Newsletter

Sentimen Turunnya Suku Bunga AS dan Eropa Kompak Angkat Pasar

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
10 September 2019 07:28
Sentimen Turunnya Suku Bunga AS dan Eropa Kompak Angkat Pasar
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan kompak menguat di awal pekan ini, Senin (9/9/2019), dan meskipun bukan karena tanggal cantiknya nyatanya pasar saham, pasar obligasi, dan rupiah di pasar valas berhasil ditutup di zona hijau bahkan menjadi macan Asia untuk sehari.

Sentimen penyebab utama dari penguatan tersebut adalah ekspektasi turunnya suku bunga acuan The Fed Fund Rate di Amerika Serikat (AS) dan turunnya suku bunga simpanan (deposit rate) Bank Central Eropa (ECB) yang akan diputus pada Kamis pekan ini.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang dibuka menguat sempat merasakan zona koreksi sesaat setelah pasar dibuka 17 menit. Selanjutnya, investor dan trader saham pantas berjaya karena hingga penutupan pasar indeks acuan tersebut melanggeng dengan apresiasi sebesar 0,31% ke level 6.328,28 pada sesi I.


Selepas jeda makan siang, IHSG melaju tanpa henti di teritori positif hingga ditutup menguat 0,27% ke level 6.326,21 pada 16:15. Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendongkrak kinerja IHSG hari ini di antaranya: PT United Tractors Tbk/UNTR (+8%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (+1,43%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (+1,38%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (+5,51%), dan PT Adaro Energy Tbk/ADRO (+5,99%).

Penguatan dialami enam indeks sektoral, berturut-turut dari mulai sektor tambang (1,65%), infrastruktur (1,16%), perdagangan (1,08%), barang konsumsi (0,91%), industri dasar (0,63%), dan agribisnis (0,19%). Sebaliknya, koreksi dialami sektor aneka industri (-1,06%), keuangan (-0,71%), dan properti (-0,12%). Apresiasi yang dibukukan IHSG pada hari ini menandai penguatan selama 4 hari beruntun.


Menguatnya IHSG ternyata juga ditarik nada sentimen positif yang juga berhembus pada mayoritas bursa utama kawasan Asia dan mampu menguat terlepas dari loyonya data neraca perdagangan internasional China: indeks Nikkei naik 0,56%, indeks Shanghai menguat 0,84%, dan indeks Kospi bertambah 0,52%. 

Kemarin (8/9/2019), ekspor China periode Agustus 2019 diumumkan minus 1% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih buruk dibandingkan konsensus yang memperkirakan masih adanya pertumbuhan 2%, dilansir dari Trading Economics. Sementara itu, impor juga jatuh 5,6% YoY, menandai penurunan selama 4 bulan beruntun meskipun lebih baik dari prediksi pasar -6%.

Untuk diketahui, People's Bank of China (PBOC) selaku bank sentral China sempat terus-menerus melemahkan nilai tukar yuan pada bulan lalu, yakni dengan mematok nilai tengahnya di level yang lebih rendah. Selama ini, PBOC memang punya wewenang untuk menentukan nilai tengah dari yuan setiap harinya.

Nilai tukar yuan di pasar dalam negeri (onshore) kemudian hanya diperbolehkan bergerak dalam rentang 2% (baik itu menguat maupun melemah) dari nilai tengah tersebut, sehingga pergerakannya tak murni dikontrol oleh mekanisme pasar.

Implikasinya, ketika nilai tengah ditetapkan di level yang lebih lemah, yuan akan cenderung melemah di pasar onshore. Diharapkan, pelemahan yuan tersebut akan mendongkrak kinerja ekspor Negeri Panda, namun kenyataannya tidak semudah itu.

Aksi beli dilakukan di bursa saham Benua Kuning seiring dengan rencana gelaran negosiasi dagang AS-China secara tatap muka. Pada pekan lalu, Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa delegasi kedua negara melakukan perbincangan via sambungan telepon.

Perbincangan via sambungan telepon ini melibatkan berbagai tokoh penting seperti Wakil Perdana Menteri China Liu He, Gubernur Bank Sentral China Yi Gang, Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin.

Hasilnya, kedua belah pihak menyepakati gelaran negosiasi dagang secara tatap muka pada awal bulan depan, dilansir dari CNBC International. AS dan China akan menggelar negosiasi tersebut di Washington, D.C. yang merupakan ibu kota dari AS.

Menurut pernyataan resmi dari Kementerian Perdagangan China, kedua belah pihak akan menggelar konsultasi pada pertengahan bulan ini sebagai bagian dari persiapan negosiasi tatap muka di awal bulan depan.

Seperti yang diketahui, hubungan AS dan China kembali memanas pasca pada tanggal 1 September AS resmi memberlakukan bea masuk baru sebesar 15% yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 112 miliar. Pakaian, sepatu, hingga kamera menjadi bagian dari daftar produk yang diincar AS pada kesempatan ini.

Di sisi lain, aksi balasan (retaliasi) dari China berlaku selepas AS bersikeras menerapkan bea masuk baru terhadap Beijing. China mengenakan bea masuk baru yang berkisar antara 5%-10% bagi sebagian produk yang masuk dalam daftar target senilai US$ 75 miliar. Daging babi, daging sapi, dan berbagai produk pertanian lainnya tercatat masuk dalam daftar barang yang menjadi lebih mahal per tanggal 1 September kemarin.

Untuk diketahui, AS masih akan mengenakan bea masuk baru terhadap berbagai produk impor China lainnya pada tanggal 15 Desember. Jika ditotal, nilai barang yang terdampak dari kebijakan AS pada hari ini dan tanggal 15 Desember nanti adalah US$ 300 miliar, dilansir dari CNBC International.

Sementara itu, sisa barang dalam daftar target senilai US$ 75 miliar yang hingga kini belum dikenakan bea masuk baru oleh China, akan mulai terdampak pada tanggal 15 Desember.

Di pasar obligasi, penguatan juga terjadi di tiga dari empat seri acuan utama yaitu seri acuan 5 tahun, 10 tahun, dan 15 tahun, dengan rerata penurunan tingkat imbal hasil (yield) 0,85 bps berdasarkan catatan Refinitiv. Seri acuan lain yaitu FR0079 bertenor 20 tahun masih stagnan hingga penutupan semalam.



Angka yield wajar keluaran PT Penilai Harga Efek Indonesia justru mencatatkan adanya penguatan lumayan besar di mana rerata penurunan yield seri acuan terjadi 5,48 bps. Harga dan yield saling bertolak belakang di pasar sekunder, di mana yield menjadi acuan transaksi perdagangan.

Kemarin, goyangan rupiah menunjukkan kekuatannya di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), sekaligus melanjutkan performa apik sejak pekan lalu. Layaknya pasar saham, mata Uang Garuda sudah menguat empat hari berturut-turut hingga mencapai level terkuat sejak 31 Juli.

Rupiah langsung tancap gas begitu perdagangan dibuka, menguat 0,07% ke level 14.080/US$. Dalam perjalanannya, rupiah tidak sekalipun menyentuh zona merah, meski gasnya sempat mereda ke level 14.090/US$.

Selepas tengah hari, penguatan rupiah sudah tak terbendung lagi hingga menjadikannya mata uang terbaik sekaligus Macan Asia. Bahkan sebelum penutupan perdagangan rupiah sempat menyentuh 14.020/US$, 'tinggal sorong' menuju level "keramat" 14.000/US$.


BERSAMBUNG KE HAL 2
Asa damai dagang AS-China yang kini kembali membuncah sukses memantik aksi beli di pasar saham. Bara yang sedang dikesampingkan pasar atau bahkan diinkubasi sehingga tidak liar hingga hari ini tersebut ditambah ekspektasi adanya penurunan suku bunga acuan di AS serta suku bunga simpanan di Eropa.

Lebih lanjut, aksi beli dilakukan di bursa saham Asia seiring dengan ekspektasi bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan dalam pertemuannya pada pekan depan. Ekspektasi tersebut datang seiring dengan lemahnya pasar tenaga kerja AS.

Pada hari Jumat (6/9/2019), penciptaan lapangan kerja AS (di luar sektor pertanian) periode Agustus 2019 diumumkan sebanyak 130.000 saja, jauh di bawah konsensus yang sebanyak 158.000 dan dari prediksi Trading Economics 151.000 angkatan kerja. Untuk diketahui, pasar tenaga kerja merupakan satu dari dua indikator utama yang dicermati The Fed dalam menentukan keputusan terkait suku bunga acuan, selain juga inflasi.

Berbicara mengenai inflasi, saat ini tingkat inflasi AS berada di level yang rendah. Untuk diketahui, acuan yang digunakan oleh The Fed untuk mengukur tingkat inflasi adalah Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index.

Data teranyar, Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index tercatat tumbuh sebesar 1,6% secara tahunan pada Juli 2019, masih cukup jauh di bawah target The Fed yang sebesar 2%.

Lebih lanjut, Gubernur The Fed Jerome Powell juga mengeluarkan pernyataan bernada dovish yang membuat pelaku pasar kian yakin bahwa bank sentral akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada pertemuan yang akan digelar pekan depan.

Melansir CNBC International, pada hari Jumat kemarin Powell menegaskan bahwa pihaknya akan terus bertindak sebagaimana mestinya (as appropriate) untuk mempertahankan ekspansi ekonomi yang saat ini tengah berlangsung.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures pagi ini probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan minggu depan berada di level 93,5%, naik dari posisi kemarin di 90%.




Sekedar mengingatkan, The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps dalam pertemuannya pada bulan Juli, menandai pemangkasan pertama sejak tahun 2008 silam.

Pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut diharapkan akan bisa menghindarkan perekonomian AS dari yang namanya hard landing, istilah untuk menyebut perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

Dengan adanya pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian AS akan berputar lebih kencang.

Bukan hanya hard landing, pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut diharapkan bisa menghindarkan perekonomian AS dari resesi. Sinyal datangnya resesi di AS sebelumnya disuarakan sendiri oleh pasar obligasinya.

Terhitung dalam periode 23-29 Agustus 2019, yield obligasi AS tenor 2 tahun ditutup melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Beralih ke Negeri Trump, Penantian pasar akan pengumuman suku bunga bank-bank sentral dunia, membuat Wall Street bergerak datar setelah dibuka menguat pada awal sesi perdagangan pagi.

Indeks Dow Jones naik 38,05 poin atau 0,14% ke 26.835,51 dan S&P 500 turun 0,28 poin atau 0,01% ke 2.978,43. Kejatuhan terjadi pada indeks Nasdaq yang kaya akan perusahaan teknologi, dengan koreksi 15,64 poin atau 0,19% ke 8.807,44.

"Pasar menyerap keuntungan dari minggu lalu, dan ... sedang menunggu dan melihat mengenai pertemuan Bank Sentral Eropa," kata Quincy Krosby, kepala strategi pasar di Prudential Financial di Newark, New Jersey sebagaimana dikutip dari Reuters.

Hal senada juga diutarakan Art Hogan, Kepala Strategi Pasar di National Securities. "Investor sedang wait and see. Ini tentang dua minggu penuh keuntungan dan mereka tidak sedang memikirkan (keuntungan) itu lagi," katanya sebagaimana dilansir AFP.

Minggu ini, Bank Sentral Eropa (ECB) diperkirakan akan memperkenalkan langkah-langkah stimulus baru pada pertemuan pada hari Kamis (12/9/2019).

Pekan lalu kenaikan saham sebagian besar dikarenakan kekhawatiran tentang negosiasi perdagangan AS-China.

Sementara itu, Senin kemarin, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan ia tidak melihat ancaman resesi karena pemerintahan Trump berusaha untuk menghidupkan kembali negosiasi perdagangan dengan China. Ia yakin akan ada pertumbuhan positif untuk ekonomi AS ke depan.


BERSAMBUNG KE HAL 3
Pertama, flat-nya perdagangan di bursa saham AS atau Wall Street membuat pasar saham Asia dapat limbung pergerakannya di awal pagi ini karena kurang punya pijakan untuk menguat lebih kencang daripada kemarin.

Kedua, data inflasi China yang akan dirilis pagi ini tentu akan sangat krusial karena dapat menentukan arah setidaknya bagi indeks Indeks Shanghai di China yang besar kemungkinan meluas ke negara Benua Kuning lainnya. Prediksi pasar yang serupa dengan prediksi Trading Economics menunjukkan inflasi YoY akan berada pada 2,6% sedangkan secara MoM akan sebesar 0,5%.

Ketiga, Rapat Bank Sentral Eropa (ECB) pada Kamis nanti diharapkan pelaku pasar akan segera memangkas suku bunga simpanan (deposit rate) sebesar 10 basis poin (bps) menjadi -0,5%. Selain itu, bank sentral Benua Biru juga diharapkan dapat memutuskan untuk menjalankan quantitative easing (QE) dengan aksi membeli aset senilai 30 miliar euro per bulan mulai Oktober nanti.

Keempat, data persediaan minyak mentah AS. Jika penurunan lebih besar daripada prediksi konsensus Trading Economics 2,6 juta barel, maka harga minyak dapat terkerek naik.

Keempat, masih dari data perdagangan dan inflasi. Pelaku pasar masih akan memantau agenda inflasi dan Jerman, Prancis, dan AS serta neraca perdagangan Uni Eropa.


BERSAMBUNG KE HAL 4 Selasa, 10 September
Data penjualan ritel, Indonesia. 17:00.
Inflasi, China. 08:30.
Data persediaan minyak mentah, AS. 15:30.


Rabu, 11 September
RUPS PT Bank BTPN Tbk (BTPN) 10:00.
RUPS PT Wahana Interfood Nusantara Tbk (COCO) 10:00.
RUPS PT Mitra Komunikasi Nusantara Tbk (MKNT) 14:00.


Kamis, 12 September
Inflasi, Jerman. 13:00
Inflasi, Perancis. 13:45.
Suku bunga acuan, Uni Eropa. 16:45.
Inflasi, AS. 19:30.


Jumat, 13 September
Data investasi asing langsung (FDI), China. 14:00.
Neraca perdagangan, Uni Eropa. 16:00.

Allotment IPO PT Telefast Indonesia Tbk (TFAS).
Cum dividen bonus PT Asuransi Sinarmas MSIG Tbk (LIFE) 16:15.



Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q2-2019 YoY)

5,05%

Inflasi (Agustus 2019 YoY)

3,49%

BI 7-Day Reverse Repo Rate (Agustus 2019)

5,5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Q2-2019)

-3,04% PDB

Neraca pembayaran (Q2-2019)

-US$ 1,98 miliar

Cadangan devisa (Agustus 2019)

US$ 126,4 miliar

 




TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular