
Dolar AS Perkasa di Asia, Tapi Kalah Lawan Rupiah!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 September 2019 10:48

Apa yang membuat dolar AS begitu perkasa di Asia? Kemungkinan ada hubungannya dengan kegalauan investor yang semakin sulit menerka hasil rapat komite pengambil kebijakan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yang diumumkan Kamis dini hari waktu Indonesia.
Awalnya investor begitu yakin Ketua Jerome 'Jay' Powell dan rekan bakal menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 1,75-2%. Probabilitasnya mencapai 92,3%, berdasarkan CME Fedwatch.
Namun itu kondisi seminggu lalu. Hari ini peluang penurunan Federal Funds Rate ke 1,75-2% tinggal 54,2%.
Mengapa peluangnya bisa turun begitu tajam? Jawabannya terkait dengan inflasi.
Ekspektasi inflasi di Negeri Paman Sam berpeluang meningkat seiring risiko kenaikan harga minyak. Akhir pekan lalu, terjadi serangan di ladang minyak milik Saudi Aramco.
Dampaknya tidak main-main, produksi minyak Arab Saudi berkurang 5,7 juta barel/hari. Jumlah tersebut lebih dari separuh produksi minyak Negeri Gurun Pasir dan sekitar 5% dari total produksi dunia.
Untuk kembali ke kapasitas normal, petinggi Saudi Aramco memperkirakan butuh waktu hitungan minggu, bukan hari. Jadi selama beberapa minggu ke depan, produksi minyak Arab Saudi hilang 5,7 juta barel/hari.
Artinya pasokan minyak ke pasar global bisa berkurang yang membuat harga si emas hitam berpotensi naik. Ini akan menciptakan tekanan inflasi global, termasuk di AS. Bank sentral mana yang mau menurunkan suku bunga saat ekspektasi inflasi sedang tinggi?
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Awalnya investor begitu yakin Ketua Jerome 'Jay' Powell dan rekan bakal menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 1,75-2%. Probabilitasnya mencapai 92,3%, berdasarkan CME Fedwatch.
Namun itu kondisi seminggu lalu. Hari ini peluang penurunan Federal Funds Rate ke 1,75-2% tinggal 54,2%.
![]() |
Mengapa peluangnya bisa turun begitu tajam? Jawabannya terkait dengan inflasi.
Ekspektasi inflasi di Negeri Paman Sam berpeluang meningkat seiring risiko kenaikan harga minyak. Akhir pekan lalu, terjadi serangan di ladang minyak milik Saudi Aramco.
Dampaknya tidak main-main, produksi minyak Arab Saudi berkurang 5,7 juta barel/hari. Jumlah tersebut lebih dari separuh produksi minyak Negeri Gurun Pasir dan sekitar 5% dari total produksi dunia.
Untuk kembali ke kapasitas normal, petinggi Saudi Aramco memperkirakan butuh waktu hitungan minggu, bukan hari. Jadi selama beberapa minggu ke depan, produksi minyak Arab Saudi hilang 5,7 juta barel/hari.
Artinya pasokan minyak ke pasar global bisa berkurang yang membuat harga si emas hitam berpotensi naik. Ini akan menciptakan tekanan inflasi global, termasuk di AS. Bank sentral mana yang mau menurunkan suku bunga saat ekspektasi inflasi sedang tinggi?
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Next Page
Data Ekonomi AS Ternyata Masih Oke
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular