No Deal AS-China, TPIA, UNVR & INTP Cs Amblas & IHSG Merah

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
07 October 2019 12:35
Sentimen negatif yang menyelimuti pergerakan IHSG hari ini datang dari dua arah, yakni eksternal dan domestik.
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mengawali perdagangan di zona hijau dengan penguatan 0,27%, kini harus pasrah terpuruk di zona merah. Perundingan dagang Amerika Serikat (AS)-China yang berpotensi gagal membuat harapan IHSG hijau menjadi pupus.



Dari grafik di atas terlihat bahwa menjelang pukul 11:00 WIB, IHSG berbalik arah dan per penutupan perdagangan sesi I telah melemah 0,5% ke level Rp 6.031,01.

Merujuk pada data perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) indeks sektoral yang terperosok paling dalam adalah indeks sektor industri dasar dan indeks sektor manufaktur dengan penurunan masing-masing 1,97% dan 1,23%.

Sedangkan saham-saham dari kedua sektor tersebut yang berkontribusi besar menekan kinerja bursa saham utama Tanah Air adalah PT Barito Pacific Tbk/BRPT (3,02%), PT Chandra Asri Petrochemical Tbk/TPIA (-3,31%), PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk/INTP (-2,6%), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-1,4%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-2,75%).

Sentimen negatif yang menyelimuti pergerakan IHSG hari ini datang dari dua arah, yakni eksternal dan domestik.

Dari eksternal, pelaku pasar kembali was-was setelah Bloomberg memberitakan, pihak China mulai ragu atau enggan untuk menyetujui kesepakatan dagang yang menyeluruh dengan Negeri Paman Sam.

Wakil Perdana Menteri Negeri Tiongkok, Liu He, mengatakan bahwa komitmen yang ditawarkan Beijing tidak termasuk reformasi kebijakan industri atau subsidi pemerintah. Padahal, dua komitmen tersebut merupakan tuntutan utama yang diminta oleh pihak Washington.

Sedangkan dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa pada akhir September berada di US$ 124,3 miliar. Turun lumayan dalam yaitu US$ 2,1 miliar dibandingkan bulan sebelumnya.

Penurunan ini berbanding terbalik dengan konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics, di mana cadev Indonesia bulan September diprediksi naik ke level US$ 126,7 sebagai akibat stabilnya nilai rupiah di level 14.190 per dolar AS.

Melemahnya cadev bukan merupakan berita baik bagi instrumen keuangan berbasis rupiah, karena amunisi BI untuk menjadi stabilitas Mata Uang Garuda menjadi terbatas. Hal ini tentu membuat pelaku pasar berpikir ulang untuk menggelontorkan dana mereka di Indonesia karena resiko rugi dari selisih kurs menjadi lebih besar.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular