Newsletter

Fiuh, Legaa...! Akhirnya Ada Berita Baik Bagi Pasar Keuangan

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
05 September 2019 06:22
Fiuh, Legaa...! Akhirnya Ada Berita Baik Bagi Pasar Keuangan
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia akhirnya mampu keluar dari keterpurukannya pada penutupan perdagangan kemarin (4/9/2019). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah kompak membukukan penguatan. Hanya harga obligasi pemerintah yang stagnan dengan koreksi tipis.

Kemarin, bursa saham utama Ibu Pertiwi yang awalnya terjebak di zona merah, pada menit-menit terakhir langsung sprint sehingga berhasil ditutup menguat 0,13% ke level 6.269,66 poin.


Lalu, sama halnya dengan IHSG, Mata Uang Garuda juga mampu finis di zona hijau dengan mencatatkan penguatan hingga 0,49% yang membuat US$ 1 dibanderol Rp 14.150 saat penutupan perdagangan pasar spot.


Sementara itu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun cenderung stagnan dengan hanya tercatat naik 0,3 basis poin ke level 7,363%. Kenaikan yield adalah pertanda harga obligasi sedang turun karena terpapar aksi jual.

Pasar keuangan Indonesia kompak dengan mayoritas bursa saham utama di Benua Kuning yang juga mencatatkan kenaikan. indeks Hang Seng meroket 3,9%, indeks Shanghai menguat 0,93%, indeks Kospi naik 1,16%, indeks Straits Times menguat 1,47%, dan indeks Nikkei naik 0,12%.

Pada dasarnya terdapat dua sentimen besar yang saling bertolak belakang dan mewarnai pergerakan pasar keuangan global pada perdagangan kemarin.

Pertama adalah pernyataan Presiden AS Donald Trump yang mengatakan dia bisa mengambil langkah lebih ekstrim untuk menekan praktik dagang China apabila dia kembali memenangkan pemilihan presiden tahun depan.

".. Lalu, pikirkan apa yang terjadi pada China ketika saya menang. Kesepakatan akan 'LEBIH SULIT!' Sementara itu, rantai pasokan China akan hancur, dan bisnis, pekerjaan, dan uang akan hilang!" cuit Trump.



Akan tetapi, di lain pihak, pelaku pasar lebih memilih untuk menyambut positif rilis angka PMI sektor jasa China bulan Agustus yang mencapai level tertinggi dalam 3 bulan terakhir (sejak Mei).

Caixin mencatat PMI sektor jasa Negeri Tiongkok bulan Agustus mencapai 52,1 poin, lebih tinggi dari capaian Juli yang sebesar 51,6 poin. Ekspansi tersebut didorong oleh peningkatan jumlah pesanan dan pesatnya pertumbuhan lapangan kerja ke level tertinggi sejak Juni 2018, dilansir Trading Economics.

Sebelumnya, rilis data PMI sektor manufaktur China bulan Agustus juga naik dari 49,9 poin menjadi 50,4 poin.

Tercatatnya ekspansi baik di sektor jasa dan manufaktur Negeri Tiongkok merupakan kabar baik bagi rekan dagangnya di Asia. Pasalnya, jika aktifitas bisnis China tumbuh, maka besar kemungkinan permintaan akan pulih.

Direktur Analis Makroekonomi di CEBM Grup Zhong Zhengseng mengatakan bahwa sudah terlihat tanda-tanda positif atas stimulus ekonomi yang diberikan pemerintah China dalam beberapa bulan terakhir.

"Tidak perlu terlalu pesimis terhadap ekonomi China karena ada peluncuran serangkaian kebijakan untuk mendorong pertumbuhan berkualitas tinggi," ujar Zhong dilansir Reuters.

(BERLANJUT KE HALAMAN DUA)
Sementara itu beralih ke bursa saham acuan AS, tiga indeks utama kompak ditutup menguat secara signifikan seiring dengan data ekonomi yang solid dari China, meredanya ketegangan politik di Hong Kong, dan persetujuan anggota parlemen Inggris untuk menunda Brexit.

Data pasar menunjukkan indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat 0,9% ke level 26.355,47 poin, indeks S&P 500 melesat 1,1% menjadi 2.937,78 poin yang dimpimpin oleh penguatan sektor teknologi. Sedangkan Nasdaq juga ditutup naik signifikan 1,3% ke level 7.976,88 poin.

Emiten sektor perbankan di Wall Street juga membukukan penguatan yang signifikan setelah imbal hasil surat berharga pemerintah tidak lagi mencatatkan inversi. Alhasil saham Bank of America & Citigroup masing-masing melesat lebih dari 1,3%, serta JP Morgan yang naik 1,2%.

Kemarin (4/9/2019) rilis data ekonomi terbaru China menunjukkan angka PMI sektor jasa bulan Agustus yang mencapai level tertinggi dalam 3 bulan terakhir. Terlebih lagi, perolehan tersebut disokong peningkatan jumlah pesanan dan pesatnya pertumbuhan lapangan kerja ke level tertinggi sejak Juni 2018, dilansir Trading Economics.

Indeks Caixin/Markit Services Purchasing Managers' Index (PMI) Negeri Panda ini berada di level 52,1 pada Agustus, yang merupakan level tertinggi sejak Mei. Angka di atas 50 mengindikasikan adanya ekspansi.

Pelaku pasar Wall Street sangat mengapresiasi rilis data tersebut karena hasil positif dicapai setelah AS dan China saling berbalas kenaikan tarif, yang mengawali babak baru eskalasi perang dagang kedua negara.

Hal ini membuktikan keberhasilan stimulus ekonomi dari pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik Negeri Tongkok.

Lebih lanjut, risk appetite investor juga naik seiring dengan meredanya tensi politik di Hong Kong. Hal ni dikarenakan Pemimpin Hong Kong Carrie Lam secara resmi menarik kembali RUU ekstradisi yang telah memicu aksi massa selama berbulan-bulan, dilansir CNBC International.

Pembatalan RUU Ekstradisi tersebut menjadi sentimen positif karena protes yang terjadi di Hong Kong sempat dikhawatirkan bakal menjadi fakto penghambat tambahan dalam sejarah hubungan ekonomi AS dan China.

RUU ekstradisi telah memicu protes masal di negeri kelahiran Andy Lau tersebut selama setidaknya 16 minggu berturut-turut. Aksi demonstrasi ditulis menjadi salah satu penyebab aktivitas sektor swasta Hong Kong di bulan Agustus anjlok, dilansir CNBC International.

Sementara itu dari Inggris, aliansi anggota parlemen lintas partai sukses mengalahkan Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson, sehingga menjegal rencananya mengeluarkan Negeri Monarki tersebut dari Uni Eropa tanpa kesepakatan (no deal Brexit) pada 31 Oktober, dilansir CNBC International.

(BERLANJUT KE HALAMAN TIGA) Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah perkembangan di Wall Street yang positif. Semoga euforia di New York bisa terasa di Asia, termasuk Indonesia.

Sentimen kedua tentu adalah rilis data ekonomi yang menggembirakan dari dua kekuatan ekonomi terbesar dunia diharapkan menjadi katalis positif untuk kembali mendongkrak risk appetite investor di pasar keuangan.

Rilis data yang dimaksud adalah angka PMI China, baik di sektor jasa maupun manufaktur, yang berada di atas 50, di mana ini menunjukkan adanya ekspansi aktifitas bisnis di sektor tersebut.

Kemudian, rilis data neraca perdagangan AS bulan Juli yang membukukan defisit sebesar US$ 54 miliar, lebih rendah dari defisit yang dicatatkan pada Juni 2019.

Capaian tersebut didukung oleh peningkatan ekspor sebesar 0,6% secara bulanan dan impor yang terkoreksi 0,1% dibandingkan bulan sebelumnya, dilansir Trading Economics.

Akan tetapi, investor patut waspada karena Presiden AS Donald Trump mungkin saja masih kecewa dengan hasil tersebut. Pasalnya, tanpa penyesuaian musiman, defisit neraca perdagangan dengan China naik 9,4% menjadi US$ 32,8 miliar dari US$ 30 miliar di bulan Juni.

Sentimen ketiga adalah pergerakan indeks dolar yang yang terkoreksi cukup dalam pada penutupan perdagangan kemarin. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi hingga 0,6%, dilansir dari Refinitiv

Pelemahan greenback memberikan kesempatan pada rupiah dkk untuk bergerak ke utara, sekaligus menawarkan keuntungan yang lebih besar kepada investor.

Akan tetapi pelaku pasar harap tetap waspada pada sentimen keempat yaitu lonjakan harga minyak.

Harga minyak dunia kontrak berjangka jenis Brent melonjak 4,14% ke level US$ 60,66/barel. Sedangkan minyak jenis Light Sweet (WTI) melesat 4,3% ke level US$ 56,26/barel, yang merupakan peningkatan harian terbesar sejak 10 Juli, dilansir CNBC International.

Kenaikan harga minyak lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya bagi Indonesia. Sebab Indonesia adalah negara net importir minyak, yang mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri tidak kunjung memadai.

Apabila harga minyak naik, maka impor minyak menjadi lebih mahal sehingga semakin membebani transaksi berjalan (current account). Padahal transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi nilai tukar mata uang, karena mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Bila transaksi berjalan tertekan, rupiah akan dibayangi resiko pelemahan.

(BERLANJUT KE HALAMAN EMPAT) Simak Agenda dan Data Berikut Ini

Berikut adalah rilis data ekonomi yang akan terjadi hari ini:

• Transaksi Berjalan bulan Juli, Korea Selatan (06:00 WIB)
• Neraca Perdagangan bulan Juli, Australia (08:30 WIB)
• Indeks Kepercayaan Konsumen bulan Agustus, Indonesia (16:15 WIB)
• Produktifitas Sektor Non-Pertanian Q2-2019, Amerika Serikat (19:30 WIB)
• PMI Non-Manufaktur versi ISM bulan Agustus, Amerika Serikat (21:00 WIB)
• Jumlah Pesanan Pabrik bulan Juli, Amerika Serikat (21:00 WIB)

Berikut adalah agenda aksi korporasi perusahaan publik yang akan terjadi hari ini:

• Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Urban Jakarta Propertindo/URBN (08:30 WIB)
• Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Propertindo Mulia Investama/MPRO (10:00 WIB)

Berikut adalah rilis data ekonomi yang akan terjadi pada 6 September:

• Pengeluaran Rumah Tangga bulan Juli, Jepang (06:30 WIB)
• Cadangan Devisa bulan Agustus, Jepang (06:50 WIB)
• Produksi Industri bulan Juli, Jerman (13:00 WIB)
• Estimasi Laju Produk Domestik Bruto Q2-2019, Uni Eropa (16:00 WIB)
• Pembacaan Final Perubahan Tenaga Kerja Q2-2019, Uni Eropa (16:00 WIB)
• Penciptaan Lapangan Kerja Non-Pertanian bulan Agustus, Amerika Serikat (19:30 WIB)
• Rata-rata Gaji per Jam bulan Agustus, Amerika Serikat (19:30 WIB)
• Tingkat Pengangguran bulan Agustus, Amerika Serikat (19:30 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q2-2019 YoY)

5,05%

Inflasi (Agustus 2019 YoY)

3,49%

BI 7-Day Reverse Repo Rate (Agustus 2019)

5,5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Q2-2019)

-3,04% PDB

Neraca pembayaran (Q2-2019)

-US$ 1,98 miliar

Cadangan devisa (Juli 2019)

US$ 125,9 miliar

 
TIM RISET CNBC INDONESIA

Next Page
Wall Street
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular