IHSG Membara Tapi Rupiah Perkasa, Kok Bisa???

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 October 2019 10:38
IHSG Membara Tapi Rupiah Perkasa, Kok Bisa???
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah juga mampu menembus zona hijau di perdagangan pasar spot.

Pada Kamis (3/10/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.193. Rupiah menguat 0,1% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Penguatan ini mengakhiri rentetan depresiasi rupiah di kurs tengah BI yang terjadi dua hari beruntun. Dalam dua hari tersebut, rupiah melemah 0,23%.

Sementara di pasar spot, rupiah juga berhasil masuk jalur hijau. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.185 di mana rupiah menguat 0,04%.

Kala pembukaan pasar, rupiah stagnan di Rp 14.190/US$. Mata uang Tanah Air sempat melemah tipis tetapi kemudian berbalik menguat.


Pagi jelang siang hari ini, mata uang utama Asia bergerak variatif di hadapan dolar AS. Namun terlihat penguatan maupun pelemahan mata uang Benua Kuning tipis-tipis saja.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:07 WIB:

 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)




Seperti kemarin, mata uang Asia mampu bertahan di tengah tekanan yang terjadi di pasar saham. Ya, pasar saham Asia saat ini merah padam, tidak ada yang bisa menguat.

Berikut perkembangan indeks saham utama Asia pada pukul 10:09 WIB:




Lagi-lagi, sepertinya investor masih berkenan masuk ke pasar keuangan Asia. Namun pintu masuknya bukan di pasar saham melainkan obligasi pemerintah.

Pada pukul 10:12 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun 0,8 basis poin (bps). Penurunan yield menandakan harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.

Penurunan yield juga terjadi di obligasi pemerintah negara-negara tetangga. Yield obligasi pemerintah Malaysia tenor 10 tahun turun 0,2 bps, Singapura turun 3,5 bps, Thailand turun 1,5 bps, sampai India juga turun 3,7 bps.


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)



Pelaku pasar meminati obligasi di negara-negara berkembang karena keuntungan yang didapat di negara maju semakin tipis. Maklum, saat ini tren kebijakan moneter mengarah ke longgar bahkan sangat longgar.

Ancaman resesi membuat bank sentral harus menerapkan kebijakan counter cyclical. Salah satu cara, dan paling utama, adalah menurunkan suku bunga acuan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.

Bank Sentral AS, The Federal Reserve/The Fed, memang sudah menurunkan suku bunga acuan dua kali sejak awal tahun. Namun investor melihat masih ada ruang untuk kembali turun, setidaknya sekali lagi.


Menurut CME Fedwatch, probabilitas penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 bps menjadi 1,5-1,75% dalam rapat Oktober mencapai 75,4%. Sebulan lalu, peluangnya 'hanya' 53,4%.

Begitu pula di Jepang. Meski suku bunga acuan di Negeri Sakura sudah di teritori negatif, tetapi Bank Sentral Jepang (BoJ) masih membuka ruang untuk pelonggaran moneter. Sebagai informasi, suku bunga acuan di Jepang sudah berada di -0,1% sejak 2016.

"Pelonggaran moneter lanjutan bisa berupa penurunan suku bunga, pembelian aset, sampai peningkatan uang beredar. Kita sedang berada dalam situasi di mana harus menaruh perhatian ekstra sebelum risiko datang," tegas Yukitoshi Funo, Anggota Dewan Gubernur BoJ, sebagaimana diberitakan Reuters.

Seiring potensi penurunan suku bunga, berinvestasi di negara maju menjadi tidak menarik. Cuan tipis. Oleh karena itu, investor yang memburu cuan mengalihkan dananya ke pasar obligasi negara-negara berkembang yang menjanjikan keuntungan lebih tinggi.

Arus modal di pasar obligasi ini kemudian mampu menopang penguatan rupiah dkk di Asia. Namun karena pasar saham amblas akibat kecemasan akan resesi dan perang dagang AS-Uni Eropa, penguatan mata uang Asia tidak bisa terlalu tajam.




TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular