Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS). Meski tidak pernah mencicipi zona hijau, tapi pelemahan rupiah tipis saja, dan bergerak dalam rentang sempit.
Pada Rabu (11/9/2019), US$ 1 setara dengan Rp 14.055 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah tipis 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kala pembukaan pasar, rupiah melemah tipis 0,04%. Selepas itu rupiah bertahan di zona merah, tetapi depresiasinya sangat terbatas. Gerak rupiah hari ini juga kurang dinamis, santai tanpa fluktuasi yang berlebihan.
Situasi serupa terjadi sejak kemarin. Rupiah seakan malas gerak (mager), rentang pergerakannya begitu terbatas.
Berikut perjalanan kurs rupiah terhadap dolar AS sepanjang hari ini:
Rupiah tidak melemah sendirian, mayoritas mata uang utama Asia jga berada di zona merah. Hingga pukul 16:10 WIB, rupee India menjadi mata uang dengan kinerja terbaik dengan menguat 0,23% disusul dolar Taiwan 0,11%.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hari ini.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sejak pekan lalu, data dari dalam negeri positif bagi rupiah. Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa pada Agustus merupakan yang tertinggi sejak Februari 2018. Kemarin, penjualan ritel pada Juli tercatat naik 2,4% year-on-year (YoY). Membaik dibandingkan Juni yang mengalami kontraksi alias minus 1,8%.
Kemudian untuk penjualan ritel Agustus, BI memperkirakan terjadi pertumbuhan 3,7%. Lebih tinggi dibandingkan Juli, tetapi kalah dibandingkan Agustus 2018 yang mampu tumbuh 6,1%.
Namun penguatan tajam dalam empat hari terakhir, mencapai 1,37%, tentunya memicu aksi ambil untung (profit taking). Apalagi rupiah sempat begitu dekat dengan level 'keramat' 14.000/US$ , tentunya perlu tenaga yang lebih besar untuk mampu menjebolnya.
Bagaimana kelanjutan perang dagang AS-China? Apakah akan terjadi resesi? Bagaimana kebijakan bank sentral global, khususnya bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed)?
Investor tentunya berhati-hati saat pasar dipenuhi ketidakpastian, yang membuat rupiah masih enggan untuk menguat lebih jauh. Ketidakpastian merupakan musuh utama para investor.
Paling dekat, investor tengah menantikan hasil rapat bulanan Bank Sentral Uni Eropa (ECB). Pelaku pasar menantikan arah kebijakan suku bunga dan apakah ECB akan kembali menggelontorkan stimulus berupa pembelian surat-surat berharga (quantitative easing).
Melansir laporan Reuters, para trader melihat adanya probabilitas 72% ECB akan memangkas suku bunga sebesar 20 basis poin (bps). Beberapa analis juga memprediksi bank sentral pimpinan Mario Draghi ini akan kembali mengaktifkan program quantitative easing.
Baik pemangkasan suku bunga maupun quantitative easing memberikan dampak positif ke pasar finansial global. Pertumbuhan ekonomi global diharapkan bisa terpacu lagi dan meredam pelambatan yang terjadi saat ini. Sentimen pelaku pasar tentunya akan semakin membaik, dan di kala sentimen membaik minat terhadap aset berisiko (risk appetite) akan naik. Sebelum bagaimana kebijakan bank sentral global terjawab, rupiah masih sulit untuk bergerak lebih jauh.
TIM RISET CNBC INDONESIA