Mantap! Perang Dagang AS-UE Bergelora, Rupiah Tetap Perkasa

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 October 2019 17:28
Mantap! Perang Dagang AS-UE Bergelora, Rupiah Tetap Perkasa
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah kembali menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (3/10/19), melanjutkan penguatan hari sebelumnya.

Rupiah mengakhiri perdagangan di level Rp 14.170/US$ atau menguat 0,14% di pasar spot, melansir data Refinitiv, sementara Rabu kemarin menguat 0,11%.



Mata Uang Garuda mengawali perdagangan hari ini dengan stagnan di level Rp 14.190/US$ kemudian setelahnya sempat melemah 0,04%. Namun tidak lama rupiah langsung masuk ke zona hijau meski masih tipis.

Penguatan rupiah baru terakselerasi selepas tengah hari bahkan sempat menyentuh level terkuat Rp 14.165/US$.

Kecuali yuan China, mayoritas mata uang utama memang menguat melawan dolar AS. Peso Filipina menjadi mata uang terbaik hari ini, menguat 0,38% pada pukul 16:13 WIB. Rupee India dan dolar Singapura melengkapi tiga besar dengan menguat 0,21% dan 0,2%.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hari ini.


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Melihat penguatan mata uang Asia hari ini, jelas terlihat dolar sedang dalam masalah. Sejak isu resesi kembali mencuat Selasa lalu, dolar AS mengalami tekanan. Kemudian ditambah lagi potensi perang dagang AS dengan Uni Eropa yang membuat dolar AS babak belur. 

Berdasarkan survei US National Association for Business Economics (NABE) yang melibatkan 226 institusi, 42% responden memperkirakan AS akan mengalami resesi pada Februari 2020.

Kala negara dengan nilai ekonomi terbesar dunia lesu, tentunya permintaan untuk impor dari negera lain akan menurun, dampaknya akan menyeret dalam pertumbuhan ekonomi global. 

Isu resesi di AS kembali mencuat setelah Institute fo Supply Management pada hari Selasa melaporkan angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS periode September berada di 47,8. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,1.



Indeks ini menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 artinya kontraksi yakni aktivitas sektor manufaktur semakin menyusut, sementara di atas 50 berarti ekspansi atau peningkatan aktivitas.

Kontraksi yang dialami sektor manufaktur AS di bulan September tersebut merupakan yang terdalam sejak satu dekade terakhir, tepatnya sejak Juni 2009 ketika resesi AS 2007-2009 berakhir.

Setelah rilis data tersebut, giliran Automatic Data Processing Inc (ADP) Rabu kemarin melaporkan pelemahan pasar tenaga kerja AS. Sepanjang bulan September ekonomi AS dilaporkan menyerap 135.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian. Data tersebut lebih rendah dari bulan Agustus sebanyak 157.000 tenaga kerja. 


Kemudian potensi perang dagang dengan Uni Eropa muncul setelah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memenangkan gugatan AS yang menyebut Uni Eropa memberikan subsidi kepada Airbus sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dengan perusahaan pembuat pesawat lainnya seperti Boeing.

Sidang panel WTO menyatakan AS menderita kerugian sampai US$ 7,5 miliar per tahun. Keputusan WTO ini menjadi pembenaran bagi rencana AS untuk menerapkan bea masuk terhadap importasi produk-produk dari Eropa. Washington mengusulkan pengenaan bea masuk bagi importasi hingga US$ 11 miliar.

Jika dilihat dari nilai transaksi AS-Uni Eropa, ternyata lebih besar dari AS-China. Data Kantor Perwakilan Dagang AS menunjukkan impor AS dari Uni Eropa bernilai US$ 683,9 miliar pada 2018. Pada tahun yang sama, impor dari China US$ 557,9. Sementara ekspor AS ke Uni Eropa tercatat US$ 574,5 miliar dan ke China adalah US$ 179,2 miliar.

Data Kantor Perwakilan Dagang AS Rabu kemarin merilis daftar yang akan dikenakan bea impor mulai dari pesawat terbang sebesar 10 % hingga berbagai jenis makanan dan produk tekstil senilai 25% yang mulai berlaku efektif pada 18 Oktober. 


Belum diketahui sejauh apa Uni Eropa akan melawan perang bea impor Paman Sam, mengingat kondisi perekonomian Benua Biru sedang memburuk. Tetapi jika sampai terjadi perang dagang lagi, ini berarti AS akan dikeroyok China dan Uni Eropa.

Perang dagang dengan China sudah membuat ekonomi AS merosot sedemikian dalam, memaksa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memangkas suku bunga sebanyak dua kali di tahun ini, dan kemungkinan masih akan ada pemangkasan lagi. Jika sampai dikeroyok China dan Uni Eropa, AS benar-benar terancam mengalami resesi. 

Kondisi global yang sedang panas nyatanya masih membuat rupiah cukup perkasa. Hal ini disebabkan para investor masuk ke obligasi negara-negara berkembang yang memberikan imbal hasil lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju. 


Yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun pada hari ini turun 0,8 basis poin ke level 7,267%. Penurunan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya ketika harga naik maka yield akan menurun. Kenaikan harga obligasi berarti permintaannya sedang tinggi.

Dolar AS yang babak belur, serta aliran modal ke pasar obligasi membuat rupiah mencatat penguatan dua hari berturut-turut. 

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular