Mata Uang Asia Menguat Lawan Dolar AS, Rupiah Masih Saja Loyo

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 September 2019 09:20
Mata Uang Asia Menguat Lawan Dolar AS, Rupiah Masih Saja Loyo
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Sepertinya faktor domestik lebih berperan dalam pelemahan mata uang Tanah Air.

Pada Senin (23/9/2019) pukul 08:22 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.065. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.

Sepanjang minggu kemarin, rupiah melemah 0,64% di hadapan dolar AS. Derita rupiah belum berakhir memasuki pekan yang baru.


Padahal pagi ini mayoritas mata uang utama Asia mampu menguat di hadapan dolar AS. Selain rupiah, hanya yen Jepang dan ringgit Malaysia yang masih mengalami depresiasi.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 08:26 WIB:



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Rupiah gagal memanfaatkan dolar AS yang sedang melemah, tidak hanya di Asia tetapi juga di tataran global. Pada pukul 08:30 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,02%.

Investor berani mengambil risiko setelah terdengar kabar baik dari perundingan dagang AS-China. Pekan lalu, digelar pertemuan tingkat wakil menteri di Washington untuk membuka jalan menuju dialog level menteri awal bulan depan.

Mengutip Reuters, keterangan tertulis Kantor Perwakilan Dagang AS (US Trade Representative) menyatakan bahwa pertemuan pekan lalu berlangsung produktif. "AS menunggu kedatangan delegasi China untuk pertemuan tingkat menteri pada Oktober," sebut pernyataan itu.

AS juga menunjukkan niat baik dengan menghapus bea masuk untuk importasi sekitar 400 produk China. Perlahan, jalan menuju damai dagang AS-China semakin terbuka.

Perkembangan ini membuat investor percaya diri dan enggan bermain aman. Arus modal masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang sehingga membuat mata uang Asia menguat.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Namun mengapa rupiah masih saja lemas? Pertama, sepertinya ada kaitannya dengan harga minyak dunia. Pada pukul 08:38 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet melonjak masing-masing 1,28% dan 1,33%.



Kenaikan harga si emas hitam disebabkan oleh situasi Timur Tengah yang masih saja panas. Serangan terhadap ladang minyak milik Saudi Aramco berbuntut panjang, dan bahkan bisa menyulut Perang Teluk Jilid III.

Akhir pekan lalu, AS memutuskan untuk menambah personel militer di Timur Tengah. Tujuannya memang bukan untuk perang, tetapi untuk memberikan efek jera alias menggertak.

"Misi kami adalah menghindari perang. Kalau Anda mendengar pernyataan Menteri Esper (Mark Esper, Menteri Pertahanan AS), maka tujuan kami menambah pasukan di wilayah tersebut adalah untuk memberikan efek jera dan sebagai upaya pertahanan. Kalau tidak jera juga, saya yakin Presiden Trump (Donald Trump, Presiden AS) akan melanjutkan langkah-langkah lain yang dipandang perlu," papar Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, seperti diberitakan Reuters.


Risiko perang di Timur Tengah meninggi, karena AS sudah siap-siaga. Kalau Iran terprovokasi, satu salah langkah saja mungkin bisa membuat perang meletus.

Timur Tengah yang memanas tentu menyebabkan investor khawatir. Sebab bisa saja produksi dan distribusi minyak dari wilayah tersebut terganggu, sehingga pasokan ke pasar dunia menipis. Akibatnya, pelaku pasar memburu minyak sehingga harga komoditas ini menanjak.



(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak lebih merupakan mudarat ketimbang manfaat. Bukan soal subsidi, tetapi Indonesia memang sudah menjadi negara net importir minyak. Mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri tidak kunjung memadai.

Kenaikan harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini semakin mahal. Ini membuat beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) semakin berat. Neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang defisit semakin dalam tentu membuat rupiah kian rentan melemah.

Kedua, ada kemungkinan investor mencemaskan gaduh politik dan kerawanan keamanan dalam negeri. Hari ini setidaknya ada dua aksi massa yang terjadwal masing-masing di Jakarta dan Yogyakarta.

Di Jakarta, rencananya aksi massa akan terjadi di gedung DPR RI pada 23-24 September. Sementara di Yogyakarta, aksi massa akan dipusatkan di daerah Gejayan.

Saat situasi sosial-politik-keamanan sedang kurang kondusif, pelaku pasar tentu merasa tidak nyaman. Akhirnya ada saja yang memutuskan untuk keluar dulu sembari menunggu situasi tenang kembali.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular