
Untung Rupiah Cuma Melemah 0,18%, Tetangganya Lebih Parah!
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
07 October 2019 17:12

Dolar AS mendapat momentum penguatan pasca rilis data tenaga kerja. Akhir pekan lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan melaporkan tingkat pengangguran pada September sebesar 3,5%. Ini merupakan yang terendah dalam setengah abad atau tepatnya sejak Desember 1969.
Meski data tersebut terbilang apik, tetapi jika data tenaga kerja dilihat secara keseluruhan masih ada cela. Penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll/NFP) hanya 136.000 orang, lebih rendah dari bulan sebelumnya 168.000 0rang. Rata-rata upah per jam stagnan 0% month-on-month (MoM), sementara jika dilihat secara tahunan (year-on-year), rata-rata upah per jam tumbuh 2,9%, terlemah sejak Juli 2018.
Data yang bervariasi tersebut membuat dolar belum mampu menunjukkan keperkasaan seperti dua pekan lalu. Apalagi jika melihat probabilitas pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) di bulan ini yang masih tinggi.
Data dari piranti FedWatch milik CME Group hingga sore ini menunjukkan para pelaku pasar melihat adanya probabilitas sebesar 79,6% The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75% pada 30 Oktober (31 Oktober dini hari WIB).
Dibandingkan siang tadi sebesar 83,9%, probabilitas tersebut mengalami penurunan. Tetapi jika dibandingkan dua pekan lalu masih yang masih di bawah 50%, tentunya probabilitas tersebut jauh lebih tinggi.
Ini berarti hanya berselang sepekan, persepsi pelaku pasar akan pelung The Fed memangkas suku bunga berubah drastis. Hal tersebut tidak lepas dari buruknya data ekonomi AS sebelum rilis data tenaga kerja.
Data purchasing managers' index (PMI) sektor manufaktur yang dirilis Institute fo Supply Management (ISM) menunjukkan angka PMI 47,8 di bulan September. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,1.
Indeks ini menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 artinya kontraksi yakni aktivitas sektor manufaktur semakin menyusut, sementara di atas 50 berarti ekspansi atau peningkatan aktivitas.
Kontraksi yang dialami sektor manufaktur AS di bulan September tersebut merupakan yang terdalam sejak satu dekade terakhir, tepatnya sejak Juni 2009 ketika resesi AS 2007-2009 berakhir. AS bahkan dikatakan sudah mengalami semi resesi.
"Sementara investor berdebat apakah kita memasuki resesi, kami percaya (dengan) latar belakang lebih baik (saat ini) digambarkan sebagai semi-resesi," kata Kepala Strategis Ekuitas di Credit Suisse AS Jonathan Golub sebagaimana ditulis CNBC International.
Sementara itu dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa (cadev) Indonesia pada akhir September berada di US$ 124,3 miliar. Turun lumayan dalam yaitu US$ 2,1 miliar dibandingkan bulan sebelumnya
Posisi cadangan devisa pada akhir September setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Masih berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Meski demikian penurunan cadev tersebut cukup memberikan tekanan bagi rupiah. Amunisi BI untuk melakukan intervensi kala Mata Uang Geruda tertekan menjadi berkurang kala cadev menurun.
Selain data ekonomi dari AS dan Indonesia tersebut, sejatinya pelaku pasar sudah mulai berfokus pada perundingan dagang AS-China di pekan ini. Ibarat dua sisi mata uang, perundingan kali ini memunculkan harapan akan adanya kesepakatan dagang kedua belah pihak, tetapi di sisi lain pelaku pasar juga berhati-hati seandainya kedua negara sekali lagi gagal mencapai kesepakatan malah terjadi eskalasi perang dagang.
Kehati-hatian pelaku pasar ini juga membuat rupiah belum memiliki tenaga tambahan untuk mengulang performa pekan lalu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
Meski data tersebut terbilang apik, tetapi jika data tenaga kerja dilihat secara keseluruhan masih ada cela. Penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll/NFP) hanya 136.000 orang, lebih rendah dari bulan sebelumnya 168.000 0rang. Rata-rata upah per jam stagnan 0% month-on-month (MoM), sementara jika dilihat secara tahunan (year-on-year), rata-rata upah per jam tumbuh 2,9%, terlemah sejak Juli 2018.
Data yang bervariasi tersebut membuat dolar belum mampu menunjukkan keperkasaan seperti dua pekan lalu. Apalagi jika melihat probabilitas pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) di bulan ini yang masih tinggi.
![]() Sumber: CME Group |
Data dari piranti FedWatch milik CME Group hingga sore ini menunjukkan para pelaku pasar melihat adanya probabilitas sebesar 79,6% The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75% pada 30 Oktober (31 Oktober dini hari WIB).
Dibandingkan siang tadi sebesar 83,9%, probabilitas tersebut mengalami penurunan. Tetapi jika dibandingkan dua pekan lalu masih yang masih di bawah 50%, tentunya probabilitas tersebut jauh lebih tinggi.
Ini berarti hanya berselang sepekan, persepsi pelaku pasar akan pelung The Fed memangkas suku bunga berubah drastis. Hal tersebut tidak lepas dari buruknya data ekonomi AS sebelum rilis data tenaga kerja.
Data purchasing managers' index (PMI) sektor manufaktur yang dirilis Institute fo Supply Management (ISM) menunjukkan angka PMI 47,8 di bulan September. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,1.
Indeks ini menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 artinya kontraksi yakni aktivitas sektor manufaktur semakin menyusut, sementara di atas 50 berarti ekspansi atau peningkatan aktivitas.
Kontraksi yang dialami sektor manufaktur AS di bulan September tersebut merupakan yang terdalam sejak satu dekade terakhir, tepatnya sejak Juni 2009 ketika resesi AS 2007-2009 berakhir. AS bahkan dikatakan sudah mengalami semi resesi.
"Sementara investor berdebat apakah kita memasuki resesi, kami percaya (dengan) latar belakang lebih baik (saat ini) digambarkan sebagai semi-resesi," kata Kepala Strategis Ekuitas di Credit Suisse AS Jonathan Golub sebagaimana ditulis CNBC International.
Sementara itu dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa (cadev) Indonesia pada akhir September berada di US$ 124,3 miliar. Turun lumayan dalam yaitu US$ 2,1 miliar dibandingkan bulan sebelumnya
Posisi cadangan devisa pada akhir September setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Masih berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Meski demikian penurunan cadev tersebut cukup memberikan tekanan bagi rupiah. Amunisi BI untuk melakukan intervensi kala Mata Uang Geruda tertekan menjadi berkurang kala cadev menurun.
Selain data ekonomi dari AS dan Indonesia tersebut, sejatinya pelaku pasar sudah mulai berfokus pada perundingan dagang AS-China di pekan ini. Ibarat dua sisi mata uang, perundingan kali ini memunculkan harapan akan adanya kesepakatan dagang kedua belah pihak, tetapi di sisi lain pelaku pasar juga berhati-hati seandainya kedua negara sekali lagi gagal mencapai kesepakatan malah terjadi eskalasi perang dagang.
Kehati-hatian pelaku pasar ini juga membuat rupiah belum memiliki tenaga tambahan untuk mengulang performa pekan lalu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular