Oalah! Forever 21 Bangkrut Gara-gara Gen-Z, kok Bisa?

Linda Hasibuan, CNBC Indonesia
06 October 2019 13:35
Gerai fesyen kenamaan Forever 21 dinyatakan pailit dan bangkrut sejak Minggu lalu.
Foto: Forever 21 (REUTERS/Mariana Bazo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Gerai fesyen kenamaan Forever 21 dinyatakan pailit dan bangkrut sejak Minggu lalu. Induk bisnisnya yang berada di Amerika Serikat pun terlilit utang dan ditinggal konsumen.

Bahkan ritel ini bakal menutup 178 gerai di AS dan hengkang dari pasar Asia dan Eropa.

Bangkrutnya Forever 21 ternyata juga disebutkan dengan daya minat kaum generasi Z (Gen-Z) alias orang-orang yang lahir dalam rentang tahun kelahiran 1995 sampai 2010.

Hal ini dilihat dari sekelompok siswa di kursus teater kampus Vanderbilt yang dipimpin Alexandra Sargent Capps. Para siswa di sana tiba dengan mengenakan pakaian daur ulang eklektik yang tidak akan ditemukan di toko ritel mana pun.


"Mereka suka merasakan hal itu [kreativitas] dengan mendaur ulang pakaian lama, mereka sedikit lebih kreatif dengan cara mereka menyatukan berbagai hal. Mereka sangat suka pergi ke toko barang bekas," kata Capps, dikutip Businessinsider, Minggu (6/10/2019).

Sebagai dosen senior teater dan manajer Toko Kostum Vanderbilt, Capps bekerja intensif mengenai pakaian dan sering mendiskusikan dengan murid-muridnya. Dia juga mengajar kursus tentang sejarah mode yang menampilkan mode berkelanjutan dan atau slow fashion pada silabus, sebuah topik yang pertama kali ditambahkan ke kelasnya 8 tahun lalu.

"Rasa individualitas yang dibawa dengan mode cepat adalah sesuatu yang [siswa saya] kenali dan mereka ingin menebus kesalahan. Mereka ingin lebih otonom atas cara mereka berpakaian, lebih daripada yang mereka dapatkan dari tempat seperti Forever 21," katanya.


Menurutnya mode cepat tidak disukai oleh para konsumen Gen Z di seluruh dunia dan kecenderungan minat para Gen-Z ini akhirnya ikut berkontribusi mendorong Forever 21 bangkrut pekan lalu.

Menurut analisis terbaru dari firma pemasaran dan riset YPulse, yang meneliti faktor-faktor seperti kesediaan untuk membeli di antara pembeli berusia 13-30 tahun, ada momentum bahwa terjadi tren penurunan di toko ritel.

Demikian juga, di media sosial, konsumen muda tidak terlalu malu untuk berbagi pemikiran tentang kesalahan Forever 21. Keluhan utama mereka adalah desain yang tidak menyentuh karakter mereka (anak muda).

"Orang-orang berjalan ke Forever 21 dan terkejut dengan kekacauan [mode yang tidak cocok] yang ada di beberapa toko, hanya kumpulan pakaian yang sangat tidak menarik, sangat murah, dan sangat...sehingga mereka tidak tampak seperti sesuatu yang ingin dibeli oleh orang-orang," kata Capps.

Anil Mathews, CEO firma analisis Near, mengatakan bahwa meskipun dia tidak berpikir Gen Z akan menutup pintu pada merek-merek peritel mal, tapi menurut dia sebetulnya para Gen-Z hanya kurang tertarik dengan apa yang ditawarkan Forever 21.

"Peritel mungkin berpikir mereka memiliki pasar Gen Zers, tetapi data kami menunjukkan bahwa itu tidak selalu merek fashion cepat seperti Forever 21 menarik pembeli muda, tetapi merek seperti Target, Adidas, Nike dan bahkan merek yang mungkin tidak Anda harapkan seperti Lululemon," kata Mathew.

Saat ini Gen Z punya karakter berusaha ingin menjadi yang lebih unik, namun tidak berarti mereka tidak ingin membeli barang dengan murah. Sekarang, katanya, mereka mempertimbangkan membeli dan menjual kembali, daripada membeli tumpukan kemeja murah senilai US$ 5.

Foto: Toko Forever 21 (ist/via.wolipop.detik.com)


Menurut survei Business Insider baru-baru ini terhadap 1.884 orang Amerika Serikat antara usia 13 dan 21, sebanyak 60% responden mengatakan harga adalah faktor terbesar mereka ketika memutuskan apakah akan membeli barang dari merek tertentu.

Sebuah studi Cone Communications 2017 juga menemukan bahwa 94% responden Gen Z percaya perusahaan fesyen harus membantu mengatasi masalah sosial dan lingkungan yang dialami para Gen-Z, dibandingkan dengan 87% jawaban dari milenial.

Pew Research Center mencatat, beda antara Gen-Z dan milenial. Orang yang lahir pada 1997 dan setelahnya, termasuk ke dalam generasi Z, sementara mereka yang lahir antara 1981 dan 1996 adalah bagian dari milenial.

Tim de Paris, Chief Technology Officer di Decibel, sebuah perusahaan yang membantu merek meningkatkan pengalaman pelanggan, mengatakan kepada Business Insider bahwa bagian dari bangkrutnya Forever 21 terletak pada kegagalannya mereka berinovasi secara digital.

Perusahaan itu terlalu banyak berinvestasi dalam ruang ritel fisik besar di AS dan luar negeri bukan berekspansi di ranah online.

"Pengalaman berbelanja yang diberikannya secara offline mungkin tidak diterjemahkan dengan baik secara online. Karena itulah kami melihat banyak peritel berjuang melawan meningkatnya persaingan dari saingan daring. Toko yang bertahan dan berkembang di era ritel ini tidak hanya memiliki situs web dan biarkan saja," kata de Paris.

Pada akhirnya, Capps mengatakan kebangkrutan Forever 21 adalah endemik dari tanda adanya gelombang perubahan yang nyata di tengah bahaya tren mode cepat ini.


(tas) Next Article Makin Susah! Perusahaan Ritel Ramai-ramai Tutup

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular