
Fitch: Sektor Pertambangan RI Kurang Kompetitif, Alasannya?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
01 October 2019 13:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Menurut Fitch Solution, sektor pertambangan Indonesia kurang kompetitif dibandingkan dengan sektor pertambangan di negara Asia Pasifik lain. Alasannya ada dua yaitu regulasi yang tidak pasti dan sikap nasionalisme yang tinggi terhadap sumber daya alam Indonesia.
Studi yang dilakukan oleh Fitch Solution menyebutkan bahwa daya saing sektor pertambangan Indonesia masih rendah. Skor daya saing pertambangan Indonesia berada di bawah rata-rata skor Asia.
Rata-rata skor daya saing pertambangan Asia berada di angka 40-an sementara itu nilai skor Indonesia berada di bawah 20. Skor daya saing pertambangan yang mendekati 100 mengindikasikan sektor pertambangan di suatu negara menarik dan berdaya saing tinggi. Itu artinya skor Indonesia masih rendah dan kurang kompetitif.
Menurut laporan tersebut, daya saing pertambangan Indonesia masih kalah dengan Mongolia, China, Myanmar, Korea Selatan, Malaysia, Filiphina, Laos dan Australia.
Australia dan Laos merupakan negara Asia Pasifik yang memiliki daya saing yang sangat baik terlihat dari skor indeks daya saing yang mendekati angka sempurna 100.
Alasan mengapa sektor pertambangan dianggap kurang menarik adalah regulasi yang tidak pasti. Contoh yang paling baru adalah penghentian ekspor bijih nikel per 1 Januari 2020. Kebijakan ini diumumkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan akhir Agustus lalu. Awalnya, pemberhentian ekspor bijih nikel akan dilakukan mulai 2022, tetapi dimajukan 2 tahun.
Ketidakpastian kebijakan ini bukan kali pertama, sebelumnya Indonesia juga melarang adanya ekspor bijih mineral pada tahun 2014 dan 2017 kemudian kembali melonggar.
Contoh lain yang menunjukkan ketidakpastian kebijakan di Indonesia adalah kasus Freeport McMoran. Pemerintah Indonesia melakukan negosiasi intensif kurang lebih selama 2 tahun terkait dengan kepemilikan Grasberg Mine. Akhirnya pada 2018, Freeport McMoran mendivestasikan kepemilikan mayoritas (51,2%) ke Inalum dengan harga US$ 3,5 miliar. Padahal sebelumnya, Freeport hanya diminta untuk divestasi 30% sahamnya sebelum tahun 2017.
Menurut Fitch, sejak Januari 2014 sikap nasionalisme terhadap sumber daya alam telah ditunjukkan Pemerintah Indonesia dalam bentuk kebijakan pelarangan ekspor bijih mineral.
Selain itu, ketatnya peraturan pemerintah membuat perusahaan-perusahaan asing harus menjual operasi pertambangan mereka di Indonesia ke pemain lokal. Itulah yang terjadi pada Newmont Mining, Sumitomo Corp, dan BHP Billiton dalam beberapa tahun terakhir.Â
(TIM RISET CNBCÂ INDONESIA)
(twg/hps) Next Article Tony Wenas Optimistis Freeport Mampu Biayai Proyek Investasi
Studi yang dilakukan oleh Fitch Solution menyebutkan bahwa daya saing sektor pertambangan Indonesia masih rendah. Skor daya saing pertambangan Indonesia berada di bawah rata-rata skor Asia.
Rata-rata skor daya saing pertambangan Asia berada di angka 40-an sementara itu nilai skor Indonesia berada di bawah 20. Skor daya saing pertambangan yang mendekati 100 mengindikasikan sektor pertambangan di suatu negara menarik dan berdaya saing tinggi. Itu artinya skor Indonesia masih rendah dan kurang kompetitif.
Menurut laporan tersebut, daya saing pertambangan Indonesia masih kalah dengan Mongolia, China, Myanmar, Korea Selatan, Malaysia, Filiphina, Laos dan Australia.
Australia dan Laos merupakan negara Asia Pasifik yang memiliki daya saing yang sangat baik terlihat dari skor indeks daya saing yang mendekati angka sempurna 100.
![]() |
Alasan mengapa sektor pertambangan dianggap kurang menarik adalah regulasi yang tidak pasti. Contoh yang paling baru adalah penghentian ekspor bijih nikel per 1 Januari 2020. Kebijakan ini diumumkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan akhir Agustus lalu. Awalnya, pemberhentian ekspor bijih nikel akan dilakukan mulai 2022, tetapi dimajukan 2 tahun.
Ketidakpastian kebijakan ini bukan kali pertama, sebelumnya Indonesia juga melarang adanya ekspor bijih mineral pada tahun 2014 dan 2017 kemudian kembali melonggar.
Contoh lain yang menunjukkan ketidakpastian kebijakan di Indonesia adalah kasus Freeport McMoran. Pemerintah Indonesia melakukan negosiasi intensif kurang lebih selama 2 tahun terkait dengan kepemilikan Grasberg Mine. Akhirnya pada 2018, Freeport McMoran mendivestasikan kepemilikan mayoritas (51,2%) ke Inalum dengan harga US$ 3,5 miliar. Padahal sebelumnya, Freeport hanya diminta untuk divestasi 30% sahamnya sebelum tahun 2017.
Menurut Fitch, sejak Januari 2014 sikap nasionalisme terhadap sumber daya alam telah ditunjukkan Pemerintah Indonesia dalam bentuk kebijakan pelarangan ekspor bijih mineral.
Selain itu, ketatnya peraturan pemerintah membuat perusahaan-perusahaan asing harus menjual operasi pertambangan mereka di Indonesia ke pemain lokal. Itulah yang terjadi pada Newmont Mining, Sumitomo Corp, dan BHP Billiton dalam beberapa tahun terakhir.Â
(TIM RISET CNBCÂ INDONESIA)
(twg/hps) Next Article Tony Wenas Optimistis Freeport Mampu Biayai Proyek Investasi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular