
Ekonomi AS Lesu Darah, Dolar Kalah Lawan Rupiah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 September 2019 10:39

Apalagi prospek perekonomian AS ke depan tidak cerah, seiring perang dagang dengan China yang belum berkesudahan. Teranyar, Presiden AS Donald Trump menegaskan agar China jangan coba-coba menghambat negosiasi. Kalau dialog dagang sampai buntu, sang presiden ke-45 Negeri Adidaya mengancam tidak akan ragu bertindak lebih keras kepada China.
"Enam belas bulan adalah waktu yang lama (bagi China) untuk mengalami PHK massal, dan itu yang akan terjadi jika saya menenangi Pemilu (2020). Kesepakatan akan semakin sulit! Pada saat yang sama, rantai pasok China akan hancur dan bisnis, lapangan kerja, serta uang akan hilang!" cuit Trump di Twitter.
Gara-gara perang dagang dengan China, AS sudah merasakan pahitnya. Pertama, ekspor kedelai AS anjlok.
Pada musim tanam 2019-2020, ekspor kedelai AS diperkirakan 1,875 miliar bushel, mengutip proyeksi US Department of Agriculture. Angka ini turun 75 juta bushel dibandingkan musim sebelumnya.
Penurunan ini tidak lepas dari bea masuk yang dikenakan China untuk kedelai dari AS. Pasar China menjadi sulit ditembus sehingga kinerja ekspor kedelai amblas. Maklum, sekitar 60% ekspor kedelai AS ditujukan ke China.
Kedua, riset US Consumer Technology Association menyebutkan harga sejumlah produk elektronik naik karena perang dagang dengan China. Harga telepon seluler naik rata-rata US$ 70, laptop naik US$ 120, dan konsol video game naik US$ 56. Ini tentu membebani konsumen.
Ketiga, JPMorgan memperkirakan pengenaan bea masuk untuk importasi produk-produk made in China akan membuat konsumen mesti menanggung kenaikan harga US$ 600 per tahun. Angka ini akan bertambah menjadi US$ 1.000 jika AS jadi mengenakan bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 300 miliar.
Dibayangi oleh hal-hal semacam itu, ekonomi AS memang butuh dorongan dari sisi moneter agar rumah tangga dan dunia usaha tetap bisa berekspansi. Penurunan suku bunga acuan adalah jawabannya.
Nah, penurunan suku bunga acuan menjadi sentimen negatif bagi dolar AS. Sebab, suku bunga yang lebih rendah akan ikut menurunkan imbalan berinvestasi di mata uang ini. Dolar AS pun rentan terserang tekanan jual, dan itu sepertinya terjadi hari ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
"Enam belas bulan adalah waktu yang lama (bagi China) untuk mengalami PHK massal, dan itu yang akan terjadi jika saya menenangi Pemilu (2020). Kesepakatan akan semakin sulit! Pada saat yang sama, rantai pasok China akan hancur dan bisnis, lapangan kerja, serta uang akan hilang!" cuit Trump di Twitter.
Gara-gara perang dagang dengan China, AS sudah merasakan pahitnya. Pertama, ekspor kedelai AS anjlok.
Penurunan ini tidak lepas dari bea masuk yang dikenakan China untuk kedelai dari AS. Pasar China menjadi sulit ditembus sehingga kinerja ekspor kedelai amblas. Maklum, sekitar 60% ekspor kedelai AS ditujukan ke China.
Kedua, riset US Consumer Technology Association menyebutkan harga sejumlah produk elektronik naik karena perang dagang dengan China. Harga telepon seluler naik rata-rata US$ 70, laptop naik US$ 120, dan konsol video game naik US$ 56. Ini tentu membebani konsumen.
Ketiga, JPMorgan memperkirakan pengenaan bea masuk untuk importasi produk-produk made in China akan membuat konsumen mesti menanggung kenaikan harga US$ 600 per tahun. Angka ini akan bertambah menjadi US$ 1.000 jika AS jadi mengenakan bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 300 miliar.
Dibayangi oleh hal-hal semacam itu, ekonomi AS memang butuh dorongan dari sisi moneter agar rumah tangga dan dunia usaha tetap bisa berekspansi. Penurunan suku bunga acuan adalah jawabannya.
Nah, penurunan suku bunga acuan menjadi sentimen negatif bagi dolar AS. Sebab, suku bunga yang lebih rendah akan ikut menurunkan imbalan berinvestasi di mata uang ini. Dolar AS pun rentan terserang tekanan jual, dan itu sepertinya terjadi hari ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular