Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham tanah air membukukan kinerja yang begitu mengecewakan pada pekan ini. Dalam sepekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia ambruk hingga 1,63%, menjadikannya indeks saham dengan kinerja terburuk kedua di kawasan Asia. Kinerja IHSG hanya lebih baik ketimbang indeks Hang Seng selaku indeks saham acuan di Hong Kong yang ambruk 3,35%.
IHSG ambruk pada pekan ini seiring dengan tekanan begitu besar yang melanda saham-saham emiten produsen rokok. Sepanjang pekan ini, harga saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) ambruk hingga 16,1%, sementara harga saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) anjlok 20,6%.
Tekanan paling besar bagi kedua saham datang pada hari Senin (16/9/2019) kala harga saham HMSP jatuh 18,2%, sementara harga saham GGRM terkoreksi 20,6%. Di titik terendahnya pada hari Senin, harga saham HMSP sempat jatuh hingga 22% yang merupakan kinerja terburuk sejak tahun 1991. Sementara itu, di titik terlemahnya hari Senin harga saham GGRM sempat turun sebanyak 22% juga, menandai kinerja terburuk sejak Mei 1998.
Saham-saham emiten produsen rokok dilego pelaku pasar seiring dengan keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23% mulai Januari 2020.
Keputusan tersebut dikemukakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati usai menggelar rapat secara tertutup di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Sri Mulyani mengatakan bahwa dengan kenaikan tarif cukai rokok tersebut, maka harga jual eceran (HJE) pun mengalami kenaikan hingga 35%.
"Kenaikan average 23% untuk tarif cukai, dan 35% dari harga jualnya yang akan kami tuangkan dalam Permenkeu," kata Sri Mulyani.
Untuk diketahui, untuk tahun 2019 pemerintah memutuskan untuk tak menaikkan tarif cukai rokok.
Berdasarkan data dari MUC Tax Research yang dikutip CNBC Indonesia, Senin (16/9/2019), Jokowi tercatat telah menaikkan tarif cukai rokok hingga lebih dari 50% selama menjabat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Pada tahun 2015, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 8,72%. Kemudian di 2016, 2017, dan 2018, kenaikannya adalah masing-masing sebesar 11,19%, 10,54% dan 10,04%, sehingga totalnya 40,49%.
Pada tahun lalu, pemerintah tidak menaikkan tarif cukai rokok. Tahun depan, pemerintah akan menaikkan lagi tarif cukai rokok sebesar 23%, sehingga sejak 2015-2020 total kenaikannya mencapai 63,49%.
Dikhawatirkan, kenaikan tarif cukai rokok yang begitu signifikan pada tahun depan akan menekan konsumsi masyarakat.
Lantas, apa yang harus dilakukan oleh pelaku pasar yang masih memegang saham HMSP dan GGRM di harga tinggi? Apakah seharusnya dilepas atau ditahan saja?
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Inelastis Atau Elastis?
Guna menentukan keputusan terkait dengan saham HMSP dan GGRM, kita perlu memahami kondisi fundamental dari industri rokok itu sendiri.
Acap kali kita mendengar ungkapan bahwa rokok itu barang inelastis. Maksudnya, berapapun kenaikan harganya, tingkat konsumsi masyarakat akan tetap sama.
Namun, respons pelaku pasar pada pekan ini yang secara jor-joran melego saham HMSP dan GGRM menunjukkan bahwa mereka percaya bahwa rokok itu sendiri merupakan barang elastis. Kenaikan harga jual (yang dipicu oleh kenaikan tarif cukai) dinilai akan membuat masyarakat mengurangi aktivitas ‘bakar uang’ yang selama ini mereka lakukan.
Jadi, sebenarnya rokok itu barang inelastis atau elastis?
Seperti yang sudah disebutkan di atas, dalam periode 2015-2018 pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai rokok sebesar 40,49%.
Pada tahun 2014, volume penjualan dari HM Sampoerna adalah sebanyak 109,7 miliar batang, sementara volume penjualan dari Gudang Garam adalah sebanyak 80,6 miliar batang. Jika ditotal, penjualan dari dua pemain terbesar di industri tembakau tanah air tersebut adalah sebanyak 190,3 miliar batang.
Seiring dengan kenaikan tarif cukai yang ditetapkan pemerintah di tahun-tahun berikutnya hingga tahun 2018, volume penjualan dari HM Sampoerna dan Gudang Garam memang sempat mendapatkan tekanan, namun intensitasnya tak besar. Malahan, Gudang Garam menunjukkan kinerja yang terbilang oke di saat tarif cukai terus dikerek naik oleh pemerintah.
Untuk HM Sampoerna, volume penjualan sempat naik tipis menjadi 109,8 miliar batang pada tahun 2015, sebelum kemudian melandai menjadi 105,5 miliar batang dan 101,3 miliar batang dalam dua tahun berikutnya (2016 dan 2017). Pada tahun 2018, volume penjualan naik tipis menjadi 101,4 miliar batang.
Sementara untuk Gudang Garam, volume penjualan jatuh menjadi 78,6 miliar batang pada tahun 2015, sebelum kemudian melemah lagi menjadi 77,1 miliar batang pada tahun 2016. Pada tahun 2017, volume penjualan naik menjadi 78,7 miliar batang, diikuti kenaikan yang signifikan pada tahun 2018 menjadi 85,2 miliar batang.
Jika dihitung secara persentase, penurunan volume penjualan yang sempat dialami oleh HM Sampoerna dan Gudang Garam dalam periode 2015-2018 sangatlah kecil jika dibandingkan dengan kenaikan tarif cukai.
Dari angka-angka di atas, dapat disimpulkan bahwa permintaan atas rokok tak sepenuhnya kebal dari kenaikan harga jual. Namun begitu, sejauh ini kenaikan harga jual yang harus ditanggung pembeli terbukti tak menekan volume penjualan secara signifikan.
Seiring dengan volume penjualan yang terbilang tinggi dari tahun ke tahun, laba bersih HM Sampoerna dan Gudang Garam terus mampu membukukan pertumbuhan.
Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa aksi jual yang melanda saham HMSP dan GGRM pada pekan ini terbilang berlebihan (overdone).
Seiring dengan kondisi fundamental perusahaan yang kami rasa masih akan kuat di masa depan, terlepas dari kenaikan tarif cukai rokok sebesar 23% di tahun 2020, harga saham HMSP dan GGRM seharusnya akan bisa bangkit ke level sebelum aksi jual secara besar-besaran pada pekan ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA