Dunia di Ambang Resesi, Aman Beli Saham Apa ya?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
11 September 2019 16:17
Dunia di Ambang Resesi, Aman Beli Saham Apa ya?
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian dunia saat ini berada di ambang resesi. Di AS yang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, sinyal datangnya resesi disuarakan sendiri oleh pasar obligasinya.

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Terhitung dalam periode 23-29 Agustus 2019, imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun ditutup melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek. 

Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harga. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.



Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.

Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.

Untuk diketahui, berdasarkan model yang digunakan oleh Federal Reserve Bank of New York dengan data per Agustus 2019, probabilitas terjadinya resesi di AS dalam periode 12 bulan ke depan sudah mencapai 37,9%.

Bahkan, Larry Summers selaku Profesor Universitas Harvard dan mantan menteri keuangan AS mengatakan peluang terjadinya resesi sebelum tahun 2021 telah berada di angka hampir 50%.

"Saya belum pernah mendengar hal seburuk ini sejak krisis keuangan," kata Summers mengenai kondisi ekonomi AS dalam sebuah wawancara dengan Wall Street Journal.

Lebih lanjut, Jerman selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar keempat di dunia dan pertama di Benua Eropa juga sedang menuju jurang resesi. Ancaman resesi di Negeri Panser bahkan lebih nyata dari yang dihadapi oleh AS.

Pada kuartal II-2019, pertumbuhan ekonomi Jerman tercatat jatuh sebesar 0,1% secara kuartalan (quarter-on-quarter). Jika di kuartal III-2019 tetap terjadi kontraksi, maka negara pimpinan Kanselir Angela Merkel tersebut akan resmi masuk ke jurang resesi.

Beralih ke Inggris selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar kelima di dunia dan kedua di Benua Eropa, ancaman resesi juga sangat nyata jika sampai No-Deal Brexit terjadi. Untuk diketahui, No-Deal Brexit merupakan kondisi di mana Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun.

Sebelumnya, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson sudah berjanji untuk membawa keluar Inggris dari Uni Eropa selambat-lambatnya pada akhir Oktober, baik dengan atau tanpa kesepakatan sama sekali.

Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa No-Deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Beli Saham Apa?

Lantas, bagaimana dampak resesi ke pasar saham Indonesia?

Ketika resesi di negara-negara dengan nilai perekonomian raksasa terjadi, seiring dengan kontraksi ekonomi yang terjadi di sana, maka permintaan atas produk-produk dari Indonesia juga akan terkontraksi.

Pada akhirnya, penjualan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di tanah air akan tertekan dan membebani laju perekonomian secara keseluruhan.

Resesi terakhir yang di AS terjadi pada tahun 2008. Kala itu, penyaluran kredit properti kepada debitur yang tidak layak (subprime mortgage) tak hanya menyebabkan negara dengan nilai perekonomian di dunia tersebut masuk ke jurang resesi, namun juga menyebabkan perekonomian di berbagai belahan dunia mengalami krisis keuangan atau yang lazim disebut krisis keuangan global. 

Terhitung dalam periode 27 Desember 2007 hingga 5 Maret 2009, indeks S&P 500 yang merupakan salah satu indeks saham acuan utama di AS ambruk hingga 54,43%. Dalam periode yang sama, IHSG ambruk sebesar 52,55%.


Sebenarnya dalam kondisi di mana resesi terjadi, memegang instrumen yang relatif berisiko seperti saham bukan menjadi opsi utama. Emas selaku safe haven akan jauh lebih seksi di mata investor. Dalam periode 27 Desember 2007 hingga 5 Maret 2009, harga emas di pasar spot meroket hingga 13%.

Namun kalau tetap ingin memegang instrumen saham, ada satu saham yang bisa menjadi opsi pelaku pasar, yakni PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR). Dalam periode 27 Desember 2007 hingga 5 Maret 2009 kala IHSG ambruk sebesar 52,55%, harga saham UNVR meroket hingga 22,3%, menjadikannya saham dengan kontribusi positif terbesar bagi IHSG dalam periode tersebut.

Kinclongnya kinerja saham UNVR pada saat resesi dan krisis keuangan global melanda bisa dimaklumi. Pasalnya, UNVR merupakan emiten sektor barang konsumsi yang memang sifatnya defensif (kala perekonomian sedang lesu, tekanan terhadap penjualan perusahaan tak akan sebesar yang dialami perusahaan-perusahaan sektor lain).

Apalagi, produk dari UNVR begitu bervariasi dan sudah menjadi semacam benda wajib bagi masyarakat Indonesia untuk menjalankan kehidupan sehari-harinya. Beberapa produk Unilever di antaranya adalah Pepsodent, Lux, Lifebuoy, Dove, Sunsilk, Clear, Vaseline, Rinso, Molto, Sunlight, Wall's, Blue Band, Royco, dan Bango.

Namun begitu, pelaku pasar patut berhati-hati, jangan sampai sembarang membeli saham konsumer jika resesi benar-benar terjadi. Pasalnya, dari 10 saham dengan kontribusi terbesar bagi IHSG pada saat krisis keuangan global, hanya UNVR yang berasal dari sektor barang konsumsi. 

Hal ini bisa terjadi kemungkinan karena produk dari Unilever lah yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia, sehingga kinerja keuangan perusahaan diharapkan bisa kuat menahan gejolak resesi dan krisis keuangan global.

Saham-saham lain yang masuk dalam daftar tersebut kebanyakan didominasi oleh saham-saham lapis dua dan tiga yang pergerakannya relatif lebih berfluktuatif dan susah untuk diproyeksi.

Pendeknya, jika berkaca kepada sejarah, UNVR bisa jadi merupakan satu-satunya pilihan bagi investor yang ingin memeluk saham pada saat resesi terjadi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular