
Timur Tengah Panas, Dolar AS Tembus Rp 14.000 Lagi
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 September 2019 08:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Dolar AS sudah tidak lagi di bawah Rp 14.000.
Pada Senin (16/9/2019), US$ 1 setara dengan Rp 13.975 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Seiring perjalanan, rupiah kian melemah. Pada pukul 08:13 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.005 di mana rupiah melemah 0,32%.
Tidak cuma rupiah, hampir seluruh mata uang utama Asia melemah di hadapan dolar AS. Sejauh ini hanya yen Jepang, yuan China, dan ringgit Malaysia yang bisa menguat.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:16:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Hari ini sentimen yang mendominasi arah pasar adalah perkembangan di Timur Tengah. Akhir pekan lalu, fasilitas pengolahan minyak mentah milik Saudi Aramco, raksasa migas asal Arab Saudi, diserang. Lagi-lagi Iran menjadi tersangka utama.
"Ada alasan kami yakin sudah tahu siapa pelakunya. Kami sudah bersiap. Namun kami ingin menunggu kabar dari Inggris mengenai siapa pelakunya dan bagaimana kami harus bertindak!" cuit Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melalui cuitan di Twitter.
"Tidak ada bukti serangan datang dari Yaman. Di tengah upaya penurunan tensi, Iran sekarang meluncurkan serangan terhadap pasokan energi dunia," cuit Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, dalam cuitan di Twitter.
Menurut seorang pejabat Amerika Serikat (AS) yang enggan disebutkan namanya, ada indikasi serangan tersebut menggunakan misil jelajah (cruise missile). Ada 19 titik tumbukan yang membuktikan bahwa misil tersebut diluncurkan dari arah Iran, bukan dari Yaman.
"Tidak diragukan lagi, Iran yang bertanggung jawab atas semua ini. Bagaimanapun Anda berkilah, tidak bisa menghindar lagi. Tidak ada kandidat lain," tegas sang pejabat, seperti diberitakan Reuters.
Teheran tentu tidak terima atas tuduhan tersebut. Abbas Mousavi, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, menyatakan bahwa tudingan AS dan sekutunya tidak berdasar.
Bahkan Iran siap apabila harus berperang dengan AS dan sekutunya. Amarali Hajizadeh, Kepala Staff Angkatan Udara Garda Revolusioner Iran, mengungkapkan pangkalan AS di Timur Tengah masuk dalam jangkauan misil mereka.
"Semua orang harus tahu bahwa seluruh basis pangkalan AS dan kapal induk mereka dalam jarak lebih dari 2.000 km di sekitar Iran masuk dalam cakupan misil kami. Iran selalu siap untuk perang dalam skala penuh," tegasnya, seperti diwartakan Reuters.
AS dan Iran sudah bersiap angkat senjata. Kalau situasi memburuk dan ada pemantik labih lanjut, bukan tidak mungkin Perang Teluk Jilid III bakal meletus.
"Investigasi sedang berlangsung untuk menemukan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam perencanaan dan eksekusi aksi teror ini. Kami akan mengambil langkah yang diperlukan untuk menjaga aset-aset nasional dan memastikan ketahanan energi serta perekonomian global," tegas Kolonel Turki Al Malki, Juru Bicara Koalisi Angkatan Bersenjata Legitimasi Yaman, seperti diberitakan Reuters.
Perang jelas sebuah risiko besar, baik itu terhadap kemanusian, sosial, sampai ekonomi. Dibayangi oleh ancaman konflik bersenjata yang meningkat, investor berbondong-bondong mengamankan diri ke safe haven assets, salah satunya emas. Aset-aset berisiko di negara berkembang tidak menjadi pilihan sehingga rupiah dkk di Asia melemah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Serangan terhadap fasilitas Saudi Aramco membuat harga minyak melonjak. Pada pukul 08:23 WIB, harga minyak jenis brent and light sweet meroket masing-masing 11,49% dan 10,46%.
Bukan apa-apa, fasilitas yang diserang adalah kunci karena menghasilkan 5,7 juta barel/hari. Itu sekitar separuh dari total produksi Arab Saudi.
Menurut seorang sumber, kapasitas produksi sulit untuk kembali optimal dalam waktu dekat. "Untuk kembali ke kapasitas penuh butuh waktu hitungan minggu, bukan hari," ujar seorang sumber, dikutip dari Reuters.
Kenaikan harga minyak juga membawa sentimen negatif bagi rupiah. Indonesia adalah negara net importir minyak, yang mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri belum memadai.
Sepanjang Januari-Juli, ekspor migas Indonesia tercatat US$ 1,6 miliar sementara impornya US$ 1,75 miliar. Tekor US$ 150 juta. Jadi kalau harga minyak naik, maka biaya impor migas bakal semakin mahal. Artinya akan semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk impor migas, membuat tekanan di neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) meningkat.
Saat devisa dari ekspor-impor barang dan jasa seret, maka fondasi penyokong rupiah menjadi rapuh karena bergantung kepada portofolio di sektor keuangan (hot money) yang bisa datang dan pergi sesuka hati.
Oleh karena itu, rupiah akan rentan melemah. Dibayangi risiko depresiasi, rupiah tentu tidak menjadi pilihan. Investor mana yang mau mengoleksi aset yang nilainya bisa melemah sewaktu-waktu?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Senin (16/9/2019), US$ 1 setara dengan Rp 13.975 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Seiring perjalanan, rupiah kian melemah. Pada pukul 08:13 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.005 di mana rupiah melemah 0,32%.
Tidak cuma rupiah, hampir seluruh mata uang utama Asia melemah di hadapan dolar AS. Sejauh ini hanya yen Jepang, yuan China, dan ringgit Malaysia yang bisa menguat.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:16:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Hari ini sentimen yang mendominasi arah pasar adalah perkembangan di Timur Tengah. Akhir pekan lalu, fasilitas pengolahan minyak mentah milik Saudi Aramco, raksasa migas asal Arab Saudi, diserang. Lagi-lagi Iran menjadi tersangka utama.
"Ada alasan kami yakin sudah tahu siapa pelakunya. Kami sudah bersiap. Namun kami ingin menunggu kabar dari Inggris mengenai siapa pelakunya dan bagaimana kami harus bertindak!" cuit Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melalui cuitan di Twitter.
"Tidak ada bukti serangan datang dari Yaman. Di tengah upaya penurunan tensi, Iran sekarang meluncurkan serangan terhadap pasokan energi dunia," cuit Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, dalam cuitan di Twitter.
Menurut seorang pejabat Amerika Serikat (AS) yang enggan disebutkan namanya, ada indikasi serangan tersebut menggunakan misil jelajah (cruise missile). Ada 19 titik tumbukan yang membuktikan bahwa misil tersebut diluncurkan dari arah Iran, bukan dari Yaman.
"Tidak diragukan lagi, Iran yang bertanggung jawab atas semua ini. Bagaimanapun Anda berkilah, tidak bisa menghindar lagi. Tidak ada kandidat lain," tegas sang pejabat, seperti diberitakan Reuters.
Teheran tentu tidak terima atas tuduhan tersebut. Abbas Mousavi, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, menyatakan bahwa tudingan AS dan sekutunya tidak berdasar.
Bahkan Iran siap apabila harus berperang dengan AS dan sekutunya. Amarali Hajizadeh, Kepala Staff Angkatan Udara Garda Revolusioner Iran, mengungkapkan pangkalan AS di Timur Tengah masuk dalam jangkauan misil mereka.
"Semua orang harus tahu bahwa seluruh basis pangkalan AS dan kapal induk mereka dalam jarak lebih dari 2.000 km di sekitar Iran masuk dalam cakupan misil kami. Iran selalu siap untuk perang dalam skala penuh," tegasnya, seperti diwartakan Reuters.
AS dan Iran sudah bersiap angkat senjata. Kalau situasi memburuk dan ada pemantik labih lanjut, bukan tidak mungkin Perang Teluk Jilid III bakal meletus.
"Investigasi sedang berlangsung untuk menemukan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam perencanaan dan eksekusi aksi teror ini. Kami akan mengambil langkah yang diperlukan untuk menjaga aset-aset nasional dan memastikan ketahanan energi serta perekonomian global," tegas Kolonel Turki Al Malki, Juru Bicara Koalisi Angkatan Bersenjata Legitimasi Yaman, seperti diberitakan Reuters.
Perang jelas sebuah risiko besar, baik itu terhadap kemanusian, sosial, sampai ekonomi. Dibayangi oleh ancaman konflik bersenjata yang meningkat, investor berbondong-bondong mengamankan diri ke safe haven assets, salah satunya emas. Aset-aset berisiko di negara berkembang tidak menjadi pilihan sehingga rupiah dkk di Asia melemah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Serangan terhadap fasilitas Saudi Aramco membuat harga minyak melonjak. Pada pukul 08:23 WIB, harga minyak jenis brent and light sweet meroket masing-masing 11,49% dan 10,46%.
Bukan apa-apa, fasilitas yang diserang adalah kunci karena menghasilkan 5,7 juta barel/hari. Itu sekitar separuh dari total produksi Arab Saudi.
Menurut seorang sumber, kapasitas produksi sulit untuk kembali optimal dalam waktu dekat. "Untuk kembali ke kapasitas penuh butuh waktu hitungan minggu, bukan hari," ujar seorang sumber, dikutip dari Reuters.
Kenaikan harga minyak juga membawa sentimen negatif bagi rupiah. Indonesia adalah negara net importir minyak, yang mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri belum memadai.
Sepanjang Januari-Juli, ekspor migas Indonesia tercatat US$ 1,6 miliar sementara impornya US$ 1,75 miliar. Tekor US$ 150 juta. Jadi kalau harga minyak naik, maka biaya impor migas bakal semakin mahal. Artinya akan semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk impor migas, membuat tekanan di neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) meningkat.
Saat devisa dari ekspor-impor barang dan jasa seret, maka fondasi penyokong rupiah menjadi rapuh karena bergantung kepada portofolio di sektor keuangan (hot money) yang bisa datang dan pergi sesuka hati.
Oleh karena itu, rupiah akan rentan melemah. Dibayangi risiko depresiasi, rupiah tentu tidak menjadi pilihan. Investor mana yang mau mengoleksi aset yang nilainya bisa melemah sewaktu-waktu?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular