Saham Kapitalisasi Rp 100 T

TLKM Terkoreksi Dalam, Tapi Kokoh Menempel BBCA & BBRI

Yazid Muamar, CNBC Indonesia
09 September 2019 18:53
Dari total 648 emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI), hanya terdapat 11 emiten yang memiliki kapitalisasi pasar Rp 100 triliun.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Dari total 648 emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI), hanya terdapat 11 emiten yang memiliki kapitalisasi pasar (market capitalization/market cap) atau big cap di atas Rp 100 triliun.

Data BEI mencatat, dari kelompok market cap ini, sepanjang pekan lalu, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) menjadi emiten yang kinerja sahamnya paling parah penurunannya dibandingkan emiten-emiten lain di kelompok ini.

Saham telkom mengalami koreksi kinerja sebesar 5,39%. Kapitalisasi pasarnya pun amblas hingga Rp 23,78 triliun menjadi Rp 417,05 triliun.

Meskipun kapitalisasinya turun, namun posisi induk usaha Telkomsel ini masih kokoh menyandang level sebagai emiten pemilik kapitalisasi pasar terbesar ketiga di BEI dengan bobot 5,79% dari IHSG.

Saham telkom memang mendapat tekanan jual cukup besar sepanjang pekan lalu, karena kenaikannya yang stabil di tengah koreksi saham big cap lainnya.

Dalam 3 bulan terakhir, saham Telkom menguat 5,69%, sedangkan sejak awal tahun kinerjanya masih positif 13,87%. Selain itu, asing cukup deras melepas saham tersebut dengan jual bersih (net sell) senilai Rp 389 miliar di pasar reguler.

Untuk posisi pertama masih ditempati oleh PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp 742,73 triliun. Market cap anak usaha Grup Djarum tersebut turun 1,23% menjadi Rp 742,73 triliun dengan bobot setara 10,2% dari IHSG.

Adapun PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) masih berada di peringkat kedua dengan kapitalisasi Rp 526,69 triliun dengan bobot setara 7,24% dari IHSG. Emiten bank pelat merah tersebut tidak mengalami perubahan harga saham alias stagnan dibandingkan harga penutupan minggu sebelumnya.





Pada awal pekan lalu, koreksi IHSG begitu dalam yang berlanjut pada penurunan hari berikutnya karena babak lanjutan perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China sudah dimulai.

Per 1 September, AS mengenakan bea masuk 15% bagi importasi produk China senilai US$ 125 miliar, di antaranya berlaku bagi produk pengeras suara (speaker), headphone, sampai pakaian.

Gelombang kedua bea masuk 15% akan berlaku mulai 15 Desember, yang mencakup impor produk China senilai US$ 156 miliar dari mulai alat makan plastik, kaus kaki, lampu LED, sampai dekorasi untuk keperluan Hari Natal.

Sementara China membalas dengan memberlakukan bea masuk 5-10% untuk importasi produk AS senilai US$ 75 miliar. Selain itu, ada kenaikan bea masuk untuk produk yang selama ini sudah menjadi 'korban', misalnya kedelai (dari 25% naik menjadi 30%).

Situasi semakin pelik kala China mengadukan AS ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Menurut Beijing, kebijakan Washington telah berdampak kepada ekspor senilai US$ 300 miliar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

 


(yam/tas) Next Article Kinerja Saham Ambles, Market Cap Telkom Disalip Bank Mandiri

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular