Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di perdagangan hari ini. Pelemahan ini terlihat wajar mengingat rupiah menguat lebih dari 1% dalam empat hari.
Pada Selasa (10/9/2019), US$ 1 setara dengan Rp 14.045 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,14% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,04%. Selepas itu, gerak rupiah tidak terlalu dinamis. Rupiah memang cenderung melemah, tetapi tipis-tipis saja.
Namun sekira 30 menit menjelang penutupan perdagangan di Tanah Air, rupiah mengalami pelemahan cukup signifikan. Bahkan sempat menyentuh Rp 14.050/US$.
Rupiah tidak sendirian melemah di Asia. Hingga pukul 16:00 WIB peso Filipina menjadi mata uang dengan kinerja terburuk setelah melemah 0,33%, disusul dengan rupee India yang melemah 0,18%.
Kinerja mata uang utama Asia hari ini terbilang variatif, yuan China, ringgit Malaysia, dan won Korea Selatan mampu mencatat penguatan. Sementara beberapa mata uang lainnya stagnan.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hari ini:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Salah satu penyebab depresiasi rupiah mungkin adalah aksi ambil untung (profit taking). Sebelumnya, rupiah sudah menguat empat hari beruntun dan selama periode tersebut apresiasi mata uang Tanah Air mencapai 1,37%.
Namun, pelemahan rupiah terjaga tidak terlalu dalam karena persepsi investor yang membaik terhadap aset-aset berisiko. Kala risk appetite meningkat maka rupiah akan sangat diuntungkan. Sebagai aset negara emerging market rupiah memberikan imbal hasil yang tinggi tentunya akan menarik minat investasi.
Meningkatnya risk appetite investor tidak lepas dari ekspektasi digelontorkannya stimulus moneter dari berbagai negara untuk memacu laju perekonomian. Dimulai dari China, Bank Sentral China (People's Bank of China/PBoC) kembali menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 bps untuk semua bank. Kebijakan ini diperkirakan mampu memompa likuiditas sebanyak CNY 900 miliar dan menurunkan suku bunga kredit perbankan.
Kemudian dari Jepang, pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal II-2019 direvisi turun yang memperkuat spekulasi Bank of Japan (BoJ) akan menggelontorkan stimulus moneter di bulan ini. Jangan lupakan European Central Bank (ECB) dan tentunya bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang juga diprediksi akan memangkas suku bunga acuan.
Terus membaiknya sentimen investor global menjadi penopang utama penguatan rupiah hingga mendekati level 14.000/US$. Terbukti level tersebut memang 'keramat' perlu momentum penguatan yang besar untuk mampu menjebol ke bawah 14.000/US$.
Pada akhir Agustus lalu, Bank Indonesia (BI) menyebut adanya perang dagang antara AS dengan China membuat rupiah sulit langsung menguat ke bawah 14.000/US$. Namun kini harapan akan adanya damai dagang mulai muncul setelah AS-China berencana mengadakan pertemuan pada awal Oktober, sehingga ada peluang rupiah bisa menjebol level tersebut.
Jika persepsi investor terus membaik, apalagi ada potensi gelontoran stimulus moneter dari ECB pada Kamis (12/9/19) nanti, rupiah memiliki peluang cukup besar untuk menjebol 14.000/US$ di pekan ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA