Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia menguat pada perdagangan Rabu (11/9/19), setelah anjlok dalam empat hari beruntun. Pada pukul 15:30 WIB, emas diperdagangkan di kisaran US$ 1.489,94/troy ons atau menguat 0,3% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Sebelumnya pada hari ini, logam mulia ini sempat menyentuh level US$ 1.494,90/troy ons atau naik 0,63% dibandingkan penutupan perdagangan Selasa kemarin.
Emas mencatat pelemahan dalam empat hari beruntun hingga perdagangan Selasa (10/9/19) kemarin. Pelemahan beruntun tersebut membuat logam mulia ini mencatat kinerja negatif sepanjang bulan September (-2,25%) dan bisa jadi akan mengulangi sejarah dalam delapan tahun terakhir: Emas anjlok di bulan September.
Tekanan terhadap emas mulai muncul sejak pekan lalu setelah persepsi investor terhadap kondisi politik dan finansial global terus membaik.
Meredanya tensi geopolitik di Hong Kong, Italia, dan Inggris menjadi awal tekanan bagi emas. Menyandang status sebagai aset aman (safe haven), emas tentunya sangat diuntungkan jika terjadi gejolak politik di negara-negara yang memiliki pengaruh ke dunia finansial global.
Tekanan bagi emas semakin bertambah setelah Amerika Serikat (AS) dan China akan melakukan perundingan dagang di bulan Oktober. Menurut pernyataan resmi dari Kementerian Perdagangan China, kedua belah pihak akan menggelar konsultasi pada pertengahan bulan ini sebagai bagian dari persiapan negosiasi tatap muka di awal bulan depan.
Berbagai kabar bagus tersebut tentunya memicu aksi ambil untung yang sudah terbang tinggi di tahun ini. Di bulan Agustus saja harga emas sudah naik 6,17%, sementara sepanjang tahun ini lebih dari 15%.
Melihat ke belakang, sejak mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 1.920,30/troy ons pada September 2011, ternyata emas hampir selalu mencatat kinerja negatif di bulan September dalam delapan tahun terakhir.
Setelah mencapai rekor tertinggi sepanjang masa itu, harga emas dunia langsung anjlok hampir 11% di bulan yang sama. Setelahnya pada periode 2011 sampai 2018, emas melemah sebanyak enam kali pada bulan September di masing-masing tahun, dan hanya menguat dua kali.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Emas merupakan logam mulia yang jumlahnya terbatas di bumi ini. Keterbatasan tersebut membuat emas selalu diminati, sehingga permintaannya pasti selalu ada. Namun tidak bisa dipungkiri kenaikan harga emas belakangan ini terbilang cepat, lebih dari 6% dalam sebulan.
Kenaikan cepat tersebut terjadi akibat ekspektasi (jika tidak mau disebut spekulasi) pelaku pasar akan kondisi ekonomi global saat ini, dan kebijakan moneter bank sentral. Kondisi ekonomi global memang sedang melambat, kecemasan akan resesi menjadi wajar, dan emas dijadikan investasi alih risiko, untuk mengamankan kekayaan para investor.
Sementara kebijakan moneter bank sentral, yang juga mempengaruhi harga emas masih belum ada yang tau pasti, hanya sebatas ekspektasi. Pelaku pasar memperkirakan bank sentral di berbagai belahan dunia, termasuk bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan memangkas suku bunga atau menggelontorkan stimulus moneter lainnya, yang membuat pasar dibanjiri likuiditas.
Saat banjir likuiditas inflasi berpotensi naik, dan emas sekali lagi menjadi incaran para pelaku pasar sebagai aset lindung nilai terhadap inflasi.
Khusus The Fed, kebijakannya memangkas suku bunga bisa membuat dolar AS melemah, jika dolar melemah harga emas yang dibanderol mata uang Paman Sam akan menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya, sehingga permintaan akan meningkat
Faktor-faktor tersebut harga emas akhirnya melambung akibat permintaan yang tinggi. Namun, harga yang melambung tinggi juga rentan mengalami koreksi turun tajam jika terjadi sedikit saja perubahan di pasar, misalnya The Fed tidak agresif dalam memangkas suku bunga.
The Fed akan mengumumkan suku bunga pada Kamis (19/9/19) pekan depan waktu Indonesia, dan bisa jadi menentukan arah pergerakan emas selanjutnya.
Memang dalam delapan tahun terakhir, emas hampir selalu melemah di bulan September, tapi beberapa analis memprediksi harga emas masih akan lebih tinggi lagi.
Bank investasi ternama, Goldman Sachs misalnya, pada pertengahan Agustus lalu memprediksi dalam tiga bulan emas akan mencapai level US$ 1,575/troy ons, yang berarti masih lebih tinggi dari rekor tahun ini US$ 1.557/troy ons. Tidak hanya itu, dalam enam bulan Goldman memprediksi harga emas akan menyentuh US$ 1.600/troy ons, sebagaimana dilansir kitco.com.
Kenaikan harga emas yang diprediksi Goldman masih belum seberapa, harga emas diperkirakan mencapai US$ 2.000/troy ons pada akhir tahun ini. Hal ini disampaikan David Roche, Presiden dan ahli strategi global di Independent Strategy yang berbasis di London pada Senin (8/7/2019), sebagaimana dilansir CNBC International.
Masih berdasarkan berita CNBC International pertengahan Agustus lalu, ahli strategi komoditas TD Securities, Daniel Ghali, juga memprediksi emas akan mencapai US$ 2.000/troy ons, namun dalam beberapa tahun ke depan jika para bank sentral menerapkan kebijakan moneter yang tidak biasa (unconventional) seperti quantitative easing. Untuk tahun ini Ghali menargetkan harga emas akan naik ke US$ 1.585/troy ons.
Jadi, berniat untuk beli emas?
TIM RISET CNBC INDONESIA