
Uji Nyali BI Jilid III: Apa Iya Bunga Acuan Dipangkas Lagi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini termasuk pekan yang sibuk bagi pasar keuangan tanah air. Sepanjang pekan ini, pasar saham, pasar obligasi, hingga rupiah diterpa tekanan jual.
Secara total dalam dua perdagangan pertama di pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan utama di Indonesia ambruk 1,55%, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 6,6 basis poin (bps), dan rupiah melemah 0,93% di pasar spot melawan dolar AS.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
IHSG ambruk dalam dua hari perdagangan pertama di pekan ini seiring dengan tekanan begitu besar yang melanda saham-saham emiten produsen rokok. Harga saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) ambruk hingga 16,8% secara total pada tanggal 16 dan 17 September, sementara harga saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) ambruk 20,6% dalam periode yang sama.
Saham-saham emiten produsen rokok dilego pelaku pasar seiring dengan keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23% mulai Januari 2020.
Keputusan tersebut dikemukakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati usai menggelar rapat secara tertutup di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Sri Mulyani mengatakan bahwa dengan kenaikan tarif cukai rokok tersebut, maka harga jual eceran (HJE) pun mengalami kenaikan hingga 35%.
Sementara itu, tekanan bagi rupiah datang dari rilis data perdagangan internasional periode Agustus 2019 oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Sepanjang bulan Agustus, BPS mencatat bahwa ekspor jatuh 9,99% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan kontraksi sebesar 5,7% saja. Sementara itu, impor terkontraksi sebesar 15,6%, juga lebih dalam dibandingkan konsensus yang memperkirakan penurunan sebesar 11,295%. Alhasil, neraca dagang hanya membukukan surplus sebesar US$ 85 juta, jauh lebih kecil dari proyeksi yang sebesar US$ 146 juta.
Surplus neraca dagang yang lebih rendah dari ekspektasi membuat pelaku pasar khawatir bahwa defisit transaksi berjalan/currenct account deficit (CAD) akan terus bengkak di kuartal III-2019.
Pada kuartal I-2019, BI mencatat CAD berada di level 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 2,01% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 3,04% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 3,01% dari PDB.
Ketika CAD tak juga bisa diredam, rupiah memang akan mendapatkan tekanan. Untuk diketahui, transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Pelemahan rupiah pada akhirnya membuat investor asing melego obligasi terbitan pemerintah Indonesia dan mendorong harganya turun (yield naik). Melansir publikasi dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, investor asing membukukan jual bersih atas obligasi terbitan pemerintah Indonesia senilai Rp 1,7 triliun pada tanggal 16 September. Untuk diketahui, data per tanggal 17 September belum dipublikasikan.
Sementara itu, melansir data dari RTI, dalam dua perdagangan pertama di pekan ini investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 1,2 triliun di pasar reguler.
Namun, pelaku pasar belum bisa bernafas lega dulu. Masih ada satu sentimen penting dari dalam negeri yang harus dipantau, yakni hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI).
Kemarin (18/9/2019), BI resmi memulai RDG yang akan berlangsung selama dua hari. Keputusan terkait dengan suku bunga acuan akan diumumkan pada siang hari ini (19/9/2019) pasca RDG selesai digelar.
Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memproyeksikan bank sentral akan memangkas BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 5,25% dalam pertemuan kali ini. Jika benar itu yang terjadi, maka akan menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan selama tiga bulan beruntun. Dalam pertemuan di bulan Juli dan Agustus, BI mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan masing-masing sebesar 25 bps.
Namun begitu, tak semua ekonom yang kami survei memproyeksikan adanya pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Dari 11 ekonom yang kami survei, ada sebanyak tiga yang memproyeksikan tingkat suku bunga acuan akan dipertahankan dalam pertemuan kali ini. Ketiga ekonom tersebut berasal dari CIMB Niaga, Barclays, dan ING.
Jadi, bagaimana kira-kira hasil RDG dari bank sentral?
BERLANJUT KE HALAMAN 2 - > The Fed Pangkas Bunga, Tapi Kirim Sinyal Hawkish
Guna memproyeksikan hasil pertemuan BI, tentu kita perlu mencermati terlebih dahulu hasil pertemuan The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS. Maklum, AS merupakan kiblat perekonomian dunia sehingga arah kebijakan moneter di AS akan sangat menentukan arah kebijakan moneter di negara-negara lain.
Pada dini hari tadi waktu Indonesia, The Fed mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke rentang 1,75%-2%, menandai pemangkasan kedua di tahun ini pasca sebelumnya The Fed juga mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada bulan Juli.
Melansir CNBC International, The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan dengan dasar adanya dampak negatif dari perkembangan ekonomi dunia bagi prospek perekonomian AS, serta rendahnya tekanan inflasi.
Namun, dalam konferensi persnya Jerome Powell selaku Gubernur The Fed menepis ekspetasi pelaku pasar bahwa masih akan ada pemangkasan tingkat suku bunga acuan lagi hingga akhir tahun.
Walau menyebut bahwa pihaknya akan melakukan hal yang diperlukan guna mempertahankan ekspansi ekonomi, dirinya menilai pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan Juli dan hari ini sebagai "penyesuaian di pertengahan siklus/midcycle adjustment" dan bukan merupakan strategi untuk mendorong tingkat suku bunga acuan lebih rendah lagi.
Pernyataan tersebut lantas menegaskan komentar Powell di bulan Juli bahwa The Fed tidaklah sedang memulai era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan.
"Biar saya perjelas: yang saya maksud adalah itu (pemangkasan tingkat suku bunga acuan) bukanlah merupakan awal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif," kata Powell pada bulan Juli silam, dilansir dari CNBC International.
"Kami tak melihat arahnya ke sana (era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan). Anda akan melakukannya jika Anda melihat pelemahan ekonomi yang signifikan dan jika Anda berpikir bahwa federal funds rate perlu dipangkas secara signifikan. Itu bukanlah skenario yang kami lihat."
Sementara itu, berdasarkan dot plot versi terbaru, terlihat bahwa para pejabat The Fed saat ini sedang sangat terpecah: sebanyak lima orang menginginkan tingkat suku bunga acuan dibiarkan berada di level 2%-2,25% hingga akhir tahun, lima orang menginginkan tingkat suku bunga acuan dipertahankan di level saat ini hingga akhir tahun, dan tujuh lainnya menginginkan ada sekali lagi pemangkasan sebesar 25 bps hingga akhir tahun.
Dengan nada hawkish yang keluar dari mulut Jerome Powell, beserta juga dengan dot plot versi terbaru yang sangat kental terasa hawkish, praktis ruang bagi BI untuk kembali memangkas tingkat suku bunga acuan menjadi terbatas.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 - > Walau Masalah CAD Timbul Lagi, Rupiah Tetap Perkasa Lawan Dolar AS
Dari dalam negeri, tantangan bagi BI jika ingin mengeksekusi pemangkasan suku bunga acuan lebih lanjut datang dari permasalahan defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) yang kembali mencuat.
Seperti yang sudah disebutkan di halaman satu, surplus neraca dagang pada bulan Agustus berada jauh di bawah ekspektasi. Jika dikombinasikan dengan harga minyak mentah dunia yang saat ini sedang berada di level yang relatif tinggi, kemungkinan bahwa CAD masih akan bengkak pada kuartal III-2019 tentu bukan isapan jempol belaka.
Sekedar mengingatkan, CAD yang bengkak kerap membuat BI ragu dalam mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan lantaran ada kekhawatiran bahwa rupiah akan diterpa tekanan jual yang besar karenanya.
Untuk diketahui, mandat dari BI adalah menjaga kestabilan harga di tanah air. Nah, salah satu tekanan bagi harga bisa datang dari pelemahan nilai tukar rupiah. Kala rupiah melemah, impor bahan baku akan menjadi lebih mahal sehingga bisa mendongkrak harga jual yang harus ditebus oleh konsumen.
Namun begitu, walau cenderung tertekan dalam beberapa hari terakhir, kinerja rupiah semenjak terakhir kali BI memangkas tingkat suku bunga acuan terbilang oke. Terhitung dalam periode 22 Agustus-17 September, rupiah membukukan penguatan sebesar 1,02% melawan dolar AS di pasar spot.
Rupiah berhasil menguat ketika investor asing melakukan aksi jual dengan intensitas yang besar di pasar saham tanah air. Dalam periode 22 Agustus-17 September, investor asing tercatat membukukan jual bersih senilai Rp 5,4 triliun di pasar saham tanah air (pasar reguler).
Aksi beli investor asing di pasar obligasi yang begitu deras sukses mengerek kinerja rupiah. Dalam periode 22 Agustus-16 September, investor asing mencatatkan beli bersih senilai Rp 13,7 triliun di pasar obligasi tanah air.
Walaupun sentimen dari dalam dan luar negeri kurang mendukung, nyatanya investor asing tetap saja melirik pasar surat utang Indonesia. Menariknya yield yang ditawarkan beserta dengan inflasi yang masih terkendali membuat investor asing tertarik untuk membelanjakan dananya di pasar obligasi tanah air.
Pada penutupan perdagangan hari Selasa, yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun berada di level 7,269%. Sementara itu, tingkat inflasi secara tahunan per Agustus 2019 tercatat di level 3,49%. Ada selisih (spread) sebesar 378 bps antara yield dengan inflasi.
Sejatinya, spread tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan nilai pada tahun-tahun sebelumnya. Jika dirata-rata dalam periode 2015-2018, spread antara yield obligasi tenor 10 tahun dengan inflasi adalah sebesar 450 bps.
Tapi, jangan lupakan bahwa Indonesia telah diganjar kenaikan peringkat (rating) surat utang dalam beberapa waktu terakhir. Pada akhir 2017, lembaga pemeringkat kenamaan dunia Fitch Ratings menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia dari BBB- menjadi BBB, menjadikan Indonesia setara dengan Filipina dan Portugal yang telah lebih dulu mendapatkan kenaikan peringkat ke BBB pada pertengahan Desember 2017.
Kemudian pada April 2018, Moody’s memutuskan untuk mengerek peringkat surat utang jangka panjang Indonesia sebanyak 1 tingkat ke level Baa2, dari yang sebelumnya Baa3. Dalam keterangannya tertulisnya, Moody's menyebut bahwa kebijakan fiskal dan moneter yang prudent serta ketahanan sektor finansial membuatnya pihaknya yakin bahwa Indonesia memiliki modal yang cukup dalam menghadapi guncangan-guncangan yang mungkin terjadi.
Teranyar, menjelang libur panjang Idul Fitri tahun 2019, Standard and Poor's (S&P) ikut memutuskan untuk menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia.
"S&P menaikkan peringkat pemerintah Indonesia ke BBB dengan alasan prospek pertumbuhan yang kuat dan kebijakan fiskal yang prudent," tulis S&P dalam keterangan resminya.
Terus membaiknya peringkat surat utang Indonesia merefleksikan menurunnya risiko yang ditanggung investor ketika memegangnya. Akibatnya, hal tersebut menjustifikasi menipisnya spread antara yield obligasi tenor 10 tahun dengan inflasi.
Masih seksinya pasar keuangan Indonesia tersebut mengonfirmasi pernyataan dari BI sendiri. Dalam konferensi pers pasca memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan lalu, BI menyebut bahwa imbal hasil dari aset keuangan di Indonesia masih menarik sehingga dipercayai akan tetap bisa menarik minat investor asing dan mendukung ketahanan stabilitas eksternal.
Kedepannya, pasar obligasi Indonesia rasanya akan tetap menarik jika mengingat inflasi justru diproyeksikan akan melandai dari posisi saat ini. Untuk tahun 2019, pemerintah menargetkan inflasi berada di level 3,1%. Untuk tahun depan, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020, inflasi dipatok di level 3,1% atau sama dengan outlook untuk tahun ini.
Singkat cerita, sejak kali terakhir BI memangkas suku bunga acuan, terlepas dari kondisi dari dalam dan luar negeri yang kurang mendukung, kinerja rupiah masih oke seiring dengan derasnya aliran modal yang masuk ke pasar obligasi.
Hal ini pada akhirnya membuka ruang yang begitu lebar bagi BI untuk kembali mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Apalagi, saat ini perekonomian Indonesia jelas membutuhkan suntikan energi yang salah satunya bisa datang dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan.
Dengan mencermati berbagai perkembangan yang ada, kami meyakini bahwa Gubernur BI Perry Warjiyo dan koleganya di bank sentral akan mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada hari ini, dengan besaran 25 bps.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Janji Gubernur BI: Suku Bunga Rendah, Likuiditas Melimpah!
