Perang Dagang AS-China, Moody's: Siapa Lebih Menderita?

Houtmand P Saragih & Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
09 September 2019 12:25
Perang Dagang AS-China, Moody's: Siapa Lebih Menderita?
Foto: Infografis/ Kronologi perang dagang AS-China belum temukan titik terang/Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Moody's Analytics dalam riset berjudul "Living in The Tail Risk" yang rilis pada bulan Agustus menyampaikan bahwa perang dagang akan meberikan dampak lebih buruk ke Amerika Serikat (AS) ketimbang China.

Padahal, beberapa kali Presiden AS Donald Trump dengan percaya diri menyampaikan bahwa Beijing akan menyerah karena mengalami kerugian yang lebih besar dari friksi dagang antar kedua negara tersebut.

Melansir riset Moody's Analytics babak baru pengenaan tarif tambahan yang menyerang total US$ 300 miliar produk impor asal China mayoritas merupakan produk akhir (barang konsumsi). Dimana kenaikan tarif tersebut akan memaksa perusahaan AS menaikkan harga jual produk.

Moody's: Friksi Dagang AS-China, Siapa Jawaranya?Foto: CNBC Indonesia


Dari gambar di atas terlihat bahwa mayoritas tarif yang awalnya dikenakan pada produk China senilai US$ 250 miliar merupakan barang modal atau barang setengah jadi. Jadi, pengenaan bea masuk dapat dikelola oleh pelaku industri dengan memotong marjin mereka.

Akan tetapi, untuk babak awal tarif yang dimulai per 1 September lalu dan sisanya pad 15 Desember, terlihat bahwa mayoritas merupakan produk akhir. Alhasil, beban dari pengenaan bea masuk akan secara langsung menyakiti konsumen AS yang berujung pada kenaikan inflasi dan melemahnya indeks kepercayaan konsumen (IKK).

Padahal, saat ini, pengeluaran konsumen adalah pendorong utama ekonomi AS. Jika pengeluaran konsumen tersendat, maka peluang resesi dalam 12-18 bulan dapat naik secara signifikan.

Bahkan Moody's Analytics dalam riset lain berjudul "The Ebb and Flow of Free Trade" menyampaikan bahwa andai per 15 Desember nanti Washington akan mengenakan tarif pada sisa produk impor asal China, maka tidak akan butuh waktu lama bagi Negeri Paman Sam untuk kembali ke masa kelam di periode 1930, yakni "The Great Depression (Depresi Besar)."

Untuk diketahui, saat periode 'Depresi Besar', AS juga mengambil sikap protektif atas industrinya melawan produk asal Eropa dengan pengenaan tarif hingga 20%.

(BERLANJUT KE HALAMAN DUA)
Riset yang dilakukan oleh Moody’s Analytics menitikberatkan kerugian yang dialami oleh AS atas perang dagang dengan China. Namun, bukan berarti China dan ekonomi kawasan Asia Pasifik tidak tersakiti.

Pengenaan tarif baru tidak akan menyakiti ekonomi Asia separah pemberlakuan bea masuk sebelumnya. Hal ini dikarenakan rantai pasokan untuk produk akhir tidak terlalu kompleks jika dibandingkan dengan bang setengah jadi.

Bahkan babak tarif baru bisa menjadi hal positif bagi negara-negara dengan biaya produksi rendah, seperti Asia Tenggara.

Dampak positif tersebut sudah dapat terlihat dari data Bank Dunia (World Bank) yang mencatat relokasi 33 pabrik China ke Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja.

Di lain pihak, bila mencermati friksi dagang yang terjadi saat ini, terlihat bahwa Beijing masih belum all in (maksimal) dalam melakukan aksi retaliasi atas perlakuan Washington.

Hingga detik ini, pemerintahan Xi Jinping masih belum merilis ‘daftar entitas yang tidak dapat diandalkan’ yang akan mengecualikan perusahaan AS untuk berbisnis dengan perusahaan China.

Padahal, Departemen Perdagangan AS telah merilis daftar hitam tersebut, dan memasukkan perusahaan teknologi raksasa milik Negeri Panda, yakni Huawei.

Selain itu, ancaman lain yang bisa diberikan China adalah dengan membatasi ekspor rare earth (tanah jarang) ke AS.

Sebagai informasi, tanah jarang merupakan komponen yang sangat penting dalam membuat berbagai macam produk, seperti baterai. Tanah jarang merupakan salah satu poduk impor China yang mendapat pengecualian bea masuk oleh AS, dimana pada tahun 2018, Negeri Panda menyumbang 60% dari impor tanah jarang oleh AS.

Dengan demikian, dapat disimpulkan perang dagang AS dan China akan lebih banyak menekan ekonomi AS, di mana China masih dapat bertahan dengan membangun alternatif rantai pasokan global terutama di wilayah Asia Tenggara.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular