
IHSG Membara Tapi Rupiah Perkasa, Kok Bisa???
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 October 2019 10:38

Pelaku pasar meminati obligasi di negara-negara berkembang karena keuntungan yang didapat di negara maju semakin tipis. Maklum, saat ini tren kebijakan moneter mengarah ke longgar bahkan sangat longgar.
Ancaman resesi membuat bank sentral harus menerapkan kebijakan counter cyclical. Salah satu cara, dan paling utama, adalah menurunkan suku bunga acuan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.
Bank Sentral AS, The Federal Reserve/The Fed, memang sudah menurunkan suku bunga acuan dua kali sejak awal tahun. Namun investor melihat masih ada ruang untuk kembali turun, setidaknya sekali lagi.
Menurut CME Fedwatch, probabilitas penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 bps menjadi 1,5-1,75% dalam rapat Oktober mencapai 75,4%. Sebulan lalu, peluangnya 'hanya' 53,4%.
Begitu pula di Jepang. Meski suku bunga acuan di Negeri Sakura sudah di teritori negatif, tetapi Bank Sentral Jepang (BoJ) masih membuka ruang untuk pelonggaran moneter. Sebagai informasi, suku bunga acuan di Jepang sudah berada di -0,1% sejak 2016.
"Pelonggaran moneter lanjutan bisa berupa penurunan suku bunga, pembelian aset, sampai peningkatan uang beredar. Kita sedang berada dalam situasi di mana harus menaruh perhatian ekstra sebelum risiko datang," tegas Yukitoshi Funo, Anggota Dewan Gubernur BoJ, sebagaimana diberitakan Reuters.
Seiring potensi penurunan suku bunga, berinvestasi di negara maju menjadi tidak menarik. Cuan tipis. Oleh karena itu, investor yang memburu cuan mengalihkan dananya ke pasar obligasi negara-negara berkembang yang menjanjikan keuntungan lebih tinggi.
Arus modal di pasar obligasi ini kemudian mampu menopang penguatan rupiah dkk di Asia. Namun karena pasar saham amblas akibat kecemasan akan resesi dan perang dagang AS-Uni Eropa, penguatan mata uang Asia tidak bisa terlalu tajam.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Ancaman resesi membuat bank sentral harus menerapkan kebijakan counter cyclical. Salah satu cara, dan paling utama, adalah menurunkan suku bunga acuan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.
Bank Sentral AS, The Federal Reserve/The Fed, memang sudah menurunkan suku bunga acuan dua kali sejak awal tahun. Namun investor melihat masih ada ruang untuk kembali turun, setidaknya sekali lagi.
Menurut CME Fedwatch, probabilitas penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 bps menjadi 1,5-1,75% dalam rapat Oktober mencapai 75,4%. Sebulan lalu, peluangnya 'hanya' 53,4%.
Begitu pula di Jepang. Meski suku bunga acuan di Negeri Sakura sudah di teritori negatif, tetapi Bank Sentral Jepang (BoJ) masih membuka ruang untuk pelonggaran moneter. Sebagai informasi, suku bunga acuan di Jepang sudah berada di -0,1% sejak 2016.
"Pelonggaran moneter lanjutan bisa berupa penurunan suku bunga, pembelian aset, sampai peningkatan uang beredar. Kita sedang berada dalam situasi di mana harus menaruh perhatian ekstra sebelum risiko datang," tegas Yukitoshi Funo, Anggota Dewan Gubernur BoJ, sebagaimana diberitakan Reuters.
Seiring potensi penurunan suku bunga, berinvestasi di negara maju menjadi tidak menarik. Cuan tipis. Oleh karena itu, investor yang memburu cuan mengalihkan dananya ke pasar obligasi negara-negara berkembang yang menjanjikan keuntungan lebih tinggi.
Arus modal di pasar obligasi ini kemudian mampu menopang penguatan rupiah dkk di Asia. Namun karena pasar saham amblas akibat kecemasan akan resesi dan perang dagang AS-Uni Eropa, penguatan mata uang Asia tidak bisa terlalu tajam.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular