
Data Eropa Jelek, Ada Gelombang Demo, Rupiah Bisa Apa?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 September 2019 10:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Sementara di pasar spot, rupiah yang dibuka menguat kini terdampar di zona merah.
Pada Selasa (24/9/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.099. Rupiah melemah 0,16% dibandingkan posisi hari sebelumnya. Ini menjadi pelemahan pertama dalam tiga hari perdagangan terakhir.
Sedangkan di perdagangan pasar spot, rupiah juga melemah tipis. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.090 di mana rupiah melemah 0,07%.
Kala pembukaan pasar, rupiah masih bisa menguat 0,04%. Namun ternyata apresiasi itu tidak bertahan lama, karena memang tipis juga sih...
Sementara mata uang Asia lainnya masih variatif terhadap dolar AS. Selain rupiah, lumayan banyak mata uang yang melemah seperti yen Jepang, peso Filipina, baht Thailand, dan dolar Taiwan. Sementara mata uang yang menguat adalah dolar Hong Kong, ringgit Malaysia, dolar Singapura, dan rupee India.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:08 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sepertinya investor memang cenderung wait and see, karena sentimen yang beredar agak mixed. Di satu sisi, pelaku pasar mencemaskan ancaman resesi yang semakin terasa.
Kemarin, ada sejumlah rilis data yang mengecewakan di Eropa. Angka pembacaan awal Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Jerman versi Markit periode September ada di 41,4. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 43,5.
Sementara PMI gabungan berada di 49,1. Juga turun dibandingkan Agustus yang sebesar 51,7.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, berarti dunia usaha sedang optimistis sehingga akan melakukan ekspansi. Namun kalau di bawah 50 ya kebalikannya.
Angka PMI Jerman menandakan pengusaha di Negeri Panser sedang pesimistis. Angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi, ada keengganan untuk ekspansi.
Sementara di Prancis, pembacaan awal PMI manufaktur untuk September adalah 50,3. Masih optimistis, angkanya di atas 50. Namun optimisme itu sedikit pudar karena pada Agustus angkanya adalah 51,1.
Demikian pula untuk PMI gabungan, yang berada di 51,3 pada September. Dunia usaha Negeri Anggur memang masih pede, tetapi tingkat kepedean itu turun karena bulan sebelumnya masih 52,9.
Data-data dari Benua Biru ini menunjukkan bahwa perlambatan ekonomi semakin nyata. Perlambatan ekonomi adalah gejala yang mengglobal.
Tanpa perbaikan, misalnya AS-China masih terus melanjutkan perang dagang, bukan tidak mungkin perlambatan ekonomi bertransformasi menjadi resesi. Amit-amit, tetapi risiko itu tidak bisa dinafikan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Namun di sisi lain, ada kabar yang membuat pasar sedikit lega. Pembacaan awal angka PMI manufaktur AS pada September berada di 51. Lebih tinggi ketimbang Agustus yang sebesar 50,3. Pada Agustus, angka PMI menyentuh titik terendah setidaknya sejak 2016.
Perkembangan ini membuat investor agak tenang, karena ada sinyal ekonomi Negeri Paman Sam tidak jelek-jelek amat. Masih ada harapan AS bisa menghindar dari resesi meski perlambatan ekonomi tidak terelakkan.
Kalau AS bisa menghindari resesi, maka dunia akan merasakan berkahnya. Sebab, AS adalah negara konsumen terbesar di dunia. Saat ekonomi AS masih tumbuh, artinya permintaan tumbuh sehingga mendukung kinerja ekspor berbagai negara, termasuk Indonesia.
Sedangkan dari dalam negeri, salah satu sentimen yang berpotensi menggerakkan pasar adalah gelombang aksi massa yang terjadi di berbagai kota sejak kemarin dan berlanjut sampai hari ini. Mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat sipil menyuarakan aspirasi seputar penolakan terhadap RUU KUHP, RUU Pertanahan, pelemahan KPK, kebakaran hutan dan lahan, penanganan konflik Papua, dan sebagainya.
Sepanjang demonstrasi berlangsung aman dan dan terkendali sepertinya investor fine-fine saja, karena menyuarakan aspirasi adalah bagian yang sehat dari demokrasi. Namun kalau aksi itu kemudian berujung pada kericuhan, maka bisa jadi membuat investor merasa tidak nyaman dan memilih meninggalkan Indonesia sampai situasi lebih tenang.
Oleh karena itu, investor akan terus memantau kabar dari Jakarta dan kota-kota lain. Semoga aksi massa berjalan damai sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Selasa (24/9/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.099. Rupiah melemah 0,16% dibandingkan posisi hari sebelumnya. Ini menjadi pelemahan pertama dalam tiga hari perdagangan terakhir.
Kala pembukaan pasar, rupiah masih bisa menguat 0,04%. Namun ternyata apresiasi itu tidak bertahan lama, karena memang tipis juga sih...
Sementara mata uang Asia lainnya masih variatif terhadap dolar AS. Selain rupiah, lumayan banyak mata uang yang melemah seperti yen Jepang, peso Filipina, baht Thailand, dan dolar Taiwan. Sementara mata uang yang menguat adalah dolar Hong Kong, ringgit Malaysia, dolar Singapura, dan rupee India.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:08 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sepertinya investor memang cenderung wait and see, karena sentimen yang beredar agak mixed. Di satu sisi, pelaku pasar mencemaskan ancaman resesi yang semakin terasa.
Kemarin, ada sejumlah rilis data yang mengecewakan di Eropa. Angka pembacaan awal Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Jerman versi Markit periode September ada di 41,4. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 43,5.
Sementara PMI gabungan berada di 49,1. Juga turun dibandingkan Agustus yang sebesar 51,7.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, berarti dunia usaha sedang optimistis sehingga akan melakukan ekspansi. Namun kalau di bawah 50 ya kebalikannya.
Angka PMI Jerman menandakan pengusaha di Negeri Panser sedang pesimistis. Angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi, ada keengganan untuk ekspansi.
Sementara di Prancis, pembacaan awal PMI manufaktur untuk September adalah 50,3. Masih optimistis, angkanya di atas 50. Namun optimisme itu sedikit pudar karena pada Agustus angkanya adalah 51,1.
Demikian pula untuk PMI gabungan, yang berada di 51,3 pada September. Dunia usaha Negeri Anggur memang masih pede, tetapi tingkat kepedean itu turun karena bulan sebelumnya masih 52,9.
Data-data dari Benua Biru ini menunjukkan bahwa perlambatan ekonomi semakin nyata. Perlambatan ekonomi adalah gejala yang mengglobal.
Tanpa perbaikan, misalnya AS-China masih terus melanjutkan perang dagang, bukan tidak mungkin perlambatan ekonomi bertransformasi menjadi resesi. Amit-amit, tetapi risiko itu tidak bisa dinafikan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Namun di sisi lain, ada kabar yang membuat pasar sedikit lega. Pembacaan awal angka PMI manufaktur AS pada September berada di 51. Lebih tinggi ketimbang Agustus yang sebesar 50,3. Pada Agustus, angka PMI menyentuh titik terendah setidaknya sejak 2016.
Perkembangan ini membuat investor agak tenang, karena ada sinyal ekonomi Negeri Paman Sam tidak jelek-jelek amat. Masih ada harapan AS bisa menghindar dari resesi meski perlambatan ekonomi tidak terelakkan.
Kalau AS bisa menghindari resesi, maka dunia akan merasakan berkahnya. Sebab, AS adalah negara konsumen terbesar di dunia. Saat ekonomi AS masih tumbuh, artinya permintaan tumbuh sehingga mendukung kinerja ekspor berbagai negara, termasuk Indonesia.
Sedangkan dari dalam negeri, salah satu sentimen yang berpotensi menggerakkan pasar adalah gelombang aksi massa yang terjadi di berbagai kota sejak kemarin dan berlanjut sampai hari ini. Mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat sipil menyuarakan aspirasi seputar penolakan terhadap RUU KUHP, RUU Pertanahan, pelemahan KPK, kebakaran hutan dan lahan, penanganan konflik Papua, dan sebagainya.
Sepanjang demonstrasi berlangsung aman dan dan terkendali sepertinya investor fine-fine saja, karena menyuarakan aspirasi adalah bagian yang sehat dari demokrasi. Namun kalau aksi itu kemudian berujung pada kericuhan, maka bisa jadi membuat investor merasa tidak nyaman dan memilih meninggalkan Indonesia sampai situasi lebih tenang.
Oleh karena itu, investor akan terus memantau kabar dari Jakarta dan kota-kota lain. Semoga aksi massa berjalan damai sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular