Internasional

AS Dipercaya Sebentar Lagi Resesi, Tapi Eropa Akan Lebih Dulu

Sefti Oktarianisa, CNBC Indonesia
25 September 2019 06:56
AS Dipercaya Sebentar Lagi Resesi, Tapi Eropa Akan Lebih Dulu
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom dan pebisnis percaya Amerika Serikat rentan akan resesi. Bahkan, beberapa analis memperkirakan, resesi akan datang 2020 nanti.

Namun ternyata, sebelum AS, sepertinya para tokoh dan pengamat sepakat resesi mungkin lebih rentan terjadi di zona Eropa. Resesi adalah kontraksi atau pertumbuhan negatif dalam dua kuartal dalam satu tahun yang sama.

Hal ini setidaknya diutarakan Mario Draghi, pemimpin Bank Sentral Eropa (ECB) yang sebentar lagi akan meninggalkan lembaga moneter itu 1 November nanti. Bahkan, dalam pernyataannya ia menyebut zona Eropa menghadapi "kemelorotan ekonomi" bahkan jauh yang sebelumnya diperkirakan.


Hal ini diungkapkan Draghi setelah melihat data termasuk pelemahan manufaktur di Jerman. Perlu diketahui, Jerman adalah ekonomi terbesar di Eropa yang menyumbang 17,8% PDB benua itu.

Purchasing managers index (PMI) untuk Eropa jeblok ke 50,4 di September, di bawah perkiraan awal dan PMI September 51,9 di Agustus. Angka 50 menjadi ambang batas PMI, di mana di atas 50 menunjukkan ekspansi atau peningkatan aktivitas sementara di bawah 50 menunjukkan kontraksi atau aktivitas yang memburuk.


Namun khusus untuk Jerman, PMI manufaktur turun di September menjadi 41,2 dari bulan lalu 43,5. Ini angka terburuk sejak pertengahan tahun 2009 seiring dengan melemahnya industri pembuatan mobil.

Perang dagang antara AS dan China menjadi penyebab PMI Jerman terpuruk. Perang dagang dua negara penggerak ekonomi dunia itu menyebabkan ketidakpastian global.

Geopolitik yang tidak stabil, seperti isu tidak jelasnya perjanjian perdagangan mendekati keluarnya Inggris dari Eropa (Brexit), Oktober nanti, juga menjadi penyebab. Ini telah menghentikan bank mencapai target inflasi meskipun fakta pengangguran di wilayah tersebut jatuh ke level terendah selama satu dekade.

Brexit pasalnya membuat Inggris kehilangan hak atas istimewa perdagangan dengan negara Eropa. Inggris harus mengikuti aturan WTO dalam perdagangan.

Karenanya kesepakatan baru harus dibuat. Mengingat 10 besar ekspor negara itu, selain AS dan China, didominasi negara-negara Eropa.

Namun sayangnya, kecenderungan saat ini adalah Inggris akan keluar Inggris tanpa kesepakatan (no deal Brexit). Ekonom memprediksi Inggris bisa resesi karena tersendatnya rantai ekonomi.

"Keseimbangan risiko terhadap prospek pertumbuhan tetap miring ke bawah," ujar Draghi di depan parlemen Eropa sebagaimana ditulis The Financial Times.

Menurut ekonom Commerzbak Jerman Ralp Solveen apa yang diungkapkan Draghi mengkonfirmasi resesi. "Tokoh ini mengkonfirmasi satu kasus penting: bahwa tidak akan ada lagi kemajuan untuk ekonomi kita tahun ini. Di sisi lain, risiko dari resesi meningkat," ujarnya.

Hal senada juga dikatakan pemimpin Bank Belanda ING Hans Wijers. "Kami sudah dekat, dekat dengan resesi," kata Wijers sebagaimana dikutip dari CNBC International.

BERLANJUT KE HAL 2 >>>
Program pelonggaran kuantitatif baru yang dikeluarkan ECB diprediksi juga tidak akan menolong banyak. Sebelumnya ECB melakukan pembelian sekuritas senilai 20 miliar euro (US$ 22 miliar) setiap bulan, mulai 1 November.

Pembelian itu akan berlangsung selama bank sentral menganggap upaya itu perlu dilakukan.
Bank sentral juga memangkas suku bunga simpanan utamanya sebesar 10 basis poin ke rekor terendah -0,5%.

"Kami tidak yakin bahwa upaya ECB saat ini akan memiliki efek yang diperlukan... mungkin efek negatif akan lebih besar daripada efek positif," kata Wijers lagi.

Hal senada juga diutarakan Klass Knot bankir terkemuka dan tokoh bank sentral Belanda. Anggota dewan gubernur ECB itu malah mengecam kebijakan bank sentral dan menyebutnya "tidak proporsional".

"Saya tidak setuju dengan program baru secara keseluruhan," katanya berbicara kepada komite keuangan parlemen Belanda.

[Gambas:Video CNBC]

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular