Dolar AS Perkasa di Asia, Tapi Kalah Lawan Rupiah!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 September 2019 10:48
Dolar AS Perkasa di Asia, Tapi Kalah Lawan Rupiah!
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah juga perkasa di hadapan dolar AS di perdagangan pasar spot.

Pada Rabu (18/9/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.080. Rupiah menguat 0,14% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Ini menjadi penguatan pertama rupiah sejak awal pekan. Dalam dua hari perdagangan sebelumnya, rupiah terdepresiasi 1,07% di kurs tengah BI.

 

Sedangkan di pasar spot, rupiah juga terapresiasi. Pada pukul 10:20 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.075 di mana rupiah menguat 0,11%.

Seperti halnya di kurs tengah BI, rupiah juga melemah lumayan dalam selama dua hari terakhir di perdagangan pasar spot. Pelemahan rupiah mencapai 0,93%.

Depresiasi rupiah yang sudah cukup tajam itu membuka peluang terjadinya technical rebound. Rupiah yang sudah murah menjadi menarik untuk dikoleksi. Saat permintaan terhadap rupiah meningkat, nilai tukarnya tentu menguat.


Technical rebound ini mampu menjaga rupiah bertahan di zona hijau sementara mayoritas mata uang utama Asia melemah terhadap dolar AS. Ya, selain rupiah hanya rupee India dan yuan China yang masih mampu menguat.

Seperti halnya rupiah, kebetulan rupee dan yuan juga melemah lumayan dalam selama dua hari terakhir. Rupee melemah 0,87% sementara yuan negatif 0,21%.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:27 WIB:

 

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Apa yang membuat dolar AS begitu perkasa di Asia? Kemungkinan ada hubungannya dengan kegalauan investor yang semakin sulit menerka hasil rapat komite pengambil kebijakan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yang diumumkan Kamis dini hari waktu Indonesia.

Awalnya investor begitu yakin Ketua Jerome 'Jay' Powell dan rekan bakal menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 1,75-2%. Probabilitasnya mencapai 92,3%, berdasarkan CME Fedwatch.

Namun itu kondisi seminggu lalu. Hari ini peluang penurunan Federal Funds Rate ke 1,75-2% tinggal 54,2%.

xCME Fedwatch

Mengapa peluangnya bisa turun begitu tajam? Jawabannya terkait dengan inflasi. 

Ekspektasi inflasi di Negeri Paman Sam berpeluang meningkat seiring risiko kenaikan harga minyak. Akhir pekan lalu, terjadi serangan di ladang minyak milik Saudi Aramco.

Dampaknya tidak main-main, produksi minyak Arab Saudi berkurang 5,7 juta barel/hari. Jumlah tersebut lebih dari separuh produksi minyak Negeri Gurun Pasir dan sekitar 5% dari total produksi dunia.

Untuk kembali ke kapasitas normal, petinggi Saudi Aramco memperkirakan butuh waktu hitungan minggu, bukan hari. Jadi selama beberapa minggu ke depan, produksi minyak Arab Saudi hilang 5,7 juta barel/hari.


Artinya pasokan minyak ke pasar global bisa berkurang yang membuat harga si emas hitam berpotensi naik. Ini akan menciptakan tekanan inflasi global, termasuk di AS. Bank sentral mana yang mau menurunkan suku bunga saat ekspektasi inflasi sedang tinggi?


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Selain itu, ekonomi AS ternyata tidak jelek-jelek amat. Pada Agustus, produksi indutri di Negeri Paman Sam naik 0,6% dibandingkan bulan sebelumnya. Ini menjadi kenaikan bulanan tertinggi sejak Agustus 2018.

Kemudian pembacaan awal angka sentimen konsumen versi University of Michigan pada September adalah 92. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 89,8 dan di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 90,9. Artinya, konsumen di AS masih optimistis menjalani bahtera ekonomi ke depan.

Ada lagi. Pada Agustus, penjualan ritel Negeri Adidaya naik 0,4% dibandingkan bulan sebelumnya. Angka ini di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 0,2% dan lebih baik ketimbang rata-rata selama 1992-2019 yang sebesar 0,36%.

Masih ada lagi nih. Jumlah klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 7 September tercatat 204.000. Turun 15.000 dibandingkan pekan sebelumnya dan menjadi yang terendah sejak pertengahan April.

Data-data tersebut menggambarkan bahwa sebenarnya perekonomian AS masih bergeliat. Permintaan berpotensi untuk meningkat sehingga menimbulkan tekanan inflasi.

Atas dasar pertimbangan inflasi tersebut, maka ada kemungkinan The Fed akan menahan suku bunga acuan di 2-2,25% untuk bulan ini. Kabar ini tentu menjadi suntikan adrenalin bagi dolar AS.

Tanpa penurunan suku bunga acuan, maka berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS tidak terlalu buntung. Permintaan dolar AS meningkat, sehingga nilai tukarnya menguat.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular