
Hubungan AS-China Merenggang, IHSG Ditutup Memerah

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan Senin ini (23/9/2019) dengan apresiasi sebesar 0,14% ke level 6.240,14, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya bisa bertahan sebentar di zona hijau.
Hingga sore hari, IHSG menghabiskan mayoritas waktunya di zona merah. Per akhir sesi dua, IHSG melemah 0,41% ke level 6.206,2.
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Shanghai melemah 0,98%, indeks Hang Seng turun 0,81%, dan indeks Straits Times jatuh 0,41%.
Sentimen yang mewarnai jalannya perdagangan pada hari ini memang tak mendukung bagi IHSG untuk menguat. Dari sisi eksternal, ada kekhawatiran bahwa hubungan AS dengan China di bidang perdagangan mulai merenggang.
Pada pekan kemarin tepatnya di hari Kamis (19/9/2019) dan Jumat (20/9/2019), delegasi setingkat wakil menteri dari pihak AS dan China menggelar perundingan di Washington guna merumuskan dasar untuk negosiasi tingkat tinggi yang rencananya akan digelar pada bulan depan.
![]() |
Dalam negosiasi setingkat wakil menteri yang berlangsung selama dua hari tersebut, delegasi China dipimpin oleh Liao Min selaku Deputi Direktur dari Office of the Central Commission for Financial and Economic Affairs dan juga Wakil Menteri Keuangan China. Sementara itu, AS mengutus Jeffrey Gerrish selaku Deputi Kantor Perwakilan Dagang AS.
Rencananya pascamenggelar negosiasi dagang, delegasi China akan mengunjungi ladang pertanian di Montana dan Nebraska. Namun, rencana kunjungan tersebut dibatalkan dan delegasi China kembali ke negaranya lebih cepat dari yang dijadwalkan.
Sebelumnya pada hari Kamis, Menteri Perdagangan AS Sonny Perdue mengatakan bahwa kunjungan delegasi China ke ladang pertanian di AS dimaksudkan agar pihak China bisa membangun hubungan yang baik dengan para petani di AS.
Sejatinya, pihak China sudah mencoba meredam kekhawatiran yang beredar dengan melakukan klarifikasi atas apa yang terjadi menjelang akhir pekan. Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa perbincangan pada pekan lalu di AS berlangsung secara konstruktif, dilansir dari Bloomberg.
Lebih lanjut, berdasarkan pemberitaan dari China Business News, Wakil Menteri Pertanian China Han Jun mengungkapkan bahwa dibatalkannya kunjungan delegasi China ke ladang pertanian AS merupakan hal yang tak ada hubungannya dengan perkembangan negosiasi dagang.
Namun tetap saja, pelaku pasar mulai mempertanyakan hubungan antar kedua negara di bidang perdagangan. Ada kekhawatiran bahwa dipersingkatnya kunjungan delegasi China ke AS merupakan pertanda bahwa kedua negara akan sulit untuk meneken kesepakatan dagang dalam waktu dekat.
Jika ini yang terjadi, perekonomian AS dan China bisa mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Beralih ke China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.
Kala AS dan China selaku dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia mengalami hard landing, pastilah perekonomian negara-negara lain akan mendapatkan tekanan yang signifikan.
HMSP & GGRM Masih Babak Belur
Dari dalam negeri, saham-saham emiten produsen rokok yang masih babak belur menjadi sentimen negatif bagi IHSG. Per akhir sesi dua, harga saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) ambruk 2,55%, sementara harga saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) anjlok 3,3%.
Kedua saham masih belum bisa bangkit dari keterpurukannya. Sepanjang pekan lalu, harga saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) sudah ambruk hingga 16,1%, sementara harga saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) sudah anjlok 20,6%.
Tekanan paling besar bagi kedua saham datang pada hari Senin (16/9/2019) kala harga saham HMSP jatuh 18,2%, sementara harga saham GGRM terkoreksi 20,6%.
Di titik terendahnya pada hari Senin, harga saham HMSP sempat jatuh hingga 22% yang merupakan kinerja terburuk sejak tahun 1991. Sementara itu, di titik terlemahnya hari Senin harga saham GGRM sempat turun sebanyak 22% juga, menandai kinerja terburuk sejak Mei 1998.
Saham-saham emiten produsen rokok terus dilego pelaku pasar seiring dengan keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23% mulai Januari 2020.
Keputusan tersebut dikemukakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati usai menggelar rapat secara tertutup di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Sri Mulyani mengatakan bahwa dengan kenaikan tarif cukai rokok tersebut, maka harga jual eceran (HJE) pun mengalami kenaikan hingga 35%.
"Kenaikan average 23% untuk tarif cukai, dan 35% dari harga jualnya yang akan kami tuangkan dalam Permenkeu," kata Sri Mulyani.
Untuk diketahui, untuk tahun 2019 pemerintah memutuskan untuk tak menaikkan tarif cukai rokok.
Berdasarkan data dari MUC Tax Research yang dikutip CNBC Indonesia, Senin (16/9/2019), Jokowi tercatat telah menaikkan tarif cukai rokok hingga lebih dari 50% selama menjabat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Pada tahun 2015, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 8,72%. Kemudian di 2016, 2017, dan 2018, kenaikannya adalah masing-masing sebesar 11,19%, 10,54% dan 10,04%, sehingga totalnya 40,49%.
Pada tahun lalu, pemerintah tidak menaikkan tarif cukai rokok. Tahun depan, pemerintah akan menaikkan lagi tarif cukai rokok sebesar 23%, sehingga sejak 2015-2020 total kenaikannya mencapai 63,49%.
Ada kekhawatiran yang besar di kalangan pelaku pasar bahwa kenaikan tarif cukai rokok yang begitu signifikan pada tahun depan akan menekan konsumsi masyarakat. Apalagi, saat ini tanda-tanda lemahnya daya beli masyarakat sudah sangat terlihat.
Melansir Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) belum lama ini, penjualan barang-barang ritel periode Juli 2019 hanya tercatat tumbuh sebesar 2,4% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (Juli 2018) yang sebesar 2,9%.
Untuk bulan Agustus, angka sementara menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel hanya tumbuh 3,7% YoY, jauh di bawah pertumbuhan pada Agustus 2018 yang mencapai 6,1%.
Sebagai catatan, sudah sedari Mei 2019 pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3%.
![]() |
Rupiah Babak Belur, Investor Asing Tarik Dana Rp 289 Miliar
Aksi jual investor asing banyak berkontribusi dalam mendorong IHSG finis di zona merah. Per akhir sesi dua, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 289 miliar di pasar saham tanah air (pasar reguler).
Aksi jual dilakukan investor asing seiring dengan rupiah yang masih saja babak belur. Sepanjang pekan lalu, rupiah melemah 0,64% melawan dolar AS di pasar spot, dari level Rp 13.960/dolar AS ke level Rp 14.050/dolar AS. Rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk kedua di kawasan Asia. Kinerja rupiah hanya lebih baik ketimbang won yang membukukan pelemahan hingga 1,22%.
Pada perdagangan hari ini, rupiah melemah 0,21% ke level Rp 14.080/dolar AS.
Sentimen dari luar dan dalam negeri yang tidak mendukung membuat rupiah terus-menerus menjadi pesakitan. Dari sisi eksternal, seperti yang sudah disebutkan di atas, ada kekhawatiran bahwa AS-China tak akan bisa meneken kesepakatan dagang dalam waktu dekat.
Sementara dari dalam negeri, tekanan bagi rupiah masih datang dari rilis data perdagangan internasional periode Agustus 2019 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada pekan lalu.
Sepanjang bulan Agustus, BPS mencatat bahwa ekspor jatuh 9,99% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan kontraksi sebesar 5,7% saja.
Sementara itu, impor terkontraksi sebesar 15,6%, juga lebih dalam dibandingkan konsensus yang memperkirakan penurunan sebesar 11,295%. Alhasil, neraca dagang hanya membukukan surplus sebesar US$ 85 juta, jauh lebih kecil dari proyeksi yang sebesar US$ 146 juta.
Surplus neraca dagang yang lebih rendah dari ekspektasi membuat pelaku pasar khawatir bahwa defisit transaksi berjalan/currenct account deficit (CAD) akan terus bengkak di kuartal III-2019.
Pada kuartal I-2019, BI mencatat CAD berada di level 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 2,01% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 3,04% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 3,01% dari PDB.
Saham-saham yang banyak dilepas investor asing pada hari ini di antaranya: PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk/INTP (Rp 96,8 miliar), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 44,9 miliar), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (Rp 44,5 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 41,4 miliar), dan PT Waskita Karya Tbk/WSKT (Rp 37,3 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article IHSG Kini Terjebak di Zona Merah, Ini Biang Keroknya!
