
Perang Dagang AS-China, Moody's: Siapa Lebih Menderita?
Houtmand P Saragih & Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
09 September 2019 12:25

Riset yang dilakukan oleh Moody’s Analytics menitikberatkan kerugian yang dialami oleh AS atas perang dagang dengan China. Namun, bukan berarti China dan ekonomi kawasan Asia Pasifik tidak tersakiti.
Pengenaan tarif baru tidak akan menyakiti ekonomi Asia separah pemberlakuan bea masuk sebelumnya. Hal ini dikarenakan rantai pasokan untuk produk akhir tidak terlalu kompleks jika dibandingkan dengan bang setengah jadi.
Bahkan babak tarif baru bisa menjadi hal positif bagi negara-negara dengan biaya produksi rendah, seperti Asia Tenggara.
Dampak positif tersebut sudah dapat terlihat dari data Bank Dunia (World Bank) yang mencatat relokasi 33 pabrik China ke Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
Di lain pihak, bila mencermati friksi dagang yang terjadi saat ini, terlihat bahwa Beijing masih belum all in (maksimal) dalam melakukan aksi retaliasi atas perlakuan Washington.
Hingga detik ini, pemerintahan Xi Jinping masih belum merilis ‘daftar entitas yang tidak dapat diandalkan’ yang akan mengecualikan perusahaan AS untuk berbisnis dengan perusahaan China.
Padahal, Departemen Perdagangan AS telah merilis daftar hitam tersebut, dan memasukkan perusahaan teknologi raksasa milik Negeri Panda, yakni Huawei.
Selain itu, ancaman lain yang bisa diberikan China adalah dengan membatasi ekspor rare earth (tanah jarang) ke AS.
Sebagai informasi, tanah jarang merupakan komponen yang sangat penting dalam membuat berbagai macam produk, seperti baterai. Tanah jarang merupakan salah satu poduk impor China yang mendapat pengecualian bea masuk oleh AS, dimana pada tahun 2018, Negeri Panda menyumbang 60% dari impor tanah jarang oleh AS.
Dengan demikian, dapat disimpulkan perang dagang AS dan China akan lebih banyak menekan ekonomi AS, di mana China masih dapat bertahan dengan membangun alternatif rantai pasokan global terutama di wilayah Asia Tenggara.
TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa)
Pengenaan tarif baru tidak akan menyakiti ekonomi Asia separah pemberlakuan bea masuk sebelumnya. Hal ini dikarenakan rantai pasokan untuk produk akhir tidak terlalu kompleks jika dibandingkan dengan bang setengah jadi.
Bahkan babak tarif baru bisa menjadi hal positif bagi negara-negara dengan biaya produksi rendah, seperti Asia Tenggara.
Di lain pihak, bila mencermati friksi dagang yang terjadi saat ini, terlihat bahwa Beijing masih belum all in (maksimal) dalam melakukan aksi retaliasi atas perlakuan Washington.
Hingga detik ini, pemerintahan Xi Jinping masih belum merilis ‘daftar entitas yang tidak dapat diandalkan’ yang akan mengecualikan perusahaan AS untuk berbisnis dengan perusahaan China.
Padahal, Departemen Perdagangan AS telah merilis daftar hitam tersebut, dan memasukkan perusahaan teknologi raksasa milik Negeri Panda, yakni Huawei.
Selain itu, ancaman lain yang bisa diberikan China adalah dengan membatasi ekspor rare earth (tanah jarang) ke AS.
Sebagai informasi, tanah jarang merupakan komponen yang sangat penting dalam membuat berbagai macam produk, seperti baterai. Tanah jarang merupakan salah satu poduk impor China yang mendapat pengecualian bea masuk oleh AS, dimana pada tahun 2018, Negeri Panda menyumbang 60% dari impor tanah jarang oleh AS.
Dengan demikian, dapat disimpulkan perang dagang AS dan China akan lebih banyak menekan ekonomi AS, di mana China masih dapat bertahan dengan membangun alternatif rantai pasokan global terutama di wilayah Asia Tenggara.
TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa)
Pages
Most Popular