Happy Weekend! IHSG Berhasil Menguat & Jawara Asia

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
04 October 2019 16:49
Happy Weekend! IHSG Berhasil Menguat & Jawara Asia
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Happy Weekend untuk bursa saham utama Indonesia. Mengawali perdagangan hari ini (4/10/2019) dengan menguat 0,24%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memperlebar penguatannya dan berhasil ditutup dengan mencatatkan kenaikan 0,38% menjadi 6.061,25.

IHSG akhirnya mencuat kembali alias rebound setelah dalam 5 hari terakhir amblas dengan total koreksi sebesar 3,11%.

Saham-saham yang turut mendongkrak kinerja IHSG di antaranya PT Bima Sakti Pertiwi Tbk/PAMG (+24,6%), PT Capri Nusa Satu Properti Tbk/CPRI (+10%), PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (+6,27%), PT Matahari Department Store Tbk/LPPF (+6,15%), PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk/TELE (+5,8%).

Lebih lanjut, IHSG berhasil menjadi macan Asia pada akhir pekan ini karena mencatatkan imbal hasil paling besar jika dibandingkan dengan indeks saham utama di kawasan Benua Kuning yang mayoritas dilanda tekanan jual.

Indeks Nikkei tercatat menguat 0,32%, indeks Hang Seng anjlok 1,11%, indeks Shanghai anjlok 0,92%, indeks Kospi melemah 0,55%, dan indeks Straits Times terkoreksi 0,31%.

Awan kelam masih menyelimuti bursa saham utama kawasan Asia seiring dengan rilis data ekonomi terbaru AS yang lagi-lagi mengecewakan.

Non-Manufacturing PMI periode September 2019 diumumkan oleh Institute for Supply Management (ISM) di level 52,6, di bawah konsensus yang sebesar 55,1, seperti dilansir dari Forex Factory.

Melansir CNBC International, Non-Manufacturing PMI yang sebesar 52,6 tersebut merupakan level terendah yang pernah dicatatkan semenjak Agustus 2016 silam.

Sebelumnya pada Selasa (1/10/2019), Institute for Supply Management (ISM) melaporkan angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS periode September berada di 47,8. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,1. Yang lebih parah, skor 47,8 adalah capaian terendah Negeri Paman Sam sejak Juni 2009.

"Ketidakpastian seputar perang dagang AS-China jelas merupakan alasan utama pelemahan ini, dengan perusahaan yang terpapar perdagangan global semakin menunda keputusan investasi (mereka)," ujar Patrik Lang, Kepala Riset Pasar Modal di Julius Baer, seperti dikutip oleh Reuters.

Perang dagang dengan Negeri Tiongkok sudah jelas-jelas menyakiti ekonomi Negeri Paman Sam, tapi AS malah berniat memulai era baru perang dagang dengan Uni Eropa.

Kantor Perwakilan Dagang AS mengumumkan rencana pengenaan tarif atas produk impor asal Benua Biru per 18 Oktober 2019.

Bea masuk 10% akan dikenakan pada pesawat Airbus, 25% pada produk wine asal Perancis dan whiskey asal Irlandia dan Skotlandia. Washington juga akan memberlakukan tarif pada produk keju, kopi, mentega dan daging babi, dilansir CNBC International.

Investor dipenuhi kekhawatiran karena karena friksi dagang AS dan Benua Biru berpotensi menyakiti ekonomi Negeri Adidaya lebih dalam ketimbang perang dagang dengan China.

Mengutip data Kantor Perwakilan Dagang AS, impor AS dari Uni Eropa bernilai US$ 683,9 miliar pada 2018. Pada tahun yang sama, impor dari China 'hanya' US$ 557,9. Sementara ekspor AS ke Uni Eropa tercatat US$ 574,5 miliar dan ke China adalah US$ 179,2 miliar.

(BERLANJUT KE HALAMAN DUA)
Meskipun kondisi pasar keuangan global mayoritas dipenuhi dengan sentimen eksternal yang negatif, akan tetapi tampaknya pasar saham Ibu Pertiwi masih cukup menarik di mata investor, terutama setelah koreksi yang cukup membuat valuasi saham menjadi lebih murah.

Investor asing bahkan marak memburu saham-saham yang terdaftar di BEI. Pada akhir perdagangan investor asing membukukan total aksi beli bersih (net sell) sebesar Rp 474,42 miliar.

Saham-saham yang paling banyak dikoleksi termasuk PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 193,3 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 163,48 miliar), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (Rp 132,32 miliar), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 84,43 miliar), dan PT Tower Bersama Infrastructures Tbk/TBIG (Rp 68,88 miliar).

Pada dasarnya, valuasi IHSG terbilang cukup murah jika dibandingkan dengan indeks saham lain di Benua Kuning yang membuat IHSG cukup atraktif.

Salah satu indikator yang umum digunakan untuk melihat valuasi indeks saham adalah price-to-earnings ratio (PER). Hitungan PER untuk indeks saham adalah dengan membagi nilai indeks saham terhadap laba per saham.



Merujuk pada tabel di atas, valuasi IHSG lebih murah jika dibandingkan dengan indeks saham asal India, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Thailand.

Selain itu, faktor lainnya yang memantik aksi beli pelaku pasar adalah harapan bahwa Bank Sentral AS (The Federal Reserves/The Fed) akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada akhir bulan ini. Optimisme tersebut membuncah seiring dengan dengan rilis data ekonomi AS yang mengecewakan.

Melansir situs CME Fedwatch, probabilitas Bank Sentral AS memangkas suku bunga 25 basis poin ke kisaran 1,5-1,75% ada di 87,1%. Sedangkan peluang suku bunga ditahan di level saat ini, yakni 1,75-2%, adalah 12,9%.

Iklim suku bunga yang rendah merupakan berita baik bagi pasar saham. Pasalnya, Tingkat suku bunga yang rendah akan memancing pertumbuhan dan ekspansi industri, karena biaya pinjaman yang merupakan sumber modal menjadi lebih murah. Masyarakat juga akan terdorong meningkatkan konsumsi mereka seiring dengan penurunan biaya kredit.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular