
Uji Nyali BI Jilid III: Apa Iya Bunga Acuan Dipangkas Lagi?

Dari dalam negeri, tantangan bagi BI jika ingin mengeksekusi pemangkasan suku bunga acuan lebih lanjut datang dari permasalahan defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) yang kembali mencuat.
Seperti yang sudah disebutkan di halaman satu, surplus neraca dagang pada bulan Agustus berada jauh di bawah ekspektasi. Jika dikombinasikan dengan harga minyak mentah dunia yang saat ini sedang berada di level yang relatif tinggi, kemungkinan bahwa CAD masih akan bengkak pada kuartal III-2019 tentu bukan isapan jempol belaka.
Sekedar mengingatkan, CAD yang bengkak kerap membuat BI ragu dalam mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan lantaran ada kekhawatiran bahwa rupiah akan diterpa tekanan jual yang besar karenanya.
Untuk diketahui, mandat dari BI adalah menjaga kestabilan harga di tanah air. Nah, salah satu tekanan bagi harga bisa datang dari pelemahan nilai tukar rupiah. Kala rupiah melemah, impor bahan baku akan menjadi lebih mahal sehingga bisa mendongkrak harga jual yang harus ditebus oleh konsumen.
Namun begitu, walau cenderung tertekan dalam beberapa hari terakhir, kinerja rupiah semenjak terakhir kali BI memangkas tingkat suku bunga acuan terbilang oke. Terhitung dalam periode 22 Agustus-17 September, rupiah membukukan penguatan sebesar 1,02% melawan dolar AS di pasar spot.
Rupiah berhasil menguat ketika investor asing melakukan aksi jual dengan intensitas yang besar di pasar saham tanah air. Dalam periode 22 Agustus-17 September, investor asing tercatat membukukan jual bersih senilai Rp 5,4 triliun di pasar saham tanah air (pasar reguler).
Aksi beli investor asing di pasar obligasi yang begitu deras sukses mengerek kinerja rupiah. Dalam periode 22 Agustus-16 September, investor asing mencatatkan beli bersih senilai Rp 13,7 triliun di pasar obligasi tanah air.
Walaupun sentimen dari dalam dan luar negeri kurang mendukung, nyatanya investor asing tetap saja melirik pasar surat utang Indonesia. Menariknya yield yang ditawarkan beserta dengan inflasi yang masih terkendali membuat investor asing tertarik untuk membelanjakan dananya di pasar obligasi tanah air.
Pada penutupan perdagangan hari Selasa, yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun berada di level 7,269%. Sementara itu, tingkat inflasi secara tahunan per Agustus 2019 tercatat di level 3,49%. Ada selisih (spread) sebesar 378 bps antara yield dengan inflasi.
Sejatinya, spread tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan nilai pada tahun-tahun sebelumnya. Jika dirata-rata dalam periode 2015-2018, spread antara yield obligasi tenor 10 tahun dengan inflasi adalah sebesar 450 bps.
Tapi, jangan lupakan bahwa Indonesia telah diganjar kenaikan peringkat (rating) surat utang dalam beberapa waktu terakhir. Pada akhir 2017, lembaga pemeringkat kenamaan dunia Fitch Ratings menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia dari BBB- menjadi BBB, menjadikan Indonesia setara dengan Filipina dan Portugal yang telah lebih dulu mendapatkan kenaikan peringkat ke BBB pada pertengahan Desember 2017.
Kemudian pada April 2018, Moody’s memutuskan untuk mengerek peringkat surat utang jangka panjang Indonesia sebanyak 1 tingkat ke level Baa2, dari yang sebelumnya Baa3. Dalam keterangannya tertulisnya, Moody's menyebut bahwa kebijakan fiskal dan moneter yang prudent serta ketahanan sektor finansial membuatnya pihaknya yakin bahwa Indonesia memiliki modal yang cukup dalam menghadapi guncangan-guncangan yang mungkin terjadi.
Teranyar, menjelang libur panjang Idul Fitri tahun 2019, Standard and Poor's (S&P) ikut memutuskan untuk menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia.
"S&P menaikkan peringkat pemerintah Indonesia ke BBB dengan alasan prospek pertumbuhan yang kuat dan kebijakan fiskal yang prudent," tulis S&P dalam keterangan resminya.
Terus membaiknya peringkat surat utang Indonesia merefleksikan menurunnya risiko yang ditanggung investor ketika memegangnya. Akibatnya, hal tersebut menjustifikasi menipisnya spread antara yield obligasi tenor 10 tahun dengan inflasi.
Masih seksinya pasar keuangan Indonesia tersebut mengonfirmasi pernyataan dari BI sendiri. Dalam konferensi pers pasca memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan lalu, BI menyebut bahwa imbal hasil dari aset keuangan di Indonesia masih menarik sehingga dipercayai akan tetap bisa menarik minat investor asing dan mendukung ketahanan stabilitas eksternal.
Kedepannya, pasar obligasi Indonesia rasanya akan tetap menarik jika mengingat inflasi justru diproyeksikan akan melandai dari posisi saat ini. Untuk tahun 2019, pemerintah menargetkan inflasi berada di level 3,1%. Untuk tahun depan, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020, inflasi dipatok di level 3,1% atau sama dengan outlook untuk tahun ini.
Singkat cerita, sejak kali terakhir BI memangkas suku bunga acuan, terlepas dari kondisi dari dalam dan luar negeri yang kurang mendukung, kinerja rupiah masih oke seiring dengan derasnya aliran modal yang masuk ke pasar obligasi.
Hal ini pada akhirnya membuka ruang yang begitu lebar bagi BI untuk kembali mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Apalagi, saat ini perekonomian Indonesia jelas membutuhkan suntikan energi yang salah satunya bisa datang dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan.
Dengan mencermati berbagai perkembangan yang ada, kami meyakini bahwa Gubernur BI Perry Warjiyo dan koleganya di bank sentral akan mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada hari ini, dengan besaran 25 bps.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank)