Dijepit China dan AS, Rupiah Cuma Bisa Menguat Tipis

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 September 2019 10:38
Dijepit China dan AS, Rupiah Cuma Bisa Menguat Tipis
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah sudah menguat selama tiga hari berturut-turut.

Pada Senin (9/9/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.092. Rupiah menguat 0,34% dibandingkan posisi akhir pekan lalu sekaligus menjadi yang terkuat sejak 31 Juli.

Tidak cuma itu, rupiah juga ternyata sudah menguat selama tiga hari beruntun di kurs tengah BI. Selama periode tersebut, penguatan rupiah mencapai 0,89%.



Sedangkan di pasar spot, rupiah juga berhasil 'menjinakkan' dolar AS. Pada pukul 10:13 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.080 di mana rupiah menguat 0,07%.


Namun rupiah tetap harus waspada. Sebab apresiasi mata uang Tanah Air tipis saja, ditambah lagi para tetangganya juga masih bergerak variatif. Belum ada pola penguatan mata uang di Asia.

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:15 WIB:



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sentimen yang beredar di pasar hari ini memang agak mixed. Di satu sisi, data-data ekonomi yang dirilis di China dan AS akhir pekan lalu tidak menggembirakan.

Pada Agustus, ekspor China turun 1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/YoY). Lebih buruk dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan naik 2% YoY. Apalagi kalau dibandingkan Juli yang tumbuh 3,3% YoY.



Sementara di AS, penciptaan lapangan kerja pada Agustus tercatat 130.000. Lebih sedikit ketimbang konsensus yang dihimpun Reuters yaitu 158.000. Angka 130.00 juga lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 159.000.



Dua data ini semakin membuat investor yakin bahwa perlambatan ekonomi global tidak bisa dihindari lagi. Prospek ekonomi yang suram membuat pelaku pasar enggan bermain terlalu agresif, yang membuat instrumen berisiko di negara-negara berkembang kurang diminti.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Namun di sisi lain, perlambatan ekonomi di AS dan China juga semakin membuat pasar yakin bahwa bank sentral kedua negara akan terus melanjutkan kebijakan moneter longgar untuk menggenjot pertumbuhan. Bank Sentral China (PBoC) sudah memutuskan kembali menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 bps untuk semua bank. Kebijakan ini diperkirakan mampu memompa likuiditas sebanyak CNY 900 miliar dan menurunkan suku bunga kredit perbankan.


Sedangkan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) memang baru melaksanakan rapat pada 18 September. Namun aura penurunan suku bunga acuan sudah begitu terasa.

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1,75-2% pada rapat The Fed 18 September mencapai 91,2%. Naik dibandingkan posisi akhir pekan lalu yaitu 90%.

xFoto: CME Fedwatch

Stimulus moneter dan PBoC dan The Fed diharapkan mampu meredam perlambatan, setidaknya kalau pertumbuhan ekonomi China dan AS melambat tidak sampai parah-parah amat lah. Ini membuat pelaku pasar juga tidak mau terlalu bermain aman, masih ada sedikit risk appetite.

Oleh karena sentimen yang bertabrakan ini, mata uang Asia bergerak bimbang. Belum ada tren yang terbentuk, apakah itu menguat atau melemah. Untungnya rupiah masih bisa menguat meski tipis saja.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular