digelar pada hari Kamis (10/10/2019) di Washington.

Pemberitaan dari Bloomberg menyebut bahwa pejabat pemerintahan China telah memberi sinyal bahwa Beijing enggan untuk menyetujui kesepakatan dagang secara menyeluruh seperti yang diinginkan oleh Presiden AS Donald Trump.

Dalam pertemuan dengan perwakilan dari AS dalam beberapa minggu terakhir di Beijing, pejabat senior dari China telah mengindikasikan bahwa kini, materi-materi yang bersedia didiskusikan oleh pihak China dalam negosiasi dagang tingkat tinggi telah menyempit, seperti dilansir oleh Bloomberg dari orang-orang yang mengetahui masalah tersebut.

Lebih lanjut, pemberitaan dari Bloomberg menyebut bahwa Wakil Perdana Menteri China Liu He telah menginformasikan kepada pihak AS bahwa dirinya akan membawa proposal kesepakatan dagang ke Washington yang tak memasukkan komitmen untuk merubah praktek pemberian subsidi terhadap perusahaan-perusahaan asal China.

Padahal, praktek pemberian subsidi terhadap perusahaan-perusahaan asal China oleh pemerintah merupakan salah satu hal yang sangat ingin diubah oleh AS. Kalau diingat, bahkan hal ini merupakan salah satu faktor yang melandasi meletusnya perang dagang antar kedua negara.

Kemudian, AS memasukkan delapan perusahaan teknologi raksasa asal China dalam daftar hitam, membuat kedelapan perusahaan tersebut tak bisa melakukan bisnis dengan perusahaan asal AS tanpa adanya lisensi khusus, seperti dilansir dari Bloomberg. AS beralasan bahwa kedelapan perusahaan tersebut terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia terhadap kaum muslin di Xinjiang, China.

China pun berang dengan langkah AS tersebut dan dengan tegas menyatakan bahwa pihaknya tak akan tinggal diam.

"China akan terus mengambil langkah-langkah yang tegas dan kuat untuk mempertahankan kedaulatan negara, keamanan, dan pembangunan," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, seperti dilansir dari CNBC International.

Dikhawatirkan, eskalasi perang dagang AS-China akan membawa kedua negara mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

Beralih ke China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Brexit Juga Bikin Gemetar

Lebih lanjut, perkembangan seputar proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa alias British exit (Brexit) ikut menjadi faktor yang memantik aksi jual di bursa saham Asia.

Melansir CNBC International, beberapa kantor berita mengabarkan bahwa negosiasi terkait Brexit kini sudah berada di ambang kegagalan. Sky News melaporkan bahwa Kanselir Jerman Angela Merkel telah mengatakan kepada Perdana Menteri Inggris Boris Johnson bahwa kesepakatan Brexit kini “sangatlah tidak mungkin (untuk dicapai)”. 

Kemudian, BBC melaporkan bahwa seorang pejabat pemerintahan Inggris telah mengatakan kepada pihaknya bahwa Uni Eropa tidak menunjukkan minat untuk melakukan kompromi sejak Johnson menyerahkan proposal Brexit yang baru pada pekan lalu.

Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa no-deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi.

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Pada kuartal II-2019, perekonomian Inggris tercatat jatuh sebesar 0,2% secara kuartalan (quarter-on-quarter). Jika di kuartal III-2019 tetap terjadi kontraksi, maka Inggris akan resmi masuk ke jurang resesi.

Mengingat Inggris merupakan satu dari 10 negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, tentulah hantaman bagi perekonomian Inggris akan secara signifikan mempengaruhi laju perekonomian dunia, sekaligus menjadi sentimen negatif bagi bursa saham global.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular