Kuartal 3 Nyaris Tak Ada Inflasi, Masyarakat RI Sedang Susah?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 October 2019 06:56
Kuartal 3 Nyaris Tak Ada Inflasi, Masyarakat RI Sedang Susah?
Foto: Ilustrasi suasana pasar tradisional (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bulan September resmi berakhir pada hari Senin (30/9/2019) dan kita sudah memasuki bulan Oktober. Kini, data ekonomi untuk periode September sudah mulai dipublikasikan.

Di Indonesia, data ekonomi yang paling cepat dipublikasikan adalah data inflasi. Pada hari kerja pertama setiap bulannya, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis angka inflasi untuk bulan sebelumnya. Pada bulan ini, hal yang sama kembali kita dapati.

Pada hari Selasa (1/10/2019), BPS merilis angka inflasi periode September 2019. Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat bahwa Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,27% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) berada di level 3,39%. Deflasi pada bulan September menandai deflasi kedua di tahun 2019.

Deflasi pada bulan September lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksikan deflasi sebesar 0,15% saja secara bulanan. 

Jika ditotal untuk periode kuartal III-2019, Indonesia membukukan inflasi sebesar 0,16%. Inflasi pada kuartal III-2019 berada jauh di bawah rata-rata inflasi kuartal III dalam empat tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mencapai 0,62%.

Di era pemerintahan Jokowi, inflasi kuartal III-2019 yang hanya sebesar 0,16% merupakan inflasi kuartal III terendah kedua di eranya, pasca pada kuartal III-2018 Indonesia hanya mencatatkan inflasi sebesar 0,05%.

Lantas, rendahnya inflasi pada kuartal III-2019 menimbulkan sebuah pertanyaan: apakah ini merupakan buah dari upaya pemerintah untuk mengontrol harga, terutama harga bahan makanan, atau justru ini merupakan bukti dari lemahnya daya beli masyarakat Indonesia?

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Semua Karena Bahan Makanan

Kalau diamati, rendahnya inflasi pada kuartal III-2019 disebabkan oleh terjadinya deflasi yang dalam pada bulan September. Sebagai gambaran, deflasi pada September 2019 yang sebesar 0,27% merupakan deflasi terdalam yang terjadi di kuartal III dalam setidaknya lima tahun terakhir.

Pada Juli dan Agustus 2019, terjadi inflasi masing-masing sebesar 0,31% dan 0,12% secara bulanan, sehingga jika ditotal menjadi 0,43%. Namun, kehadiran deflasi yang sebesar 0,27% pada September 2019 membuat total inflasi pada kuartal III-2019 menjadi rendah.

Pada September 2019, terjadinya deflasi praktis hanya disumbang oleh penurunan harga bahan makanan. Sepanjang bulan lalu, harga bahan makanan tercatat merosot hingga 1,97% secara bulanan. Sementara itu, pos-pos pembentuk inflasi lainnya masih mencatatkan kenaikan harga secara bulanan.

Untuk diketahui, bahan makanan merupakan kebutuhan primer dari masyarakat, sehingga tingkat konsumsinya akan cenderung stabil, kecuali pada saat periode libur panjang di mana konsumsi biasanya akan naik secara signifikan.

Lantas, kejatuhan harga bahan makanan yang signifkan pada bulan lalu patut diinterpretasikan sebagai keberhasilan dari pemerintah dalam upayanya mengontrol pasokan di seluruh tanah air.

Guna melihat secara lebih jelas posisi daya beli masyrakat Indonesia, ada satu indikator yang sejatinya sudah disediakan oleh BPS, yakni inflasi inti. Inflasi inti merupakan indikator yang menggambarkan pergerakan harga barang dan jasa yang cenderung kecil fluktuasinya. Inflasi inti mengeluarkan barang dan jasa yang fluktuasi harganya cenderung tinggi yakni bahan makanan, serta barang dan jasa yang harganya diatur oleh pemerintah.

Ketika inflasi inti terus merangkak naik, kemungkinan besar penyebabnya adalah kenaikan permintaan yang berarti daya beli masyrakat semakin kuat.

Nah, dalam beberapa waktu terakhir, inflasi inti terus menunjukkan kenaikan.

Memang, tak bisa disangsikan bahwa ada sinyal kenaikan dari daya beli masyarakat Indonesia mulai melambat. Hal ini terlihat jelas dari data penjualan barang-barang ritel.

Melansir Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI), penjualan barang-barang ritel periode Juli 2019 tercatat hanya tumbuh sebesar 2,4% secara tahunan, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (Juli 2018) yang sebesar 2,9%.

Untuk bulan Agustus, angka sementara menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel hanya tumbuh 3,7% YoY, jauh di bawah pertumbuhan pada Agustus 2018 yang mencapai 6,1%.

Sebagai catatan, sudah sedari bulan Mei pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3%.

Namun tetap saja, secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa daya beli masyarakat Indonesia tetap kuat, walaupun tambahan kekuatannya sudah tak sebesar dulu.

Sepanjang periode satu pemerintahan Jokowi, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) tercatat hanya dua kali lengser ke bawah angka 100, yakni pada September dan dan Oktober 2015. Untuk diketahui, jika IKK berada di bawah level 100, artinya masyarakat sedang pesimistis terhadap kondisi perekonomian. Sebaliknya jika berada di atas level 100, artinya masyarakat sedang optimistis terhadap kondisi perekonomian.

Angka IKK yang selalu berada di atas angka 100 dalam beberapa waktu terakhir mengonfirmasi bahwa secara keseluruhan daya beli masyarakat Indonesia tetaplah kuat.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Aksi Jual Atas Saham Konsumer Berlebihan?

Dalam beberapa waktu terakhir, saham-saham konsumer babak belur dihajar pelaku pasar. Pada penutupan perdagangan kemarin, Rabu (2/10/2019), indeks sektor barang konsumsi ambruk sebesar 1,16%, menandai koreksi selama empat hari beruntun. Jika ditotal, koreksi dalam empat hari tersebut adalah sebesar 2,25%.

Anggapan bahwa deflasi di bulan September merupakan konfirmasi dari lemahnya daya beli masyarakat Indonesia menjadi faktor yang memantik aksi jual atas saham-saham konsumer dalam beberapa hari terakhir.

Namun, mengingat secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa daya beli masyarakat Indonesia tetap kuat, bisa jadi aksi jual atas saham-saham konsumer tersebut berlebihan (overdone).

Kedepannya, saham-saham konsumer bisa mencetak rebound dan memberikan keuntungan bagi para pelaku pasar. Apalagi, secara historis memang bulan Oktober terbilang sebagai bulan yang baik untuk masuk ke pasar saham tanah air.

Secara rata-rata dalam lima tahun terakhir (2014-2018), dalam 12 bulan yang terdapat dalam satu tahun kalender, ada tujuh bulan di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membukukan imbal hasil positif, salah satunya bulan Oktober. Secara rata-rata dalam lima tahun terakhir, IHSG membukukan imbal hasil sebesar 1% secara bulanan pada bulan Oktober.

Dalam lima tahun terakhir, IHSG tercatat melemah dua kali secara bulanan pada bulan Oktober, yakni pada tahun 2014 (-0,93%) dan 2018 (-2,42%), sementara di tiga tahun sisanya IHSG membukukan penguatan.


TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/ank) Next Article Pertanyaan Klasik: Apakah Deflasi Tanda Penurunan Daya Beli?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular