
Asing Ramai Net Sell, RI Dinilai Masih Aman dari Resesi
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
05 September 2019 14:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia dinilai masih aman dari ancaman resesi ekonomi global, namun harus tetap waspada dan menyiapkan langkah antisipasi lebih dini. Memperkuat laju pertumbuhan ekonomi domestik menjadi kunci menghadapi resesi.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan Indonesia masih relatif aman dari ancaman resesi. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap terjaga di level 5% yang ditopang oleh pasar domestik di tengah perlambatan ekonomi global.
"Tantangan bagi kita sesungguhnya bukan menghindari resesi tetapi bagaimana memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Jauh lebih tinggi dari 5 persen," kata Piter, kepada CNBC Indonesia, Kamis (5/9/2019).
Dia menambahkan, saat ini ekonomi global memang mengalami perlambatan namun belum mengalami resesi karena masih tumbuh positif.
Resesi akan terjadi jika terjadi penurunan yang signifikan dari aktivitas ekonomi secara umum di suatu negara. Indikatornya bisa dilihat dari penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) minimal dua kuartal berturut-turut, diiringi dengan pemburukan indikator makro seperti meningkatnya pengangguran.
Mantan ekonom senior Bank Indonesia itu menyebutkan, untuk mengantisipasi terjadinya resesi, diperlukan koordinasi khususnya pemerintah dan Bank Indonesia menstimulus perekonomian melalui kebijakan fiskal dan pelonggaran kebijakan moneter. Kebijakan itu juga didukung kebijakan sektor riil yang lebih kondusif seperti perbaikan regulasi bagi iklim investasi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya telah mewanti-wanti mengenai resesi ekonomi global buntut dari berlanjutnya konflik dagang antara Amerika Serikat dan China.
Sejumlah negara sudah merasakan dampak resesi itu melalui pelemahan mata uang di sejumlah negara seperti yuan China dan peso Argentina.
Meminjam istilah Kepala Negara, langkah antisipatif itu dimetaforkan seperti payung; agar Indonesia tidak kehujanan kala hujan besar datang maupun di kala gerimis juga tidak kebasahan.
"Kita harapkan langkah antisipatif sudah benar-benar konkret kita siapkan dan berharap, perlambatan pertumbuhan ekonomi dan dampak dari resesi bisa kita hindarkan," kata Presiden Jokowi di Istana Negara, Rabu kemarin (4/9/2019).
Sementara itu, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menyoroti tiga aspek penting menangkal resesi global melalui stimulus fiskal, mendorong investasi jangka panjang, dan percepatan reformasi birokrasi.
Bhima mencermati, saat ini yang menjadi penyebab relokasi investasi investor dari China ke negara ASEAN lainnya, termasuk investor lebih memilih Vietnam ketimbang Indonesia, karena dari sisi perizinan yang lebih mudah dan terintegrasi antara pusat dan daerah.
Faktanya, di Indonesia, saat ini meski sudah ada online single submission (OSS), namun kendala investasi sering terhambat di tingkat daerah mengenai ijin wilayah.
"Jangan heran relokasi industri di tengah isu resesi justru ke Vietnam bukan ke Indonesia, karena izin gampang diurus," kata Bhima saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (5/9/2019).
Strategi selanjutnya yang harus dilakukan, lanjut Bhima adalah penajaman insentif yang saat ini sudah ada agar lebih tepat sasaran.
Dia menilai, Indonesia meski sudah memiliki sejumlah insentif seperti tax holiday dan tax allowances, belum tentu menarik bagi investor. Misalnya, investor di sektor tekstil lebih memilih insentif diskon tarif listrik di jam sibuk atau keringanan bea masuk untuk pengadaan mesin baru.
LANJUT HALAMAN 2: Aliran Modal Asing
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, di tengah ancaman resesi global, arus modal asing juga tercatat seret. Sepanjang tahun berjalan hingga 4 September kemarin, investor asing memang masih membukukan aksi beli bersih (net buy) mencapai RP 53,78 triliun di bursa saham domestik.
Akan tetapi, pada Agustus saja investor asing mencatatkan aksi jual bersih (net sell) hinga Rp 9,7 triliun.
Situasi yang sama juga terlihat di pasar obligasi pemerintah. Melansir data Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko Kementerian Keuangan, kepemilikan investor asing sepanjang bulan Agustus turun Rp 9,37 triliun dari Rp 1.018,9 triliun menjadi Rp 1.009,6 triliun.
Jadi total dana asing yang keluar di pasar saham dan obligasi mencapai Rp 19,07 triliun. Tidak heran rupiah melemah nyaris 1% terhadap dolar AS sepanjang bulan lalu karena kekurangan 'darah'.
(tas) Next Article Asing Keluar Rp 1,8 T, IHSG Terpuruk Hampir 2%
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan Indonesia masih relatif aman dari ancaman resesi. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap terjaga di level 5% yang ditopang oleh pasar domestik di tengah perlambatan ekonomi global.
"Tantangan bagi kita sesungguhnya bukan menghindari resesi tetapi bagaimana memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Jauh lebih tinggi dari 5 persen," kata Piter, kepada CNBC Indonesia, Kamis (5/9/2019).
Resesi akan terjadi jika terjadi penurunan yang signifikan dari aktivitas ekonomi secara umum di suatu negara. Indikatornya bisa dilihat dari penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) minimal dua kuartal berturut-turut, diiringi dengan pemburukan indikator makro seperti meningkatnya pengangguran.
Mantan ekonom senior Bank Indonesia itu menyebutkan, untuk mengantisipasi terjadinya resesi, diperlukan koordinasi khususnya pemerintah dan Bank Indonesia menstimulus perekonomian melalui kebijakan fiskal dan pelonggaran kebijakan moneter. Kebijakan itu juga didukung kebijakan sektor riil yang lebih kondusif seperti perbaikan regulasi bagi iklim investasi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya telah mewanti-wanti mengenai resesi ekonomi global buntut dari berlanjutnya konflik dagang antara Amerika Serikat dan China.
Sejumlah negara sudah merasakan dampak resesi itu melalui pelemahan mata uang di sejumlah negara seperti yuan China dan peso Argentina.
Meminjam istilah Kepala Negara, langkah antisipatif itu dimetaforkan seperti payung; agar Indonesia tidak kehujanan kala hujan besar datang maupun di kala gerimis juga tidak kebasahan.
"Kita harapkan langkah antisipatif sudah benar-benar konkret kita siapkan dan berharap, perlambatan pertumbuhan ekonomi dan dampak dari resesi bisa kita hindarkan," kata Presiden Jokowi di Istana Negara, Rabu kemarin (4/9/2019).
Sementara itu, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menyoroti tiga aspek penting menangkal resesi global melalui stimulus fiskal, mendorong investasi jangka panjang, dan percepatan reformasi birokrasi.
Bhima mencermati, saat ini yang menjadi penyebab relokasi investasi investor dari China ke negara ASEAN lainnya, termasuk investor lebih memilih Vietnam ketimbang Indonesia, karena dari sisi perizinan yang lebih mudah dan terintegrasi antara pusat dan daerah.
Faktanya, di Indonesia, saat ini meski sudah ada online single submission (OSS), namun kendala investasi sering terhambat di tingkat daerah mengenai ijin wilayah.
"Jangan heran relokasi industri di tengah isu resesi justru ke Vietnam bukan ke Indonesia, karena izin gampang diurus," kata Bhima saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (5/9/2019).
Strategi selanjutnya yang harus dilakukan, lanjut Bhima adalah penajaman insentif yang saat ini sudah ada agar lebih tepat sasaran.
Dia menilai, Indonesia meski sudah memiliki sejumlah insentif seperti tax holiday dan tax allowances, belum tentu menarik bagi investor. Misalnya, investor di sektor tekstil lebih memilih insentif diskon tarif listrik di jam sibuk atau keringanan bea masuk untuk pengadaan mesin baru.
LANJUT HALAMAN 2: Aliran Modal Asing
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, di tengah ancaman resesi global, arus modal asing juga tercatat seret. Sepanjang tahun berjalan hingga 4 September kemarin, investor asing memang masih membukukan aksi beli bersih (net buy) mencapai RP 53,78 triliun di bursa saham domestik.
Akan tetapi, pada Agustus saja investor asing mencatatkan aksi jual bersih (net sell) hinga Rp 9,7 triliun.
Situasi yang sama juga terlihat di pasar obligasi pemerintah. Melansir data Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko Kementerian Keuangan, kepemilikan investor asing sepanjang bulan Agustus turun Rp 9,37 triliun dari Rp 1.018,9 triliun menjadi Rp 1.009,6 triliun.
Jadi total dana asing yang keluar di pasar saham dan obligasi mencapai Rp 19,07 triliun. Tidak heran rupiah melemah nyaris 1% terhadap dolar AS sepanjang bulan lalu karena kekurangan 'darah'.
Friksi dagang AS dan China yang alot bahkan cenderung tereskalasi membuat investor asing perlahan kabur dari pasar keuangan Tanah Air. Sentimen ini menjadi pemeran utama yang membuat investor memilih bermain aman dan meninggalkan instrumen berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Perlambatan ekonomi global ini harus diantisipasi lebih dini. Jangan sampai terus memburuk hingga benar-benar terjadi resesi,” kata Piter menambahkan.
“Perlambatan ekonomi global ini harus diantisipasi lebih dini. Jangan sampai terus memburuk hingga benar-benar terjadi resesi,” kata Piter menambahkan.
(tas) Next Article Asing Keluar Rp 1,8 T, IHSG Terpuruk Hampir 2%
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular