
Demo Hari Kedua, Rupiah Merana & Terburuk Kedua di Asia
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 September 2019 17:16

Rupiah pada hari ini terkena efek negatif ganda, dari dalam negeri dan luar negeri.
Gelombang aksi massa yang terjadi di berbagai kota sejak kemarin dan berlanjut sampai hari ini. Mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat sipil menyuarakan aspirasi seputar penolakan terhadap RUU KUHP, RUU Pertanahan, pelemahan KPK, kebakaran hutan dan lahan, penanganan konflik Papua, dan sebagainya.
Hingga perdagangan Selasa ini berakhir, gelombang demonstrasi masih terus berlangsung di berbagai wilayah di Indonesia.
Saat situasi sosial-politik-keamanan sedang kurang kondusif, pelaku pasar tentu merasa kurang nyaman. Investor tentu lebih memilih bersikap wait and see atau memutuskan untuk keluar dulu sembari menunggu situasi tenang kembali.
Dari luar negeri, isu resesi yang menghantui negara-negara maju semakin memperburuk pasar finansial dalam negeri.
Di Eropa, angka pembacaan awal Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Jerman versi Markit periode September ada di 41,4. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 43,5.
Sementara PMI gabungan (manufaktur dan jasa) berada di 49,1. Juga turun dibandingkan Agustus yang sebesar 51,7.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, berarti dunia usaha sedang optimistis sehingga akan melakukan ekspansi. Namun kalau di bawah 50 ya kebalikannya.
Sementara di Prancis, pembacaan awal PMI manufaktur untuk September adalah 50,3. Masih optimistis, angkanya di atas 50. Namun optimisme itu sedikit pudar karena pada Agustus angkanya adalah 51,1.
Demikian pula untuk PMI gabungan, yang berada di 51,3 pada September. Dunia usaha Negeri Anggur memang masih pede, tetapi tingkat kepedean itu turun karena bulan sebelumnya masih 52,9.
Jerman, raksasa ekonomi Benua Biru, paling menjadi sorotan. Sebagai negara yang mengandalkan ekspor sebagai roda penggerak perekonomian, sektor manufaktur Jerman justru mengalami kontraksi sembilan bulan beruntun. Di bulan ini, kontraksi bahkan mencapai yang terdalam dalam lebih dari satu dekade terakhir.
Pertumbuhan ekonomi Negeri Panser di kuartal II-2019 mengalami kontraksi sebesar 0,1% secara kuartalan atau quarter-on-quarter. Dengan aktivitas manufaktur yang terus memburuk, maka di kuartal III-2019 Jerman berpeluang besar kembali mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi, sehingga bisa disebut mengalami resesi teknikal.
Resesi yang dialami Jerman tentunya akan berdampak buruk ke negara-negara lainnya di Benua Biru. Ketika sang raksasa sedang lesu, tentunya permintaan impor akan menjadi berkurang, ketika permintaan berkurang negara pengekspor ke Jerman akan turut mengalami pelambatan.
Sementara di AS, peluang menuju resesi semakin tinggi. Survei yang dilakukan Universitas Duke terhadap 225 Chief Financial Officer (CFO) perusahaan di AS menunjukkan bahwa 53% responden meyakini Negeri Paman Sam akan mengalami resesi pada akhir kuartal III-2020.
Survei dari Bank of Amerika Merrill Lynch Global Fund Manager menunjukkan, 38% dari 100 manajer perusahaan yakin resesi bakal terjadi. Sementara itu jajak pendapat yang dilakukan ABC News/Washington Post awal bulan lalu menyebutkan enam dari 10 warga AS percaya resesi akan datang tahun depan.
Efek ganda dari dalam dan luar negeri tersebut membuat rupiah harus terus melemah dan mencapai level terlemah sejak 6 September.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
Gelombang aksi massa yang terjadi di berbagai kota sejak kemarin dan berlanjut sampai hari ini. Mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat sipil menyuarakan aspirasi seputar penolakan terhadap RUU KUHP, RUU Pertanahan, pelemahan KPK, kebakaran hutan dan lahan, penanganan konflik Papua, dan sebagainya.
Hingga perdagangan Selasa ini berakhir, gelombang demonstrasi masih terus berlangsung di berbagai wilayah di Indonesia.
Dari luar negeri, isu resesi yang menghantui negara-negara maju semakin memperburuk pasar finansial dalam negeri.
Di Eropa, angka pembacaan awal Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Jerman versi Markit periode September ada di 41,4. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 43,5.
Sementara PMI gabungan (manufaktur dan jasa) berada di 49,1. Juga turun dibandingkan Agustus yang sebesar 51,7.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, berarti dunia usaha sedang optimistis sehingga akan melakukan ekspansi. Namun kalau di bawah 50 ya kebalikannya.
Sementara di Prancis, pembacaan awal PMI manufaktur untuk September adalah 50,3. Masih optimistis, angkanya di atas 50. Namun optimisme itu sedikit pudar karena pada Agustus angkanya adalah 51,1.
Demikian pula untuk PMI gabungan, yang berada di 51,3 pada September. Dunia usaha Negeri Anggur memang masih pede, tetapi tingkat kepedean itu turun karena bulan sebelumnya masih 52,9.
Jerman, raksasa ekonomi Benua Biru, paling menjadi sorotan. Sebagai negara yang mengandalkan ekspor sebagai roda penggerak perekonomian, sektor manufaktur Jerman justru mengalami kontraksi sembilan bulan beruntun. Di bulan ini, kontraksi bahkan mencapai yang terdalam dalam lebih dari satu dekade terakhir.
Pertumbuhan ekonomi Negeri Panser di kuartal II-2019 mengalami kontraksi sebesar 0,1% secara kuartalan atau quarter-on-quarter. Dengan aktivitas manufaktur yang terus memburuk, maka di kuartal III-2019 Jerman berpeluang besar kembali mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi, sehingga bisa disebut mengalami resesi teknikal.
Resesi yang dialami Jerman tentunya akan berdampak buruk ke negara-negara lainnya di Benua Biru. Ketika sang raksasa sedang lesu, tentunya permintaan impor akan menjadi berkurang, ketika permintaan berkurang negara pengekspor ke Jerman akan turut mengalami pelambatan.
Sementara di AS, peluang menuju resesi semakin tinggi. Survei yang dilakukan Universitas Duke terhadap 225 Chief Financial Officer (CFO) perusahaan di AS menunjukkan bahwa 53% responden meyakini Negeri Paman Sam akan mengalami resesi pada akhir kuartal III-2020.
Survei dari Bank of Amerika Merrill Lynch Global Fund Manager menunjukkan, 38% dari 100 manajer perusahaan yakin resesi bakal terjadi. Sementara itu jajak pendapat yang dilakukan ABC News/Washington Post awal bulan lalu menyebutkan enam dari 10 warga AS percaya resesi akan datang tahun depan.
Efek ganda dari dalam dan luar negeri tersebut membuat rupiah harus terus melemah dan mencapai level terlemah sejak 6 September.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular